Pandemi global Covid-19, yang diduga virusnya bermula dari daerah Wuhan, China, ternyata memantik sentimen ras. China, atau Tiongkok, dianggap sebagai negara penyebar virus Corona. Bahkan, Presiden AS Donalp Trump sempat sinis dengan menyebut “Virus China”. Akibatnya, akhir- akhir ini, warga etnis Tionghoa yang bermukim di sejumlah negara banyak yang menjadi korban rasisme. Di Prancis, misalnya, perlakuan tidak mengenakkan ini dialami Cathy Tran, seorang perempuan Tionghoa di Kota Colmar. Saat itu, ketika berangkat kerja, Cathy Tran mendengar ada dua pria yang berteriak: “Awas. Ada perempuan China ke arah kita!”
Raisme terhadap etnis Tionghoa ini seolah mengingatkan kita pada kasus yang pernah terjadi di Indonesia beberapa waktu lalu. Pencalonan Basuki Thahja Poernama dalam Pemilihan Gubernur DKI Jakarta melawan Anies Baswedan dilihat sebagai hal yang salah,dan kemudian ditentang oleh kelompok-kelompok tertentu yang mengatasnamakan Islam dan muslim. Isu politik yang diusung memposisikan etnis Tionghoa sebagai musuh Islam. Padahal, jika kita teliti membaca sejarah yang ada, etnis Tionghoa memiliki peran besar dalam penyebaran agama Islam di Nusantara. Sayangnya, selama ini yang lebih dikenal sebagai penyebar Islam di Nusantara adalah orang-orang dari India dan Timur Tengah.
Padahal, catatan-catatan sejarah menyebutkan, pada sekitar abad ke-15, banyak imigran Tionghoa pemeluk Islam yang mendarat di wilayah Nusantara. Mereka sebagian besar berasal dari Guang Dong dan Fujian. Mereka akhirnya menetap di wilayah Indonesia. Untuk mencari nafkah, kebanyakan mereka terjun di bidang perdagangan, pertanian, dan pertukangan. Nah, pada periode inilah para imigran Tionghoa Muslim mulai menyebarkan ajaran agama Islam di daerah-daerah yang mereka tinggali. Beberapa daerah tujuan imigran Tionghoa Muslim di antaranya adalah Sambas, Lasem, Palembang, Banten, Jepara, Tuban, Gresik, dan Surabaya. Jejaknya masih ada hingga kini.
Dikutip dari buku Tionghoa dalam Pusaran Politik (2003) yang ditulis Benny G Setiono, jejak orang Tionghoa dalam penyebaran Islam baru terungkap pada 1928. Peristiwa itu bermula ketika tulisan-tulisan Tionghoa yang tersimpan di Kelenteng Sam Po Kong dirampas Residen Poortman. Kala itu, Residen Poortman merampas tiga gerobak berbagai catatan berbahasa Tionghoa yang menceritakan peran orang Tionghoa dalam menyebarkan agama Islam. Tidak hanya itu, tulisan-tulisan tersebut juga menyingkap rahasia akan peran orang-orang Tionghoa dalam membentuk kerajaan-kerajaan Islam di Jawa. Salah satunya Kerajaan Islam Demak, yang kelak menjadi cikal bakal Kerajaan Mataram.