Isu polemik Undang-Undang Nomor 18 tentang Pesantren (UU Pesantren) sudah berlalu sejak 3 tahun silam. UU Pesantren dirasa perlu diperbincangkan dan ditinjau ulang (review) keberadaannya ketika Kepala Badan Nasional Penaggulangan Terorisme (BNPT), Boy Rafli Amar, menyatakan sebanyak 198 pesantren di Indonesia terafiliasi jaringan terorisme yang disampaikan dalam rapat kerja (raker) Komisi III DPR RI (25/01).
Persoalan intensifikasi UU Pesantren tentu kembali dipertanyakan di sini. Meski Komjen Boy Rafli sendiri telah menyampaikan permohonan maaf atas kesalahan objek pernyataan “lembaga pesantren” yang sebenarnya dimaksudkan untuk “oknum pesantren”, setidaknya telah membuka ruang usaha preventif terhadap pesantren mengingat episteme jihad sebagai kedok terorisme erat hubungannya dengan doktrin agama.
Mengurai benang merahnya, salah satu majalah pesantren mainstrem di daerah Sumenep, Madura melakukan investigasi terhadap seluruh pondok pesantren di Madura (Muara, Januari 2022). Majalah yang digadangkan akan hadir pada Mei mendatang mencoba menghadirkan sajian relasi antara Kementeri Agama (Kemenag) dengan lembaga pesantren melalui UU Pesantren yang disahkan pada tahun 2019.
Paradoks Pasal
Sejak 15 September 2019, keberadaan pesantren sudah harus berdasarkan izin operasional secara sah dari Kemenag. Hal itu diatur dalam UU Pesantren Pasal 6 Ayat (2) tentang pendirian pesantren sebagai lembaga keagamaan menjadi bagian dari Kemenag. UU Pesantren menjadi media standar kelayakan dan kontroling Kemenag terhadap pesantren di Indonesia.
Kemenag akan mencabut izin operasional jika pesantren disinyalir berafiliasi dengan jaringan terorisme. Hal serupa juga diungkapkan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kiai Cholil Nafis ketika angkat suara menanggapi pernyataan Komjen Boy Rafli. “Cabut saja izinnya, jangan hanya bikin narasi,” cuitan Kiai cholil di akun Twitternya (28/01).
Mencabut izin operasional bisa dilakukan jika pesantren yang terafiliasi dengan teroris terkontrol dalam koridor administrasi yuridis Kemenag. Tapi jika pesantren yang dimaksud berdiri secara independen, pendekatan yuridis tidak bisa diambil.
Investigasi kepesantrenan bulan lalu menguraikan fakta miris sebanyak puluhan pesantren tidak terakomodasi oleh UU Pesantren. Dalam hal ini, Madura yang kental dengan pendidikan pesantren bisa merepresentasikan kondisi sosio-yuridis pesantren di seluruh Indonesia.