Perempuan Jumatan dan Logika Fikihnya

Ada satu hal menarik ketika kita berbicara tentang salat Jumat. Semua orang tahu bahwa salat ini adalah kewajiban bagi laki-laki. Namun, ketika kita menggeser fokus ke wilayah perempuan, masalahnya menjadi jauh lebih menarik. Ia menyajikan sebuah paradoks yang, jika ditelaah lebih dalam, bisa membongkar kekakuan pandangan kita tentang hukum Islam.

Dalam kitab-kitab klasik, misalnya al-Majmū‘ Syarḥ al-Muhadzdzab, Imam an-Nawawi dengan tegas menyatakan bahwa salat Jumat tidak wajib bagi perempuan. Statusnya hanyalah sunah. Namun, anomali muncul: jika seorang perempuan melaksanakan salat Jumat, ibadahnya sah dan, yang lebih penting, menggugurkan kewajiban salat Zuhur.

https://www.instagram.com/jejaringduniasantri/

Ini adalah paradoks logis yang membingungkan bagi mereka yang terbiasa berpikir dalam skema hitam-putih. Bagaimana mungkin sebuah ibadah yang secara hukum berstatus sunah bisa menihilkan ibadah yang berstatus wajib? Bukankah seharusnya yang wajib selalu lebih tinggi daripada yang sunah?

Jawabannya terletak pada cara pandang fikih yang lebih fleksibel, yang kerap dilupakan oleh para puritan modern. Dalam Bughyah al-Mustarsyidīn, kita menemukan penjelasan bahwa salat Jumat adalah ibadah pokok. Sementara itu, salat Zuhur pada hari Jumat berfungsi sebagai badal atau pengganti bagi mereka yang tidak bisa atau tidak diwajibkan menghadiri Jumat.

Logika sederhananya begini: jika yang pokok sudah dilaksanakan, maka gugurlah kewajiban untuk melaksanakan penggantinya. Analogi yang bisa kita pakai adalah hukum pajak; jika Anda sudah membayar pajak utama (Jumat), tidak perlu lagi membayar pajak substitusi (Zuhur). Ini bukan soal mana yang lebih tinggi, melainkan soal fungsi.

Logika hukum yang tampak sederhana ini membawa kita pada sebuah implikasi sosial yang radikal. Dalam perspektif kesetaraan, tidak diwajibkannya perempuan salat Jumat sering kali disalahpahami sebagai “pengusiran” mereka dari ruang publik ke ruang domestik.

Pandangan ini mengklaim bahwa Islam meminggirkan perempuan dari ritual kolektif yang dianggap sakral. Padahal, teks fikih justru berbicara sebaliknya. Ia menyediakan opsi bagi perempuan untuk berpartisipasi, bahkan menganugerahi ibadah mereka dengan efek hukum yang sama dengan ibadah wajib. Ini merupakan sebuah pengakuan luar biasa terhadap kehadiran perempuan di ranah publik keagamaan.

Di sinilah letak ironi terbesar. Kitab-kitab klasik yang sering dituduh “kuno” dan “tidak progresif” ternyata lebih inklusif dan egaliter daripada praktik sosial umat Islam hari ini. Kita sering melihat perempuan dipandang aneh jika ingin ke masjid untuk salat Jumat, bahkan dianggap tidak pantas. Sebagian masjid tidak menyediakan fasilitas yang layak, khotbah jarang menyentuh isu perempuan, dan stigma sosial masih kuat. Dinding-dinding sosial yang kita bangun justru jauh lebih eksklusif daripada teks-teks fikih itu sendiri.

Mungkin inilah salah satu pelajaran paling penting dari fikih salat Jumat perempuan. Bahwa fleksibilitas syariat bukan hanya keringanan, melainkan juga kesempatan. Ia bukan hanya tentang kewajiban, tetapi juga tentang hak untuk berpartisipasi.

Dan yang terpenting, ia menunjukkan bahwa inklusivitas Islam adalah realitas tekstual yang sudah lama ada, jauh sebelum isu-isu ini menjadi tren. Yang kita perlukan sekarang adalah keberanian untuk meruntuhkan dinding-dinding budaya dan sosial yang membelenggu, dan kembali pada kelenturan hukum yang sebenarnya.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan