Dalam banyak masyarakat muslim, tubuh perempuan tidak hanya menjadi ranah domestik atau moral, tapi juga bagian dari proyek politik. Kesucian tubuh perempuan sering dijadikan simbol bagi kemurnian agama, kehormatan bangsa, bahkan stabilitas negara. Ketika negara ikut campur dalam urusan moral, terutama yang menyangkut tubuh perempuan, maka politik pun mengambil alih bahasa agama — dan kesucian berubah menjadi alat legitimasi kekuasaan.
Kita bisa melihat fenomena ini dari lahirnya berbagai kebijakan moral di dunia Muslim, termasuk Indonesia: perda syariah, aturan berpakaian di sekolah dan kantor, hingga sensor terhadap ekspresi seni atau budaya yang dianggap “tidak sesuai nilai Islam.” Semuanya seolah hadir demi menjaga martabat publik. Tapi jika dicermati lebih dalam, ada pola yang sama — tubuh perempuan menjadi objek pengaturan paling ketat. Dalam wacana ini, negara tampil sebagai “penjaga kesucian,” dan perempuan menjadi simbol yang harus dijaga demi reputasi sosial dan religius bangsa.

Gus Dur pernah mengkritik kecenderungan ini sebagai bentuk “moralitas formalistik.” Dalam pandangan beliau, negara seharusnya tidak berperan sebagai polisi moral, karena tugas negara adalah menegakkan keadilan, bukan menilai kesalehan. Ketika negara mengatur cara berpakaian, bergaul atau berbicara perempuan atas nama agama, yang sebenarnya terjadi bukanlah penerapan syariat, melainkan politisasi moralitas. Beliau menulis, “Ketika agama dijadikan alat politik, yang hancur pertama kali adalah agama itu sendiri.”
Kritik Gus Dur ini sejalan dengan pandangan Musdah Mulia yang menyoroti paradoks antara niat menjaga kesucian dan praktik diskriminatif terhadap perempuan. Dalam banyak kasus, peraturan yang mengatasnamakan moral justru menyingkirkan perempuan dari ruang publik.
Padahal, Islam tidak pernah menuntut kesucian dalam bentuk ketersembunyian. Nabi Muhammad sendiri memberi teladan perempuan aktif dalam kehidupan sosial — dari perdagangan hingga pendidikan. Maka, menjadikan kesucian sebagai alasan membatasi ruang gerak perempuan adalah bentuk penyempitan terhadap spirit Islam.
Dalam konteks global, Saba Mahmood dalam Politics of Piety mengingatkan bahwa politik kesalehan tidak selalu datang dari negara sekuler yang menindas agama, tapi juga bisa muncul dari komunitas religius yang menuntut kesalehan publik sebagai bentuk ketaatan. Dalam masyarakat yang mayoritas Muslim, tekanan moral ini bisa dilembagakan — menjadi hukum, aturan sosial, bahkan kebijakan pemerintah. Tubuh perempuan dijadikan tanda dari keberhasilan moral bangsa; semakin tertutup, semakin dianggap bermartabat.
