Peristiwa itu melekat di kepala Pardi. Dia hafal betul uik babinya, lekuk bongkongnya, warna kulitnya, dan hangat tubuhnya. Sehari-hari Pardi hanya duduk di kursi malas depan rumahnya. Setelah sebulan peristiwa itu terjadi Tati, istri Pardi keluar rumah untuk berbelanja ke pasar. Ia terkejut melihat suaminya menguik di atas kursi malas sambil memoncongkan mulut. Suaranya mirip sekali dengan babi ternaknya.
“Oh. Pardi,” seru Tati. “Janganlah kau ingat-ingat lagi tentang babi-babi itu. Mereka sudah tiada. Menjadi abu.” Tati memperhatikan Pardi. Tapi Pardi tidak merasakan keberadaan istrinya. Dia mulai merangkak, berjalan di depan Tati dan beranjak ke kandang babi yang sepi.
Pardi yang baru saja menyiapkan makan dan tidak mendengar uik babi, terkejut ketika semua babinya tak bernyawa. Dia segera lempar bak dan menghamburi binatang ternaknya. Dia berlari dari satu babi ke babi yang lain, lalu masuk ke kandang, dan keadaannya sama. Dia cium air di bak, dan tak berbau apa-apa. Dia memanggil Asti, istrinya. Lalu dia ceritakan semuanya.
Apakah wabah sudah menjangkit babi? Ini lah pertanyaan Asti saat itu, tapi ia urung bertanya karena ia tahu sendiri, Pardi sangat getol memeriksa kesehatan dan membersihkan kandang.
“Apa yang harus kita lakukan pada babi-babi ini?” tanya Asti sambil memikirkan kerugian yang mereka peroleh.
“Sebaiknya kita bakar saja,”
“Kerugian kita 93%, bayangkan!”
“Kok bisa … babi-babi ini mati?” Pardi memalingkan wajah dari Asti dan memandang binatang ternaknya.
“Apa wabah sudah menjangkit binatang ternak kita?” tanyanya sambil mengelus binatang malang itu.
Asti diam.
“Aku siapkan kayu bakar dulu.” Mereka keluar dari kandang. Pardi duduk di kursi malas depan rumahnya.
Saat Asti pergi ke gubuk penyimpanan kayu, Joko, tetangga yang juga peternak babi muncul.
“Hai, Joko,” sapa Asti.
“Bahaya!” seru Joko buru-buru mengabaikan sapaan Asti dan terus berjalan ke arah Pardi.