Di Kampung Congkal, banyak penjual cilok menjajakan dagangannya. Tapi, entah mengapa cilok Pak Huri mempunyai daya tarik tersendiri. Mulai anak-anak hingga yang orang tua, saban pagi dan sore menunggu bunyi terompet dan suara renyah Pak Huri, “Tet-tot-tet-tot. Wayahe… wayahe.” Rengekan anak kecil meminta, rayuan manja sang mudi kepada muda ketika melewati gerobak kecil Pak Huri. Juga tak luput mbah–mbah yang rela daun sirihnya digantikan kuluman cilok Pak Huri.
Cilok Pak Huri terkenal seantero Kampung Congkal, bahkan sampai tingkat kecamatan. Meski begitu, Pak Huri membatasi jumlah ciloknya dan ruang gerak serta waktunya. Pak Huri membuat kalkulasi ketika memulai usaha ini dengan berutang pada Haji Somad. Jumlah cilok yang dijual selalu dijual 300-500 biji. Pagi menjajakan jam 10.00 di depan SD terdekat, siang istirahat, dan sore jam 14.00 sampai jam 16.00 Pak Huri sudah pulang.
“Pak, mbok ya jumlah ciloknya ditambah lagi, kasihan kami menunggu seharian, pas ketemu eh sudah habis,” keluh satu pelanggan yang kecewa karena kehabisan stok cilok.
“Maaf, Neng, rezeki sudah ada yang ngatur. Biarlah penjual cilok yang lain yang merasakan rezeki itu,” dengan lugu Pak Huri menjawab.
Sudah sering Pak Huri mendapatkan protes dari beberapa langganannya. “Pak Huri gak cool nih. Istri saya ngidam ciloknya Pak Huri, eh tak cari-cari keliling kampung, pas ketemu habis,” sungut kesal langganan lainnya.
“Maaf-maaf, bukan saya pilih kasih, sampeyan kan bisa beli ke penjual cilok yang lain,” Pak Huri berusaha menenangkan.
“Lah, orang ngidam itu punya indera kedelapan belas, kalau saya ganti dengan cilok lain pasti akan kerasa bedanya. Bisa-bisa anak saya lahir ngileran bibirnya ndower ke bawah, sampeyan mau bertanggung jawab?!” protes pelanggan tadi.
Dan, seperti biasa, Pak Huri menjawab dengan keluguannya; bahwa rezekinya memang sudah begitu takarannya, dan ia tidak ingin penjual cilok yang lain merasa tersaingi. Namun, cilok Pak Huri justru makin terkenal dengan kelezatannya, dan selalu dinanti-nanti fans-fansnya, dan dihargai sebab ketulusan penjualnya.
Cilok Pak Huri mungkin sama seperti cilok pada umumnya. Biasa saja. Campuran tepung kanjinya sedikit, daging ayamnya dibuat agak banyak. Disajikan dalam bentuk biasa atau cilok bakar. Bumbunya pun juga sama: saus tomat, saus kacang, kecap, sambal. Tidak ada resep yang disembunyikan. Mungkin, Allah membuka pintu rezeki Pak Huri dengan melariskan dagangannya dan karena akhlak yang dimiliki Pak Huri.
Siang di depan pagar SD Negeri 1 Congkal, seperti biasa Pak Huri mangkal. Selalu dikerubuti anak-anak, tidak terkecuali guru-gurunya, atau orang yang sedang melewati gerobaknya. “Tet-tot-tet-tot. Wayahe… wayahe,” terdengar khas suara Pak Huri.
“Mau beli cilok, Pak?” tanya Pak Huri kepada guru yang tampak ingin membeli.
“Oh, iya, iya. Boleh, boleh,” jawab guru tersebut nampak ada sesuatu yang ingin disampaikannya.
“Berapa Pak?”
“Lima ribu saja, saus tomatnya tidak usah, hanya saus kacang dan kecapnya. Emm, tambah lagi lima ribu yang cilok bakar ya Pak,” pak guru memesan.
“Siap Pak.”
“Tet-tot-tet-tot. Wayahe… wayahe.”
“Ehhmm, ngomong-ngomong anak saya juga bersekolah di SD ini lo, Pak,” Pak Huri melanjutkan obrolan agar akrab.
Pak guru tadi merasa terladeni, “Iya, namanya Muhammad Mukhlis, kan, Pak. Kebetulan saya wali kelasnya. Mukhlis itu anak rajin lo, Pak. Pinter kalo di kelas, pendiam, dan yang saya suka dia selalu membangga-banggakan ayahnya, tidak minder sedikit pun.”
Dalam hati Pak Huri tersenyum bangga ketika guru tersebut menceritakan anaknya. “Alhamdulillah, berkat didikan dan bimbingan guru-guru di sini Pak. Nanti titip salam dan terima kasih untuk semua guru-guru di sini.”
“Insya Allah, nanti saya sampaikan, Pak Huri. Eh, sebentar lagi anak-anak mau ujian nasional lo, Pak. Kira-kira, anak Pak Huri setelah lulus mau melanjutkan ke mana?” tanya guru tadi.
“Belum tahu saya, Pak! Ya terserah Mukhlis saja, saya sebagai orang tua manut-manut saja, asalkan biayanya saya mampu menanggungnya,” sembari Pak Huri menyerahkan dua bungkus pesanan guru tadi.
Sambil menerima bungkusan cilok dan menyerahkan uangnya, guru tersebut mulai memberi saran, “Sayang kalau Mukhlis tidak meneruskan, Pak. Mukhlis itu pinter lo, punya potensi. Harusnya cari sekolah yang favorit di kota misalnya kalau sambil mondok, waaahh… agama dan ilmu pasti dapat itu, Pak.”
Pak Huri mulai mengikuti alur arah pembicaraan ini, “Di kota ya, Pak? Apa tidak mahal ya? Kalau soal mengirim ke pesantren sebenarnya saya sudah kepikiran, tapi takut menawarkan kepada anak saya, nanti dikira saya maksa.”
“Untuk meraih yang terbaik memang butuh sedikit pengorbanan, Pak Huri. Kita sebagai orang tua wajib memberikan kail dan umpan bukannya ikan, bukan harta tapi dibekali dengan ilmu,” Pak guru itu dengan serius mencoba menerangkan.
“InsyaAllah, kalau begitu, Pak. Saya siap bekerja lebih giat lagi, terima kasih atas saran dan nasihatnya, sambil titip-titip anak saya ya, Pak,” Pak Huri memantapkan niatnya.
“Nah, inilah sebenarnya tadi tujuan saya mendekati bapak, selain cilok ini tentunya. Hehehehe….”
“Terima kasih banyak, Pak. Nanti kalau anak saya lulus ujian, saya akan mentraktir semua guru di sini dengan cilok buatan saya. Ini nadzar saya,” sambil tersenyum Pak Huri menegaskan kembali niatnya.
Begitulah, percakapan singkat tadi membuat Pak Huri berpikir bahwa harus ada yang dilakukannya. Harus berbuat sesuatu yang lebih demi masa depannya. Maka, Pak Huri menyimpulkan bahwa ia harus menambah jumlah biji ciloknya untuk dijajakan. Dengan lokasi dan waktu yang juga harus ditambah. Pagi, sore, dan malam hari, demikian Pak Huri menambah durasi waktu kelilingnya. Yang semula membuat cilok 300-500, kini dibuatlah menjadi 500 sampai 800.
“Ini juga demi pelanggan saya yang beberapa kali protes karena tidak kebagian cilok saya,” pikir Pak Huri.
Cilok Pak Huri semakin populer, semakin menguasai pasar, semakin pula bertambah penghasilannya. Anaknya yang telah lulus SD dikirimkannya ke kota untuk bersekolah sekaligus mondok. Semakin kewalahan Pak Huri melayani pembeli saking larisnya.
Penjual cilok lain merasa tersaingi. Ada yang ganti wilayah keliling, ada yang banting setir berganti jualan lain atau alih profesi. Bahkan ada yang mencibir bahwa cilok Pak Huri laris karena pakai dukun, di kualinya ada celana dalam jin, Pak Huri pakai jimat penglaris, hingga memelihara perewangan jin untuk membantunya. Pak Huri pun bergeming dan tetap menjajakan ciloknya.
Dengan bantuan kredit bank, kini Pak Huri memiliki lima gerobak cilok. Wilayah jajahan kekuasaan ciloknya juga semakin meluas. Menyikapi bahan-bahan yang semakin mahal, Pak Huri sedikit menyiasatinya. Menebalkan kulit kanji dan dengan isi daging yang dikurangi. Saus kacang dan sambal yang ditambah kadar airnya juga menambah varian cilok dengan beragam rasa: cilok orisinal, cilok bakar, cilok pedas level, cilok rasa coklat, cilok rasa strawberi, sampai-sampai cilok rasa jahe dan peppermint pun juga ada. Wow!
Istrinya sedikit memprotes setelah ia mengetahui sedikit kelicikan yang dilakukan suaminya. “Pak Ne, mbok ya ciloknya dibuat seperti dulu saja. Biar barokah, aku takut nanti kalau pelanggan kita kecewa terus Allah menguji kita.”
Mendengar protes istrinya, Pak Huri mulai pudar keluguannya. “Kamu ngerti apa? Aku kan tidak ndukun, tidak aneh-aneh, hanya mengurangi beberapa bahan saja. Toh, kini pelangganku semakin bertambah banyak. Jadi intinya Allah itu meridhoi usahaku.” Istri Pak Huri diam saja mendengar jawaban suaminya. Sambil terus berdoa agar suaminya kembali ke jalan yang benar.
Pak Huri kini sudah menjadi bos cilok. Anak buahnya yang berkeliling juga ada. Dua pegawai yang membantunya membikin cilok. Pak Huri hanya menerima setoran sambil marah-marah ketika ada anak buah yang setorannya kurang.
Setelah yasinan rutinan malam Jumat, Pak Huri tampak kesal memasuki rumahnya. “Apa dikira aku ini sudah kaya beneran, menyuruh-nyuruh ko gak mandang, sak karepe, sak penak e udele dewe kalo ngomong,” Pak Huri melampiaskan kekesalan kepada istrinya.
“Ada apa to Pak, pulang-pulang yasinan kok emosi?” tanya istrinya menyelidik.
“Itu tadi lo, di yasinan ada ceramah singkat dari Haji Somad. Katanya perlunya haji bagi yang sudah mampu, karena akan menyempurnakan rukun iman. La, itu jelas nyindir aku to Bune,” Pak Huri menjelaskan sebab kekesalannya.
“Gitu to Pak, ya ndak apa-apa kalau merasa tersindir. Berarti Pak Ne paham maksudnya, tersindir berarti melakukan. La wong ceramahnya ke seluruh jamaah, ndak ke Pak Ne saja to?” istri Pak Huri mencoba menenangkan atau lebih tepatnya menuangkan bensin ke api menurut Pak Huri.
“Halah! Kamu itu sama saja Bu, malah tidak membela aku.”
“Bukan begitu Pak, siapa tahu dengan berhaji usaha kita dapat barokah, tambah laris, karena ikhlas sudah melakukan haji,” sang istri mencoba menenangkan kembali.
“Ehmmm…, benar juga ya. Apalagi nanti di rombong tak tulisi ‘Cilok Haji Huri’, pasti akan menambah wibawaku,” pikiran Pak Huri menerawang.
Segera Pak Huri mendaftarkan haji ke KBIH terdekat, lewat jalur VIP alias ONH plus, agar tidak berlama-lama menunggu jadwal pemberangkatan karena kuota yang terbatas. Cukup menunggu satu tahun Pak Huri pun berangkatlah ke tanah suci untuk menunaikan haji. Tak lupa ia membawa uang saku yang banyak, takut kalau-kalau di sana ingin apa-apa. Ia membawa Rp 150 juta lebih dalam tasnya. Memang, Pak Huri lebih menyenangi uang kontan daripada memakai uang elektronik, lebih praktis alasannya. Berangkat Pak Huri memenuhi panggilanNya. Labbaikallahumma labbaik…
Rangkaian ibadah haji selesai dilaksanakan. Haji Huri pun juga selesai merampungkan ritual-ritual dalam haji. Lancar tiada kendala. Suatu ketika Pak Huri bersama dua teman sekloter Haji Muin dan Haji Suib sebelum berangkat pulang menemui rekan kloter lainnya, Haji Toyib di Rumah Sakit entah karena apa belum jelas. Haji Muin memulai obrolan, “Eh, kamu ini kenapa? Kena musibah apa ko sampai lebam begini, sampai dibalut perban banyak gitu?”
Sebelum menjawab, Haji Suib sudah menyahut, “Jangan-jangan kena karma! Seperti orang-orang bilang, bahwa ada sebagian besar ketika haji akan menemui balasan terhadap dosa yang dilakukan sebelumnya.” Haji Suib melanjutkan, “Kemarin ketika selesai wukuf aku tersesat. Tidak tanggung-tanggung sampai menggelandang dua hari di kantor polisi karena aku kesulitan menjelaskan. Mungkin karena dulu aku pernah ada orang yang bertanya alamat terus tak tunjukkan arah yang salah, la pikirku ya guyon.”
Haji Muin terperanjat, “Ehhh…sama! Ketika lempar jumrah kepalaku kena lemparan batu berkali-kali. Bukan hanya itu, setelah tak amati, la kok kerikil yang mengenai kepalaku ukurannya lumayan besar, berbeda dengan kerikil-kerikil lain, sampai berdarah. La ini masih benjol-benjol,” sambil menujukkan bekas hitam di bagian belakang kepalanya Haji Muin.
“Apa iya ya?” tiba-tiba Haji Toyib menimpali. “Aku begini karena terinjak-injak ketika dijemarat. Tiba-tiba seperti ada yang menjegal kakiku, aku jatuh terus ya begini ini akibatnya. Kalau Haji Huri sendiri bagaimana?”
Haji Huri yang dari tadi diam setengah kaget menjawab, “Alhamdulilllah, semuanya lancar! Tidak ada apa-apa.” Jumawalah hati Haji Huri, ia merasa semakin mantap bahwa usahanya mendapatkan rahmat. Buktinya ia tidak mendapatkan balasan apa-apa yang menurut kegita haji tadi.
“Sebentar lagi kita pulang ke tanah air ya. Ingat! yang kita obrolkan tentang balasan tadi jangan bocor ya, jangan ceritakan ke orang-orang, bisa jatuh wibawa kita nanti,” usul Haji Toyib dibarengi persetujuan dari tiga haji lainnya. Namun, Pak Huri setengah berteriak, “Wayahe…wayahee…”
Tiga haji tadi serempak, “Wayahe opo?”
“Wayahe bertobat!” jawab Haji Huri disambut tawa dari tiga haji temannya.
Rombongan haji Huri tibalah di tanah air. Terbersit Haji Huri sebelum pulang ingin menemui saudara-saudaranya. Ia ingin menunjukkan bahwa pedagang cilok sudah naik haji sudah menuntaskan rukun Islam yang lima. Haji Huri pun menelepon istrinya untuk tidak menjemputnya. Ia akan pulang 2-3 hari lagi. Terdengar kecewa suara istrinya, tanpa Haji Huri tahu bahwa istri dan tetangga-tetangganya telah menyiapkan segala sesuatu untuk menjemputnya.
Haji Huri berangkatlah ke saudaranya di Lampung. Ia memilih kapal laut. Haji Huri sebenarnya alergi laut, jadilah ia di kapal mabuk laut. Pandangannya berkunang-kunang, sedikit pusing. Perutnya mual seperti diaduk-aduk mixer. Berjalan pun limbung. Saat hendak ke toilet, Haji Huri menyusuri dek kapal, tapi tiba-tiba gelombang ombak laut datang menghantam. Kapal pun oleng. Haji Huri yang limbung berjalan hampir jatuh, segera berpegangan pada pagar pembatas kapal. Malaikat penyampai wahyu dengan sigap mengendorkan tali tas Haji Huri. Tas berisi uang Rp 100 juta itu pun segera meluncur ke laut tanpa Haji Huri bisa menangkapnya.
Haji Huri termangu, lemas, sendirian tanpa ada yang mengetahui kejadian tersebut. Sayup-sayup dari kabin kapal terdengar azan ashar berkumandang. Namun, bukan azan yang didengar Haji Huri, tapi suara yang sepertinya dipantulkan kembali oleh kebiasaannya, “Wayahee… wayaheee… wayahe bertobat!”