Pesantren dan Model Pendidikannya

Pesantren, dalam sunyi dan kesederhanaannya, memelihara sesuatu yang tak bisa diukur dengan kamera, mikrofon, atau rating acara televisi. Ia memelihara jiwa—ada kehidupan yang tak pernah selesai diterjemahkan oleh siapa pun.

Ketika media berhasil masuk ke dalam pesantren, pilihannya seperti halnya sebilah pisau, ia menjadi begitu tajam, pun sebaliknya melihat fenomena kehidupan pesantren. Lalu muncullah potongan-potongan tayangan, kata-kata “feodal”, “tertutup”, “dogmatis”, “tidak modern”.

https://www.instagram.com/jejaringduniasantri/

Bukan hanya baru-baru ini. Sebenarnya juga sejak lama, nada sinisme tentang pesantren berkembang. Bahkan sebuah stasiun televisi besar menyiarkan segmen yang menyinggung pesantren dan para kiai—tayangan yang katanya “investigatif”, tapi lebih mirip cermin yang dipasang miring. Cermin yang tidak memantulkan wajah, melainkan mengubah bentuk.

Sampai saat ini, saya berada di antara mereka—para santri yang berwajah letih tapi matanya teduh; para kiai yang mengajar dengan tasbih di tangan, bukan dengan mikrofon; dan masyarakat kecil yang menitipkan anaknya ke pondok dengan doa, bukan dengan uang saku besar.

Saya tahu, di pesantren memang ada manusia—dengan segala kekurangannya. Tapi saya juga tahu, di sanalah ada sejenis kesetiaan yang tidak dijual di toko modern, kesetiaan pada ilmu, pada laku, pada keseimbangan antara dunia dan akhirat.

Di era digital yang serba cepat ini hampir semua ruang dituntut untuk menyesuaikan diri dengan kondisi lebih cepat dan terbuka, namun tanpa filter yang bernama kepantasan. Pesantren sedang mengalami pergeseran sosial yang pelik. Santri kini tak hanya belajar kitab kuning, tapi juga coding, ekonomi syariah, bahkan marketing digital. Pesantren-pesantren berinovasi, tapi tetap berpegang pada prinsip lama “nguri-uri sing apik, lan mundut sing luwih becik” (Memelihara yang baik, dan mengambil yang lebih baik.)

Namun, bagi sebagian manusia modern, semua itu masih tampak “kolot”. Seolah santri yang sujud lama dianggap lambat berpikir, dan kyai yang menunduk dianggap menindas.

Halaman: First 1 2 3 ... Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan