Pantaskah Soeharto Dijadikan Pahlawan?

Berawal dari kementerian sosial (Kemensos) bersama Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Pusat (TP2GP) dalam rangka membahas pengusulan 10 orang tokoh Indonesia yang dinilai layak menyandang gelar pahlawan nasional. Adapun, dari 10 nama yang diusulkan tersebut ternyata ada nama mantan presiden RI Soeharto yang diusulkan oleh Provinsi Jawa Tengah dan almagfurllah KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur diusulkan oleh Provinsi Jawa Timur.

Sementara itu, berdasarkan rilis yang dikeluarkan Direktur Jenderal Pemberdayaan Sosial Kemensos Mira Riyati Kurniasih, pada Selasa, 18 Maret 2025, dari 10 nama usulan gelar pahlawan yang masuk terdapat empat usulan baru dan sisanya usulan pernah telah diajukan tahun sebelumnya.

https://www.instagram.com/jejaringduniasantri/

Dari kesepuluh nama-nama tokoh yang diusulkan untuk menyandang gelar pahlawan nasional, hanya satu tokoh yakni presiden Soeharto, yang belakangan ini menjadi sorotan dan menimbulkan buah bibir pro-kontra dari berbagai kalangan.

Sebagaimana yang kita ketahui bahwa pahlawan nasional adalah gelar yang diberikan kepada warga negara Indonesia atau seseorang yang berjuang melawan penjajahan di wilaah kedaulatan Indonesia. Dia yang menerima gelar pahlawan nasional harus telah gugur atau meninggal demi membela negara, atau semasa hidupnya melakukan tindakan kepahlawanan maupun menghasilkan prestasi dan karya yang luar biasa bagi pembangunan dan kemajuan Indonesia.

Sebenarnya, ketika membaca definisi tersebut, sedikit banyak kita seharusnya bisa memahami kira-kira siapakah tokoh yang layak menyandang gelar pahlawan. Paling tidak kita sudah bisa menimbang lebih banyak mana antara karya atau perjuangan yang dihasilkan kepada negara Indonesia dengan problematika atau kebijakan yang bermasalah bagi kondusifitas bangsa dan rakyat Indonesia.

Pro-kontra Soeharto

Sejatinya gelar pahlawan merupakan puncak capain tertinggi dari para tokoh atau the founding father negara ini. Gelar pahlawan sangat sakral dan suci, sehingga proses penyematan seharusnya tidak serta merta dan dilakukan penuh kehati-hatian dan kajian begitu mendalam ketika sudah mau diputuskan.

Fenomena pro-kontra yang sedang terjadi hingga membentuk beragam opini di kalangan masyarakat, pemerintah harus jeli dalam menanggapi. Pengusulan gelar pahlawan nasional kepada Soeharto sebenarnya bukan permasalahan, karena itu berkenaan dengan hak asasi manusia yang harus dijunjung tinggi akan keberadaannya. Namun, yang menjadi problematika awal kira-kira apakah layak dan pantas presiden kedua republik indonesia tersebut menyandang gelar pahlawan?

Kalau kita kembali melihat sejarah jejak rekam kepemimpinan Presiden Soeharto sebagai satu satunya presiden yang terlama menjabat menjadi orang nomor satu di negara Indonesia. Paling tidak pemerintah bisa melihat dan menilai secara detail mendalam kiri-kira apa dedikasinya, rekam jejaknya selama memimpin negara Indonesia tercinta untuk menjadi barometer penilaian apakah memang pantas Soeharto menyandang gelar prestisius nan sakral yakni gelar pahlawan.

Tentu acuan penilaian harus secara jelas, objektif, dan tidak karena politik kepentingan. Sebab, seperti yang kita ketahui bersama bahwa sejak masa pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto, kekuatan sipil sangat teredupsi sekali, bahkan keberadaan pers dan kebebasan menyampaikan aspirasi seakan mati suri, eksploitasi sumber daya alam,militerisasi kehidupan warga, serta maraknya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Belum lagi banyak sekali pelanggaran HAM yang terjadi.

Sebagaimana data yang dikeluarkan Komnas HAM, terdapat sembilan kasus pelanggaran HAM berat di bawah pemerintahan Soeharto, yakni Peristiwa 1965-1966; Peristiwa Penembakan Misterius (1982-1985); Peristiwa Tanjung Priok (1984); Peristiwa Talangsari (1989); Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis (1989-1998); Peristiwa Penghilangan Orang secara Paksa 1997-1998; Peristiwa Trisakti (1998), Semanggi I (1998), dan Semanggi II (1999); Peristiwa Mei 1998; dan Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet (1998-1999). Sehingga pemberian gelar pahlawan untuk Soeharto sama saja memutihkan sejarah kelam dan menghapus jejak kejahatan yang pernah dilakukan dan melecehkan nama korban pelanggaran HAM.

Semua itu, seharusnya sudah cukup menjadikan alasan dan bukti kuat untuk menolak usulan penyematan gelar pahlawan tersebut. Meskipun tidak menutup kemungkinan bagi pihak pro pasti ada juga beragam alasan yang dikemukakan salah satunya mengatakan bahwa Soeharto selaku mantan presiden Republik Indonesia sudah sepantasnya dihormati sebagai bapak negarawan.

Pandangan Santri

Ada kaidah fikih yang menyebut Al-Yaqin La Yazulu Bisy-Syak (keyakinan tidak hilang karena keraguan). Kalau kita tarik benang merahnya dan mencoba sangkut-pautkan dengan problematika pengusulan Soeharto menjadi pahlawan nasional, maka jelas sekali menurut pandangan kami selaku alumni pesantren lebih baik keputusan gelar pahlawan nasional kepada Soeharto patut ditinjau kembali karena dirasa kurang layak untuk dilanjutkan. Hal ini mengacu beragam pertimbangan atau jejak rekam yang jelas dalam lembar sejarah kelam selama kepemimpinannya. Dalam arti,  peristiwa-peristiwa yang terjadi selama kepemimpinan Soeharto itu sudah menjadi bukti yang meyakinkan keyakinan. Karena itu, tidak bisa dihilangkan apalagi ditutupi kebenarannya hanya untuk membersihkan namanya dari beragam catatan masalah yang sejarah sudah menuliskan.

Sekali lagi, pemerintah dalam menyikapi ini harus mengedepankan penilaian objektif, kehati-hatian, agar bisa betul-betul menghasilkan keputusan yang mencerahkan. Jangan sampai pemerintah tetap memaksakan sesuatu yang sudah menjadi ketidaksetujuan atau banyak penolakan, agar tidak memunculkan embrio gesekan yang bisa melahirkan perpecahan sebagaimana kaidah fiqih Al-Dharar yuzal (Kemadharatan harus dihilangkan).

Terakhir, saya yakin kalau untuk kalangan pesantren baik yang berstatus santri atau alumni bisa dikondisikan, karena seyogyanya santri tetap manut kiai. Cuma persoalannya sekarang tidak sedikit dari kiai dan panutan kita yang ikut menyuarakan penolakan.

Terakhir, saya ingin mengutip dari pernyataan dari ulama sepuh yang banyak dijadikan tauladan oleh beragam kalangan, yaitu KH Mustafa Bisri (Gus Mus). Gus Mus menuturkan, “Saya paling tidak setuju kalau Soeharto dijadikan pahlawan.”

Wallahu a’lam.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan