“Di tanah kita, agama dan tradisi saling memberi arti, membuka peluang untuk saling menghargai” – Najwa Shihab.
Petikan dari ungkapan Najwa Shihab di atas mengartikan, tanah air kita (ibu pertiwi) kaya akan agama dan tradisi. Namun demikian, kesemuanya bersatu dalam harmoni. Keberagaman tidak lantas melanggengkan sentimen superioritas. Agama dan tradisi memiliki arti yang melengkapi dan menunjukkan adanya saling penghargaan dalam tatanan keseharian.
Pulau Jawa adalah wilayah yang dikenal kaya akan budaya, tradisi yang telah mangakar kuat. Di sini, sepanjang daerah, hampir masing-masing terdapat budaya lokal, dan kemudian disepakati komunitasnya sebagai ritual tahunan. Salah satunya ialah desa Sokaraja Lor. Desa yang terletak di kabupaten Banyumas ini terdapat tradisi ‘bersih kubur suroan’.
Secara etimologis, bersih kubur suroan terdiri dari tiga kata, yaitu ‘bersih’ artinya terbebas/membersihkan dari kotoran, ‘kubur’ artinya tempat pemakaman, dan ‘suroan’ artinya, menurut masyarakat Jawa, merujuk pada bulan Muharam. Jadi, bersih kubur suroan adalah serangkaian aktivitas membersihkan lingkungan tempat makam (kuburan) setiap bulan Muharam di Sokaraja Lor.
Dalam proses pelaksanaan, bersih kubur selalu dilakukan dihari minggu pagi. Adapun pemilihan tanggalnya fleksibel, intinya sebelum tanggal 10 Muharam. Kalau hari minggu jatuh pada tanggal 6 Muharam, maka pelaksanaanya pada tanggal 6 itu. Di tahun ini, acara bersih kubur dilaksanakan hari minggu, tanggal 5 Muharam 1444 H/ 23 Juli 2023. Seperti tahun-tahun sebelumnya, semua elemen masyarakat terlibat aktif dalam tradisi ini; pemerintah desa (Pemdes), tokoh masyarakat (Kiai, Gus, Bhabinkantibmas, Babinsa, Ketua RW, Ketua RT), dan masyarakat umum.
Secara teknis, pelaksanaannya dibagi menjadi dua tim, yaitu tim lapangan dan tim dapur. Tim lapangan terdiri dari kaum adam, sedangkan tim dapur diisi oleh kaum hawa, tugasnya menyiapkan hidangan makanan—kendati ada juga kaum hawa yang memilih di lapangan karena dapur sudah penuh. Tradisi bersih kubur suroan sejatinya bentuk pengejawantahan sikap gotong-royong masyarakat sokaraja lor dalam merawat tempat kuburan (makam).
Dewasa ini, mendengar kata makam, tak jarang dipersepsikan tempat kotor, mistis, dan angker. Jika terus berkembang, tidak menutup kemungkinan berdampak pada peminatan peziarah mengikis. Padahal ziarah itu, hemat saya, penting. Kenapa? Disamping mendoakan para leluhur, juga menjadi momen muhasabah diri, pepeling kematian hal yang pasti terjadi—kapan saja. Lain cerita bila tempat makam bersih dan enak dipandang. Tentu, para peziarah akan lebih minat berkunjung dan berdoanya jadi lebih khusyuk
Salah satu warga yang saya ajak ngobrol saat break juga mengungkapkan hal sama, “Acara ini kegiatan yang berlangsung turun temurun. Jadi tak boleh mandek. Tradisi bersih kubur dalam rangka mengubah makam sebagai tempat yang nyaman, bersih sehingga menarik minat orang untuk berziarah. Kalau para leluhur didoain kan pada senang”.
Kegiatan dalam tradisi ini mempertontonkan semangat bahu-membahu, gotong-royong. Ada yang menyapu, mencabuti rumput liar, memotong ranting-ranting dahan pohon, dan membersihkan jalan menuju makam. Masing-masing menggunakan alat yang dibawa dari rumah; pancong, sapu lidi, cangkul, arit, gergaji, dan alat pembersih lainnya. Suasana semakin ramai karena diisi jokes khas bapak-bapak yang menjadikan interaksi sangat gayeng, contohnya, “Kenapa batu itu warnanya hitam?” jawabannya, “Karena kalau warnanya merah itu bata”.
Setelah dicermati seksama, tradisi bersih kubur suroan ternyata memiliki makna yang luar biasa. Kegiatan ini selaras dengan nilai moderasi beragama—program yang sedang digalakkan Kementerian Agama untuk mewujudkan kerukunan dan persatuan—yaitu akomodatif terhadap budaya lokal. Itu artinya, kelompok warga ini telah tergolong sebagai kaum moderat (pertengahan). Tradisi bersih kubur suroan yang notabane merupakan budaya lokal Sokaraja Lor menjadi refleksi bagi masyarakat untuk senantiasa menerima budaya, tradisi selama tidak bertentangan dengan prinsip ajaran agama.
Lebih lanjut, kegiatan bersih kubur suroan ini juga mengandung banyak nilai kehidupan (living values) yaitu, nilai ukhuwah, nilai tolong menolong, nilai empati, dan nilai akhlak.
Pertama, nilai ukhuwah. Ukhuwah memiliki arti persaudaraan. Dalam tradisi bersih kubur suroan sangat kental rasa persaudarannya terbukti dengan tidak adanya para warga yang membeda-bedakan warga asli dan warga pendatang dari luar. Kaum adam rasa persaudaraannya terwujudkan dari situasi di lapangan, dalam pelaksanaan juga terselip guyonan khas bapak-bapak yang menjadikan suasana lebih akrab dan intim. Kaum hawa terjadi di belakang layar yaitu tempat dapur. Ibu-ibu dan wanita muda membuat hidangan dengan penuh cinta, sehingga makanan yang dihasilkan dibungkus dengan rasa emosional persaudaraan.
Kedua, nilai tolong menolong. Sikap tolong menolong warga Sokaraja Lor menjelma menjadi kebiasaan yang sudah berlangsung sejak lama. Sikap ini dilakukan dengan penuh suka rela, tanpa berharap mendapatkan pertolongan balik. Jikalau ada warga yang tidak membawa peralatan bersih-bersih maka akan dipinjami oleh warga lain. Selain itu perwujudan tolong menolong warga ketika ada salah seorang warga misal kesusahan menebas dahan-dahan ranting, maka dengan sendirinya warga datang dan ikut membantu. Itu bentuk dari sikap tolong menolong.
Selain itu, tolong menolong terjadi ketika pengambilan makanan. Warga tidak egois mengambil makanan untuk dirinya sendiri, tetapi mengambil agak banyak yang kemudian membagikan ke warga lain yang belum dapat dan akhirnya para warga makan bersama.
Ketiga, nilai empati. Nilai ini manifestasi terhadap para leluhur yang sudah meninggal, walaupun sudah beda alam (ghaib) tetapi kita yang masih hidup masih dapat memiliki keterikatan batin yaitu dengan mendoakan. Ketika tempat pemakaman bersih, nyaman, dan enak dipandang maka akan mengundang para peziarah untuk datang dan melakukan doa secara lebih khusyuk kepada para leluhurnya. Karena sabda Kanjeng Nabi, salah satu amalan yang tidak pernah terputus walaupun sudah meninggal, yaitu anak saleh yang mendoakan.
Keempat, nilai akhlak. Ruang lingkup akhlak, merujuk Asmuni (2017), ada tiga aspek; akhlak terhadap Allah, akhlak terhadap manusia, dan akhlak terhadap alam. Dalam konteks tradisi bersih kubur suroan, ketiga akhlak ini terlihat jelas telah diwujudkan pada saat hari H (proses pelaksanaan).
Nilai akhlak terhadap Allah tercermin dalam pengakuan atas keagungan-Nya dan ketundukan penuh kepada kehendak-Nya. Para warga semakin mengimani Allah Ta’ala sebagai pengendali kehidupan (kelahiran sampai kematian) dan menerima takdir-Nya dengan penuh keyakinan.
Nilai akhlak terhadap manusia terwujud dalam interaksi sosial yang ramah dan penuh unggah-ungguh. Ketika setiap warga sadar kelak juga akan masuk ke liang lahat, menjadi tulang-belulang, dan bekal yang dapat terbawa hanya amal. Maka, terbentuk perilaku warga dalam berinteraksi dan sosialisasi sesuai dengan tuntutan ajaran agama Islam. Akhlak terhadap manusia lainnya telah tercipta dari pembangunan tempat cuci tangan. Tempat cuci tangan dibuat sewaktu pandemi guna membersihkan diri dan menjaga satu sama lain dari Covid.
Nilai akhlak terhadap alam terwujud dari adanya warga yang merawat tumbuhan/pohon yang ada disana. Tumbuhan berduri, rumput-rumput liar akan ditebas. Sementara pohon yang tidak mengganggu akan dipercantik. Jalur setapak yang menghubungkan ke makam dibersihkan, lampu-lampu buat penerangan malam hari juga dipasang, dengan begitu semakin memperindah tampilan makam.
Inilah uraian mengenai tradisi bersih kubur suroan. Tradisi ini menjadi bukti bahwa anggapan sebagian kalangan yang menyebutnya sebagai perbuatan sinkretisme, syirik, dan TBC (Tahayul, Bidah, Churafat) adalah keliru. Bersih kubur kental akan nilai positif di dalamnya; terbangun semangat kekeluargaan, dan menjadikannya guyub. Oleh karena itu, tradisi ini patut dijaga dan dilestarikan agar dapat mewariskan nilai-nilai tersebut kepada generasi mendatang.