Manusia suci? Agaknya tak ada! Yang ada ialah yang menetapkan diri (konsisten) dalam kesucian/kebaikan atau berupaya terus menerus untuk itu. Bagi Kubrick, tak ada pahlawan. Yang ada cuma manusia yang mempertahankan hidup, harta, dan pengikutnya sekuat tenaga. Atau mengalami dehumanisasi karena rutinitas dan kesepian.
Pahlawan dimunculkan—meminjam kecemasan Bertolt Brecht, yang menyebut dramanya “Intrument der Aufklärung”—supaya terbangun kesadaran terhadap kehidupan. Terhadap realitas setempat. Semakin banyak pahlawan diangkat, semakin rendah sesungguhnya kesadaran suatu masyarakat. Orang memuja-muja sang pahlawan dengan romantisme yang gombal. Seraya melupakan realitas setempat “yang tak berdaya”. Orang mabuk bagai dalam pengaruh alkohol. Mengharu biru. Sembari mengenang kemalangan hidup yang sukar dientaskan.

Dalam The Shinning-nya yang masyhur, tampaknya Stanley Kubrick, sutradara horor yang perfeksionis, itu tak percaya pada kepahlawanan. Ia memercayai yang tercampak dalam ironi. Manusia yang menganggap nilai-nilai tidak penting bukan karena ia “awam nilai”, melainkan ia “si jagoan nilai” itu sendiri.
Ia menyadari baik dan jahat pada satu keadaan yang sama. Kode-kode moral dalam dirinya berhadapan dengan kenyataan yang tak ideal, jarak antara keduanya, kemudian menimbulkan perdebatan omong kosong yang memuakkan.
Dalam sebentang ironi, si jagoan nilai itu, memaki, mengutuk, dan mengolok-olok. Segala kutukan dan olok-olok yang kotor, sesungguhnya menjadi penanda kecundangan dan kekalahannya di hadapan realitas. Ia lalu melumat-lumat realitas seperti seorang anak yang kesal melumat-lumat mainan yang bukan untuk usianya, karena gagal merangkai mainan tersebut. Sejatinya ia ingin dihibur dan menghibur, menyimpan kepedihan dan kesepian diam-diam, dan ingin berjoget di atas penderitaan orang lain seperti dalam lirik sebuah lagu dangdut.
Barangkali bukan sekadar pahlawan. Tapi integritas, melahirkan pahlawan-pahlawan sejati yang hidup, bukan yang sudah wafat, dalam tiap denyut hidup tanpa dibubuhi stempel formal pada kertas penghargaan. Lantaran ia dikekalkan dalam ingatan dan spirit.
Di dalam sebuah novel, dikisahkan perihal kehidupan Pablo Neruda, penyair Chile yang diasingkan di tepi pantai terpencil. Ia berbaur dengan orang-orang buta huruf. Betapa tersiksa seorang penulis yang hidup di tengah masyarakat tidak membaca.
Tetapi tidak demikian halnya yang dialami Neruda dalam novel Antonio Skarmeta. Orang-orang tersisih yang buta huruf menyayangi Neruda. Buku-buku puisinya dimiliki atau dibeli banyak orang yang buta huruf itu, tentu saja tidak untuk dibaca. Melainkan dipajang di almari rumah mereka sebagai bukti kebanggaan dan rasa hormat mereka terhadap penyair yang konsisten membela kepentingan yang tertindas, bukan menjadikan ketertindasan dan nasib orang-orang tertindas itu sebagai “komoditas intelektual”, melainkan ia pun hidup dan mengalami ketertindasan itu sendiri di dalamnya, dengan harus menerima risiko politik dalam pembuangan.
Di pulau terpencil itu, Neruda menulis dan membaca. Ia menerima atau berkirim surat setiap pekan. Ia berkawan karib dengan seorang pemuda pengantar surat. Mario Jimenez namanya. Pemuda yang ingin hidup berharga. Neruda menggembleng Jimenez untuk mendapatkan perempuan pujaannya dengan bahasa. Ia berhasil menaklukkan perempuan pujaannya itu. Itulah keberhasilan, lantaran Jimenez menjatuhkan hati sang pujaan secantik Salma Hayek itu tidak dengan puisi Neruda. Neruda tertawa.
Dengan segala perjuangan yang melelahkan, Jimenez berhasil mendapatkan perempuan pujaan bernama Beatriz. Itulah biografi dari sejarah kepahlawanan seorang penyair yang mematri jejaknya dengan metafora. Neruda mengajarkan hal itu pada si tukang pos. Ia pahlawan pujaan, menaklukkan sang kekasih pujaan. Dan itu kepahlawanan. Sesuatu yang sesungguhnya hidup, tak mati. Dan jika ia mati, ia tak dikenang namanya. Melainkan metafora telah menjadi jejak kepenyairannya pada “sejarah kecil” yang dikenang dalam “kehidupan yang kecil”. Sebentuk jejak kreatif yang dikorbankan untuk hidupnya. Bukan demi apa-apa, hanya demi pujaan hatinya, hidupnya. Bukan pengakuan atau ketenaran. Baginya, buat apa segala ketenaran jika metaforanya tak dapat menaklukkan hati sang pujaan, tak mematri jejak pada ingatan.
Sebagai pahlawan tak dikenal, pujaan hati, ia menulis puisi:
Senyummu merentang di wajahku seperti seekor kupu-kupu
Tawamu adalah air pasang yang mendebar;
Tawamu adalah gelombang keperakan yang datang tiba-tiba
Maka jatuhlah hati perempuan pujaan hati itu. Jatuh dalam metafora yang membentang antara berahi dan sosial, antara politik dan ideologi, antara sejarah dan segenap kegombalan dunia. Antara tatapan mata dan debur ombak yang membawa hujan dalam kenangan.
Dalam keserbasulitan dan rasa geram terhadap dunia, dalam perjalanan hidup sehari-hari, ada yang harus terus ada. Itulah apa yang disebut oleh Antonio Skarmeta sebagai “burning patience”, yakni “kesabaran yang membakar/menyala”. Ia membakar bukan untuk menghancurkan. Tetapi memberikan kehangatan untuk tetap bertahan, berjalan, dan tak pernah merasa kesepian. Novel Skarmeta itu dikenal dengan jejuluk Il Postino. Ada yang sesungguhnya tak tampak, dan tak perlu tampak. Namun fungsi dan keberadaannya nyata, barangkali menjadi semacam arti, entah apa dan entah oleh siapa.
Begitu pula dalam lirik sebuah lagu lama. Rupanya Bimbo pun tak percaya pada label atau popularitas seseorang “yang selalu tampak itu”. Lantaran, sesungguhnya jiwa tak terjebak pada “yang selalu tampak itu”, prototipe, gelar, dan entah apa. Ia memuja dan merindukan yang tak pernah tampak—meski cuma dianggap pelengkap, namun bagai detak jantung dalam hidup sehari-hari.
Itu terekam dalam lagu Balada Seorang Penyiar (1970), bukan penyair. Ya. Penyiar. Di tahun-tahun itu, radio satu-satunya alat informasi dan penyiaran, sebelum tivi. Penyiar (bukan penyair) yang mengantarkan lagu-lagu, yang suaranya hilang di udara, yang orang tak pernah tahu dan tak mau tahu di mana rumahnya.
Ke manakah gerangan Tuan? tanyanya.
Balada Seorang Penyiar (1970)
–Bimbo
Tiada lembah tiada gunung
Tiada kota tiada dusun
Suaramu terdengar merayu
Mengantarkan lagu-lagu
Baik siang maupun malam
Baik suka maupun duka
Kau arungi gelombang suara
Kau hampiri pendengarmu
Dikau penyiar pujaan pendengarmu
Suaramu sungguh merdu
Dikau penyiar pujaan pendengarmu
Suaramu sungguh merdu
Pendengarmu tak kenal wajahmu
Pendengarmu tak mau tau rumahmu Suaramu pengenalmu
Menyentuh merayap kalbu
Di udara, hilang suaramu
Di udara, terasa kelam
Lagu merdu, terasa kelabu
Ke manakah gerangan tuan
Dikau penyiar pujaan pendengarmu
Suaramu sungguh merdu
Dikau penyiar pujaan pendengarmu
Suaramu merdu
Sumber ilustrasi: Pablo Picasso.
