Dulu semasa saya masih mondok di Madura, ada sebuah doktrin bahwa ilmu filsafat itu haram lagi sesat. Bahkan ada sebuah etika yang melekat pada saat itu, bahwa kami para santri tidak dianjurkan menggunakan pulpen berwarna merah. Alasannya bukan karena tidak estetik, tapi karena dulu para ahli filsafat itu -konon katanya- menulis menggunakan tinta merah.
Kampanye penolakan terhadap filsafat ini sebenarnya bukan tanpa alasan. Sebab, selama ini kitab-kitab klasik yang ada di pesantren mayoritas menganut mazhab Asya’irah yang pada zamannya sering kali berkonfrontasi dengan para ahli filsafat.

Ambil contoh seperti kitab al-Dasuki. Bukalah kitab tersebut dan akan kita temukan berbagai sentimen buruk terhadap para ahli filsafat, seperti “orang bodoh”, “gila”, “orang yang tidak mau menerima kebenaran”, dan berbagai sentimen buruk lainnya. Bahkan tak sedikit pula fatwa dari ulama klasik seperti Imam Ibnu al-Sholah, yang mengatakan bahwa mempelajari ilmu filsafat itu hukumnya haram.
Al-hasil, stigma buruk terhadap filsafat menjadi sangat mengakar di pesantren, terlebih pada pesantren yang nuansa salafnya sangat kental. Filsafat divonis sebagai ilmu terlarang, layaknya santet atau ilmu hitam.
Sayangnya, penolakan dan vonis sesat tersebut tidak dibarengi dengan pengetahuan mereka tentang apa itu filsafat. Stigma buruk terhadap filsafat tersebut mereka ambil langsung mentah-mentah dari ungkapan-ungkapan kitab klasik, tanpa pengetahuan sedikit pun tentang apa filsafat itu sendiri.
Jika kita amati, sebenarnya penolakan kitab-kitab klasik terhadap filsafat rata-rata terkait konsep teologis dan ketuhanan. Yang paling sering adalah pembahasan tentang apakah alam itu muncul dari ketiadaan (huduts) atau memang selalu ada (qidam). Para pakar teologi Asya’irah menganggap bahwa alam merupakan salah satu dari ciptaan Tuhan, sehingga ia pasti memiliki awal atau muncul dari ketiadaan. Sementara, para filsuf mengatakan sebaliknya, yakni alam itu qidam.
Ada yang mengatakan bahwa seorang filsuf Islam terkenal, Ibnu Rusyd, mengungkapkan: yang dimaksud alam itu qidam oleh para ahli filsafat, bukan qidam yang bermakna abadi tak memiliki awalan. Akan tetapi, qidam dengan tidak diketahui kapan terciptanya alam.
