Rendahnya melek literasi masyarakat Indonesia, semakin ke sini tambah memprihatinkan sekali. Tidak hanya persoalan malas membaca, tapi budaya berkunjung ke perpustakaan pun senapas jua. Ventensius Gitiyarko pernah membahas problem genting ini di Harian Kompas pada 20 November 2023 lalu. Ia mengutip hasil jajak pendapat litbang Harian Kompas, bahwa separo (57,3 persen) yang mengetahui keberadaan perpustakaan daerah mengaku tidak pernah berkunjung; dan data dari Kemendikbudristek, bahwa indeks alibaca berada di angka 37,32 (2019) dalam skala 1-100, Gitiyarko merasakan perlunya usaha peningkatan minat baca.
Kegelisahan Gitiyarko mungkin juga sama seperti yang dialami oleh orang-orang yang prihatin akan pentingnya literasi. Dan di antara kegelisahan itu barang kali muncul dari kenyataan bahwa kondisi sosial masyarakat dalam konteks ini sangat paradoksal: Indonesia menempati urutan kelima terbanyak dalam kepemilikan gadget, tapi minat bacanya terendah kedua dari bawah, 0,001% (UNESCO). Padahal media-media literasi semakin berkembang bersamaan dengan kemajuan teknologi itu, seperti buku digital, koran digital, majalah digital, bahkan manuskrip-manuskrip kuno mulai didigitalisasi.
Perpustakaan: Titik Pusat Peradaban
Peran perpustakaan dalam meningkatkan melek literasi masyarakat sangat dibutuhkan, mengingat bahwa perpustakaan menjadi satu-satunya pusat semesta pergumulan literatur pengetahuan dan peradaban. Tak lekang dalam ingatan -dan itu tercantum dalam catatan sejarah Ibnu Khaldun- bahwa keruntuhan Baghdad, sekaligus kemunduran peradaban Islam, bermula pada titik pemusnahan manuskrip-manuskrip oleh pasukan Mongol yang konon sampai menghitamkan sungai Tigris (1258 M).
Tragedi pilu dunia pengetahuan itu, menjadi sebuah utopia, bahwa dunia sudah semestinya memasuki era modern lebih cepat. Namun, jika benar demikian, tak perlu hal itu disesalkan. Sebab, bagaimana pun kenyatannya, dunia literasi tetap berjalan seiring dengan kemajuan teknologi komunikasi dan informasi saat ini.
Boleh saja dalam hal literasi, bangsa ini dipandang masih jauh dari bangsa-bangsa lain, terutama Eropa. Tapi, eksistentsi kepustakaannya masih dijaga dan diusahakan tetap hidup di tengah masyarakatnya. Tranformasi Perpustakaan Berbasis Inklusi Sosial yang diprogramkan pemerintah adalah satu bukti gaung keras itu.