Nyai Rahmatun dan Tarbiyatul Banat

197 kali dibaca

Sebagai salah satu penerus ayahandanya dalam berdakwah dan mengajar, Nyai Rahmatun melanjutkannya dengan mendirikan lembaga pendidikan Islam atau madrasah yang khusus untuk anak-anak perempuan.  Lembaga tersebut diberi nama “Tarbiyatul Banat” yang berada di Moncek Tengah, Sumenep, Madura. Ia secara resmi dibangun pada tahun 1961.

“Tarbiyatul Banat” berasal dari bahasa Arab yang mempunyai arti “Pendidikan Anak-anak Putri”. Nama ini diberikan oleh adik kandung Nyai Rahmatun sendiri, yaitu Almaghfur lahu Kiai Abdul Wahid Nur.

Advertisements

Tarbiyatul Banat, sebagaimana namanya, sejak awal memang berkomitmen untuk menampung murid perempuan saja. Dan atas rekomendasi Kiai Ali Wafa, Nyai Rahmatun ditunjuk sebagai kepala madrasah. Katanya biar kepala dan anak buahnya sama-sama perempuan.

Perjuangan Nyai Rahmatun dalam membangun dan memajukan pendidikan anak-anak perempuan perdesaan tidaklah mudah. Beliau kerap mengalami berbagai tantangan dan rintangan, sebelum akhirnya berbuah manis.

Dulu, pada tahun 1960-an, bahkan sebelumnya, di desa Nyai Rahmatun tinggal, Desa Moncek Tengah dan juga sekitarnya, jarang ada perempuan yang menamatkan Sekolah Dasar apalagi kuliah. Hal itu sudah lumrah, karena anggapan bahwa perempuan hanya “manusia nomor dua” masih melekat di tengah-tengah mereka.

Selain itu, perempuan juga tidak boleh keluar rumah jauh-jauh apalagi berkarier. “Buat apa perempuan sekolah tinggi-tinggi, toh akhirnya mereka hanya di rumah saja.” Begitulah kalimat yang sering muncul ketika ditanya kenapa anak perempuan tidak boleh sekolah tinggi-tinggi.

Melihat kenyataan tersebut, Nyai Rahmatun tidak tinggal diam. Ia dan suaminya, Kiai Ali Wafa, mulai berinisiatif untuk membangun lembaga pendidikan khusus untuk anak-anak perempuan, yakni tidak bercampur sama sekali dengan anak laki-laki.

Memang, sebelumnya sudah ada madrasah yang didirikan oleh KH Muhammad Nur, ayahanda Nyai Rahmatun. Namun menggunakan sistem pengajaran yang berbentuk halakah, dan mayoritas muridnya adalah laki-laki. Meski ada juga murid atau santri perempuan, namun tidak banyak, dan tempatnya juga kurang memadai sehingga anak-anak perempuan pada waktu itu merasa kurang leluasa.

Halaman: First 1 2 3 ... Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan