Alkisah, seorang kepala suku Bani Syam tengah berdoa kepda Tuhan agar diberikan anak. Istrinya menyarankan agar mereka berdua bersujud di hadapan Tuhan dan dengan tulus memohon kepada Allah memberikan anugerah kepada mereka berdua.
“Mengapa tidak?” kata sang kepala suku kepada istrinya. “Kita harus mencoba berbagai macam cara. Mari, kita coba sekali lagi, tak ada ruginya.” Mereka pun bersujud kepada Tuhan, sambil berurai air mata dari relung hati mereka yang terluka.
“Wahai Segala Kekasih, jangan biarkan pohon kami berbuah pahit pada kehidupan dan jangan busukkan buah kami agar dia merasakan indahnya Kasih Sayang. Izinkan kami merasakan manisnya menimang anak dalam pelukan kami. Anugerahkan kepada kami tanggung jawab untuk membesarkan seorang manusia yang baik. Berikan kesempatan kepada kami untuk membuat-Mu bangga akan anak kami.”
Tak lama kemudian, doa mereka dikabulkan, dan Tuhan menganugerahi mereka seorang anak laki-laki yang diberi nama Nufus. Sang ayah sangat berbahagia, sebab Nufus dicintai oleh semua orang. Ia tampan dan berambut lurus nan hitam, yang menjadi pusat perhatian serta kekaguman. Sejak awal, Nufus telah memperlihatkan kecerdasan dan kemampuan fisik istimewa. Ia punya bakat luar biasa dalam mempelajari ilmu, menggubah syair dan menulis. Bahkan salah seorang gurunya berkata kepada ayah Nufus, bahwa Nufus mempunyai kelebihan istimewa yang mana orang-orang disibukkan dengan belajar, sedang dia diam sudah mendapatkannya.
Ketika sudah cukup umur untuk masuk pesantren, ayahnya memutuskan mengutus dia ke pesantren atas saran gurunya. Nufus dipondokkan di pesantren yang berada di desa Bahrul Ulum (Lautan Ilmu) terpandang di seluruh jazirah Andalusia. Di antara mereka ada seorang anak perempuan dari kepala suku tetangga. Seorang gadis bermata indah, yang memiliki kecantikan luar biasa. Rambut dan matanya sehitam malam. Karena alasan inilah mereka menyebutnya Auliya’, “Sang Kekasih”.
Meski ia baru berusia dua belas tahun, sudah banyak pria melamarnya untuk dinikahi. Sebab, sebagaimana lazimnya kebiasaan di zaman itu, gadis-gadis sering dilamar pada usia yang masih sangat muda (untuk dijodohkan ), yakni sembilan tahun. Auliya’ dan Nufus adalah teman sekelas. Sejak hari pertama masuk sekolah, mereka sudah saling tertarik satu sama lain. Seiring dengan berlalunya waktu, percikan ketertarikan ini makin lama menjadi api cinta yang membara. Bagi mereka berdua, sekolah bukan lagi tempat belajar. Kini, sekolah menjadi tempat mereka saling bertemu. Ketika guru sedang mengajar, mereka saling berpandangan. Ketika tiba waktunya menulis pelajaran, mereka justru saling menulis namanya di atas kertas.