Dewasa ini, refleksi ulang mengenai relasi laki-laki dan perempuan dalam teks-teks keagamaan merupakan sebuah kebutuhan yang tak dapat dihindari seiring kemaslahatan sosial yang selalu berubah-ubah. Dalam kurun waktu yang panjang, kaum perempuan menyimpan keresahan atas peran mereka yang seringkali terhambat oleh wacana-wacana keagamaan yang dibakukan. Tentu saja hal tersebut juga menghalangi kemajuan kaum perempuan pesantren maupun kalangan umum.
Sebagaimana kitab-kitab kuning yang menjadi acuan utama kaum pesantren, masih sangat bias gender. Sedangkan perubahan konteks semakin masif dan dibutuhkan transformasi sosial yang lebih luas. Oleh sebab itu, telaah dan menafsir ulang wacana yang bias gender sangat diperlukan. Wacana yang dimaksud ialah superioritas laki-laki atas perempuan. Wacana-wacana tersebut antara lain: tipe istri shalihah yang berkewajiban patuh kepada perintah suami, kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan, dan kerelaan Tuhan bergantung pada kerelaan suami terhadap istrinya.
Di pesantren, posisi perempuan masih diasosiakan sebagai makhluk Tuhan kelas dua. Di mana laki-laki punya sejumlah kualifikasi yang diunggulkan dibanding perempuan. Sebab itu, ruang geraknya hanya sebatas dapur, sumur dan kasur, dan tidak boleh aktif di ruang publik sebab takut akan menyebarkan fitnah. Hal tersebut tentu menghambat transformasi sosial kaum perempuan ke arah yang lebih baik.
Padahal jika menilik teks-teks keagamaan yang lain terdapat sejumlah ayat yang mengurai bahwa posisi kaum perempuan setara dengan laki-laki. Seperti halnya laki-laki, perempuan berhak mengambil peran di ruang publik, sosial maupun politik.
Ayat tersebut yaitu Al-Hujurat: 13 “Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa,” An-Nahl ayat 97, juga dalam hadist “kaum perempuan adalah saudara kandung laki-laki” (HR. Abu Daud Tirmidzi)
Hal tersebut sejalan dengan fakta-fakta di awal periode Islam. Sejumlah sahabat Nabi dari pihak perempuan terlibat dalam ranah sosial dan politik. Seperti Sayyidina Aisyah R.A yang cerdas, pintar dan berwibawa dijuluki sebagai intelektual muslimah; Fatima Al-Fihri yang dikenal sebagai pendiri institusi pendidikan muslim terbesar di Jazirah Arab dan Afrika Utara; Khadijah binti Khuwailid (istri Nabi) yang dikenal sebagai komisaris perusahaan; Zaynab binti Jahsy yang berprofesi sebagai penyamak kulit binatang; Ummu Salim binti Malhan yang berprofesi sebagai tukang rias pengantin, istri Abdullah bin Mas’ud; dan Qilat Ummi Bani Ammâr dikenal sebagai wiraswastawan yang sukses.