Di pesantren-pesantren, pada akhir tahun pelajaran (akhirus sanah) biasanya diadakan sebuah perayaan. Perayaan ini biasa disebut sebagai haflatul imtihan. Haflatul imtihan sendiri menjadi momen yang paling ditunggu-tunggu oleh para santri, sebab selain perayaannya yang seringkali disuguhkan dengan meriah, pada momen itu juga penentuan kelulusan para santri keluar.
Mulanya, acara haflatul imtihan memang dikemas dan bertujuan untuk perayaan kelulusan santri dan akhir tahun ajaran, mengenang pendiri pesantren, temu alumni, dan silaturrahmi antar santri, wali santri, kiai, tokoh masyarakat, dan masyarakat secara umum. Kemasan acaranya pun dibingkai dengan semenarik mungkin, tak ayal jika para santri sangat menanti-nanti momen tersebut.
Satu minggu sebelum acara atau bahkan bisa lebih dari itu, lomba-lomba digelar sebagai hiburan. Mulai dari yang berbau olahraga, seni, budaya, akademik, dan lain-lain, dengan tema-tema kepesantrenan, keindonesiaan, dan keislaman yang diusung. Hal ini terbukti ampuh menjadikan kemasan haflah jauh lebih menarik dari sekadar hanya acara ceremonial yang cenderung monoton.
Tidak hanya itu, pertunjukan-pertunjukan seni juga berkontribusi sebagai pengisi acara. Lumrahnya —di desa saya dan sekitarnya— pesantren yang sedang mengadakan haflatul imtihan mengadakan sebuah karnaval, parade kostum, fragmentasi, atau paling tidak diadakan pawai obor sebagai pelengkap suasana. Ini juga yang menarik perhatian masyarakat sekitar untuk ikut menyemarakkan haflatul imtihan yang akan digelar. Selain itu, pertunjukan pentas tari yang ditampilkan oleh anak-anak kecil Taman Kanak-kanak (TK) juga memberi ketertarikan tersendiri bagi hati masyarakat.
Namun, jauh api dari panggang, akhir-akhir ini haflatul imtihan tidak diletakkan sebagaimana mestinya. Eksistensinya —beberapa— justru keluar dari rel yang asli. Kemasan yang ditampakkan pun cenderung menyalahi nilai-nilai kepesantrenan yang luhur. Ada semacam kontradiktif di dalamnya yang dalam beberapa masyarakat tertentu malah dianggap sebagai hal yang wajar atau lumrah.
Realitas-realitas tersebut bisa dilihat dalam beberapa tahun terakhir. Penampilan-penampilan yang sama sekali tidak mencirikan nilai pesantren justru ditampilkan dengan sangat percaya diri. Jelas, hal tersebut adalah sebuah tindakan profan yang bisa saja meruntuhkan citra pesantren di tengah masyarakat.