Hari Tani Nasional, yang diperingati setiap tanggal 24 September, selalu mengingatkan kita pada cita-cita luhur yang terkandung dalam Undang-Undang Pokok Agraria 1960: tanah untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Lebih dari enam dekade berlalu, cita-cita itu masih jauh dari kenyataan. Justru yang tampak adalah ironi: di negeri agraris yang subur, petani—produsen pangan—masih menjadi kelompok sosial yang paling rentan. Hari Tani 2025 seharusnya bukan sekadar peringatan seremonial, melainkan ruang untuk menyingkap kenyataan pahit agraria dan pangan di Indonesia.
Pertanian Indonesia hari ini menghadapi krisis struktural. Di satu sisi, lebih dari seperempat angkatan kerja Indonesia masih menggantungkan hidup pada sektor pertanian. Di sisi lain, kontribusi sektor ini terhadap Produk Domestik Bruto terus menurun, hanya sekitar 12 persen.

Fenomena tersebut menunjukkan apa yang disebut Henry Bernstein sebagai “krisis agraria”: banyak orang menggantungkan hidup pada pertanian, tetapi nilai ekonomi yang dihasilkan semakin kecil. Artinya, semakin banyak tenaga yang terserap di sektor ini, semakin sedikit keuntungan yang bisa dibagi. Ketimpangan inilah yang membuat petani miskin tetap miskin, sementara hasil kerjanya dinikmati pihak lain.
Persoalan pangan di Indonesia bukan hanya soal ketersediaan, tetapi juga soal politik dan struktur ekonomi. Philip McMichael menekankan bahwa sistem pangan global saat ini didominasi rezim pangan korporat. Produksi pangan tidak lagi berorientasi pada pemenuhan kebutuhan rakyat, tetapi pada akumulasi kapital melalui perdagangan global. Indonesia, yang dulunya dikenal sebagai negeri agraris, kini justru semakin bergantung pada impor pangan strategis. Beras, kedelai, gula, bahkan bawang putih, datang dari luar negeri. Ketergantungan ini menyingkap rapuhnya fondasi kedaulatan pangan nasional.
Dominasi pasar global membuat petani kehilangan kedaulatannya. Mereka tidak lagi bebas menentukan cara bertani dan hasil taninya, karena pasar dan teknologi dikendalikan oleh segelintir korporasi agribisnis. Dari benih hibrida yang dipatenkan, pupuk kimia yang harganya terus naik, hingga sistem distribusi yang dikuasai tengkulak dan perusahaan besar, petani berada dalam lingkaran ketergantungan. Jan Douwe van der Ploeg menyebut situasi ini sebagai hilangnya “seni bertani”. Seni bertani yang dahulu ditopang oleh kearifan lokal, benih yang diwariskan turun-temurun, dan sistem produksi yang selaras dengan ekologi, kini digantikan oleh paket teknologi Revolusi Hijau. Akibatnya, petani bukan lagi pengelola tanah yang otonom, melainkan pekerja di atas tanahnya sendiri.
Krisis pangan juga terkait dengan kerusakan ekologi. Pertanian modern berbasis kimia dan monokultur memang meningkatkan produksi dalam jangka pendek, tetapi merusak kesuburan tanah, mengurangi keanekaragaman hayati, dan memperparah perubahan iklim. Di banyak daerah, banjir dan kekeringan menghantam sawah petani, membuat mereka kian rentan. Padahal, merekalah yang menjadi garda terdepan dalam menjaga keberlanjutan pangan bangsa.
Jika menilik lebih dalam, krisis ini bukan hanya soal teknologi dan pasar, melainkan juga soal relasi kelas di pedesaan. Bernstein mengingatkan bahwa perubahan agraria selalu menghasilkan diferensiasi kelas: ada petani kaya yang mampu mengakses modal, teknologi, dan pasar; ada pula petani kecil yang terpaksa menjual tanahnya atau menjadi buruh tani. Fenomena ini nyata di Indonesia: sementara sebagian kecil orang menguasai ribuan hektar lahan untuk perkebunan atau properti, mayoritas petani hanya menggarap lahan sempit, bahkan tidak memiliki tanah sama sekali.
Konflik agraria pun terus meningkat. Konsorsium Pembaruan Agraria mencatat ratusan konflik tanah setiap tahun, sebagian besar melibatkan rakyat yang berhadapan dengan korporasi besar, perkebunan, dan proyek infrastruktur negara. Petani kerap diposisikan sebagai pihak yang kalah, meski merekalah pemilik sah tanah secara turun-temurun. Di balik setiap konflik agraria, ada wajah-wajah petani yang kehilangan sumber hidupnya, ada anak-anak yang terancam masa depannya, dan ada desa-desa yang tercerabut dari akarnya.
Namun, krisis bukan berarti tanpa harapan. McMichael menekankan pentingnya politik kedaulatan pangan: gagasan bahwa rakyat harus berdaulat atas tanah, benih, dan pasarnya sendiri. Kedaulatan pangan berarti membalikkan logika kapitalisme global yang menempatkan pangan sebagai komoditas, menuju logika lokal yang menempatkan pangan sebagai hak dasar manusia. Dalam konteks Indonesia, kedaulatan pangan hanya bisa terwujud jika reforma agraria sejati dijalankan: tanah didistribusikan secara adil, petani diberdayakan, dan pasar lokal diperkuat.
Van der Ploeg menambahkan bahwa masa depan pertanian harus dikembalikan pada keseimbangan: keseimbangan antara manusia dan alam, antara produksi dan reproduksi, antara kerja dan konsumsi. Pertanian petani, yang berbasis pada intensifikasi tenaga kerja dan pengetahuan lokal, terbukti lebih tahan krisis dan lebih ramah lingkungan. Justru model inilah yang seharusnya didukung negara, bukan pertanian industri yang rakus lahan dan merusak ekologi.
Hari Tani Indonesia 2025 adalah saat yang tepat untuk bertanya: sampai kapan petani akan dibiarkan menjadi penonton dalam rezim pangan global? Sampai kapan negara membiarkan tanah subur jatuh ke tangan korporasi? Dan sampai kapan pangan, yang seharusnya menjadi hak rakyat, diperlakukan sebagai komoditas dagang semata?
Hari ini, bangsa Indonesia membutuhkan keberanian politik untuk berpihak pada petani. Keberanian untuk menjalankan reforma agraria, menata ulang kebijakan pangan, dan membangun sistem distribusi yang adil. Keberanian untuk melawan dominasi korporasi dan mengembalikan seni bertani ke tangan petani. Sebab, tanpa petani tidak ada pangan, dan tanpa pangan tidak ada kehidupan.
Hari Tani adalah milik seluruh bangsa, karena persoalan pangan menyangkut hak setiap manusia. Dengan berpihak pada petani, kita tidak hanya memastikan nasi tetap ada di meja makan, tetapi juga menjaga martabat bangsa. Pangan bukan sekadar soal perut, melainkan soal kedaulatan, keadilan, dan masa depan Indonesia.