Aku sempat berpikir untuk tidak mencintaimu lagi setelah menjalani bahtera rumah tangga selama lima tahun. Hujan di bulan Juni telah membasahi kebun sayur di dekat rumah. Pagi menjadi dingin, sedingin ucapanmu tadi malam saat aku berpikir untuk tidak mencintaimu lagi.
Karena kesalahanmu itu, kita tidak lagi melihat dan mendengar canda tawa yang biasa menghiasi rumah tangga kita. Rumah sebesar itu kamu biarkan tanpa ada suara rengekan seorang buah hati yang biasa menghidupkan kehangatan keluarga kecil kita. Kamu benar-benar teledor.
“Nak, mungkin kami akan kesepian karena kamu tinggal, tetapi suatu saat nanti, kami akan menyusulmu,” ucapmu dengan raut wajah sebam. Ketika itu aku sudah memandikannya dan tetua desa mengkafani bayi berusia tiga tahun itu.
Setelah menggendong dan mengantarkannya sampai ke peristirahatan terakhir, aku telah berjanji akan membunuh anjing peliharaan kita. Bahkan aku akan membunuh seluruh anjing yang aku temui. Itulah janji seorang ayah untuk anaknya. Janji yang tercipta dari bara api dendam. Api dendam telah mengasah parangku semakin tajam.
Kamu sudah dua kali mengingatkan agar aku mengurungkan niatku, dengan alasan bahwa tidak harus membunuh anjing itu. Anjing itu hanyalah perantara Tuhan untuk mengambil anak kita. Meskipun, kamu juga tahu, bahwa kamu sudah tidak bisa hamil lagi. Kita sudah tidak bisa punya anak lagi setelah anak pertama lahir karena kamu memiliki masalah dengan rahimmu.
Hal itu yang membuatku bersedih sepanjang waktu. Apa yang bisa membuat pernikahan langgeng, jika tidak bisa ada keturunan? Buah cinta telah raib. Tidak akan lengkap pernikahan jika tak ada buah hati.
Jika memikirkan hal itu, kepalaku berdenyut, membuatku semakin bergairah untuk membunuh anjing itu. Memang, api yang berasal dari dendam tidak mudah untuk dipandamkan.
“Bertindaklah setelah amarah tidak menguasai dirimu, Mas,” katamu. “Sebetulnya, kita tidak bisa menyalahkan sepenuhnya anjing itu. Kalaupun anjing itu harus mati, apakah anak kita akan hidup kembali? Atau aku bisa hamil lagi?”