Pantulan Kebhinekaan di Desa (2): “Suran” di Tutup Ngisor

39 views

Dusun Tutup  Ngisor  terletak  di Desa  Sumber, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Jarak dari dusun ini ke ibu kota kecamatan sekitar 3 km, dan ke ibu kota kabupaten sekitar 24 km. Dusun yang memiliki luas lebih kurang 75 hektare dan jumlah penduduk 598 jiwa ini sangat potensial dengan kesuburan yang tinggi karena teletak pada ketinggian 677 meter di atas permukaan laut. Warga Tutup Ngisor hampir seluruhnya petani dengan membudidaya padi dan palawija: singkong, sayur-sayuran, cebe, dan sekidit buah-buahan.

Warga Tutup Ngisor cukup beragam dari sudut agama. Sebagian besar memang beragama Islam yang terbagi ke dalam dua kelompok; Islam kejawen yang mengaku memeluk Islam tetapi tidak menjalankan syariat (Islam abangan, dalam kategori dikhotomis Clifford Geertz) dan Islam santri yang patuh menjalankan syariat.

Advertisements

Di Tutup Ngisor, jumlah kelompok Islam kejawen paling banyak, umumnya mereka terdiri dari kaum tua. Dalam kepercayaan mereka, selain meyakini adanya dewa dan roh nenek moyang, mereka juga meyakini adanya Tuhan Allah dan Nabi Muhammad.

Akan tetapi, mereka tidak menjalankan syariat Islam seperti salat lima waktu, puasa, haji, dan  membayar zakat. Hal  tersebut karena mereka percaya bahwa  roh-roh nenek moyang dan sing mbau  rekso yang menguasai Pulau Jawa dan dusun Tutup Ngisor akan menjaga dan memberikan apa yang mereka inginkan asal mereka masih tetap menjalankan  ritual-ritual penting terutama ritual Suran.

Sementara kelompok kedua yang jumlahnya jauh lebih sedikit adalah yang menjalankan ajaran-ajaran Islam seperti salat lima waktu dan puasa Ramadan, membayar zakat, dan beberapa telah menunaikan ibadah haji. Kelopmpok ini pun,  selain taat menjalankan syariat Islam, juga masih sangat percaya bahwa adat, tradisi, dan ritual-ritual setempat di Tutup Ngisor sangat penting. Sebagian kecil prnduduk Tutup Ngisor lainnya beragama Katholik taat dan rajin ke gereja, tetapi juga tetap berpegang teguh pada adat, tradisi, dan ritual Tutup Ngisor.

Mereka secara bersama-sama melakukan dengan khusyuk Suran, Riyaya, dan 17 agustusan, ketiga ritual yang selalu dilaksanakan dengan spesifik dan khas oleh setiap warga Tutup Ngisor dengan subtansi dan cara yang berbeda dengan yang selama ini berlaku di kalangan warga masyarakat pada umumnya  di luar Tutup Ngisor.

Ritual Suran di Tutup Ngisor dilakukan dengan kenduri bersama seluruh warga untuk memohon ketenteraman lahir-batin, keselamatan dari marabahaya, dan tata kehidupan bersama tanpa mem-beda-kan tetap dianugrahkan kepada warga setempat. Ini berbeda dengan ritual suran di daerah lain yang dirayakan dengan membuat jenang (bubur) merah-putih dan diantar ke tetangga-handaitaulan yang hampir kabur maknanya, atau di Ponorogo yang dikenal dengan suroan yang dirayakan dengan melekan semalam penuh ditambah dengan berjalan kaki mengumpul di alun-alun, atau, seperti yang dilakukan kaum puritan Islam, ditransformasi menjadi Muharam, peringatan tahun baru hijriah.

Riyaya, berbeda umumnya di tempat lain untuk saling memaafkan, di Tutup Ngisor dilaksanakan untuk menguatkan tali persaudaraan (tata hubungan sosial) sesama umat manusia tanpa memandang perbedaan kelas, martabat, agama, dan kebudayaan. Sementara “Tujuhbelas Agustusan”, disamping untuk ikut serta menghormati kemerdekaan (tanpa keramaian seperti di tempat lain), lebih khusus untuk berkirim ujub kepada leluhur dan yang mbaurekso Tutup Ngisor. Ketiga ritual yang dipatuhi oleh semua kelompok sosial (Kejawen, Islam taat, dan Katholik) dan dimplementasikan dalam keseharian mereka itu dikembangkan oleh Romo Yoso Soedarmo yang kini dirawat dan lestarikan oleh cucunya, S Anjalin.

Dalam kehidupan sehari-hari hubungan antar-penganut Islam berbeda varian itu dengan yang beragama Katolik sangat baik: mereka guyup, rukun, tidak pernah terjadi pertentangan, apalagi konflik. Mereka hidup rukun dan tenteram dalam satu payung: adat dan tradisi ritual Suran.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan