Masyarakat Manado, ibu kota Provinsi Sulawesi Utara, dikenal mayoritas penganut Nasrani. Tapi, di kota berjuluk “Seribu Gereja” itu hingga kini eksis pondok pesantren tua yang istikamah menyemaikan ajaran Islam yang inklusif dan moderat. Di sanalah kekayaan Nusantara tersimpan.
Orang-orang mengenalnya sebagai Pondok Kombos atau Pesantren Kombos, mungkin karena letak pondok pesantren ini di daerah Kombos. Berada di Jalan Arie Lasut, Kelurahan Kombos Timur, Kecamatan Singkil, Kota Manado, Sulawesi Utara, nama resmi pesantren ini adalah Lembaga Pendidikan Islam Pondok Karya Pembangunan (LPI-PKP).
Pondok Kombos tergolong pesantren tertua di kota asal artis Amanda Manopo ini. Riwayat pendirian Pesantren Kombos ini relatif unik. Saat itu, pada 1977, Kota Manado menjadi tuan rumah pelaksanaan Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) ke-10 Tingkat Nasional.
Seperti biasa, kegiatan ini diikuti perwakilan dari seluruh provinsi di Indonesia. Tercatat, ada 186 peserta MTQ, plus 136 official, 300 peninjau, 22 dewan hakim, dan kurang lebih 2.000 anggota rombongan kesenian. MTQ dibuka oleh Presiden Soeharto di Stadion Klabat Manado yang sekaligus menjadi tempat lomba.
Seusai MTQ, Menteri Agama A Mukti Ali meminta kepada Gubernur Sulut Hein Victor Worang untuk membuat monument sebagai pengingat bahwa Manado pernah menjadi tuan rumah MTQ Tingkat Nasional. Dari diskusi itu muncul ide untuk membangun Islamic Center di Manado dan mendirikan pesantren.
Ide itu akhirnya terwujud. Islamic Centre dibangun di area Masjid Raya Manado. Sedangkan, bangunan tempat menginap peserta MTQ selama Manado dijadikan pesantren. Dalam suasana Orde Baru ketika itu, pesantren tersebut diberi nama Lembaga Pendidikan Islam Pondok Karya Pembangunan dan diresmikan pada 16 Januari 1978, setahun usai pelaksanaan MTQ.
Saat itu, ditunjuk sebagai pengasuh pesantren adalah KH Rizali M Noor. Alumnus IAIN Sunan Kalijaga ini ditunjuk lantaran dikenal sebagai ulama kharismatik dan berpengaruh di Kota Manado. Saat itu, KH Rizali M Noor juga termasuk salah satu Dewan Hakim MTQ.
KH Rizali M Noor adalah ulama nadhliyin asal Barabai, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan, yang lahir pada 27 Oktober 1950. Setelah wafat, KH Rizali M Noor wafat, kepemimpinan pondok diteruskan oleh putranya, KH Muhammad Syarif Azhar Lc, lulusan Universitas Al Azhar Mesir.
Angkatan pertama Pesantren Kombos merupakan utusan dari berbagai daerah di wilayah Sulawesi Utara, seperti Manado, Gorontalo, Bitung, Tandano, dan Sangihe. Saat itu, jumlah santrinya 24 orang. Kini, jumlah santrinya sudah mencapai ratusan orang.
Sesuai dengan semangat awal pendiriannya, selama lebih dari tiga dekade ini Pesantren Kombos istikamah untuk menyiapkan kader-kader pembangunan bangsa berbasis keimanan, ketakwaan, dan kebangsaan.
Memang tak segegap-gempita pesantren-pesantren di Jawa. Namun, di Pesantren Kombos sudah lama didukung oleh lembaga pendidikan formal, seperti Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan Madrasah Aliyah (MA), dan semua siswanya merupakan santri mukim. Selain itu, seperti laiknya pesantren, Pondok Kombos juga menyelenggarakan pendidikan diniyah. Selain itu, pesantren ini juga menggelar program pendidikan agama nonreguler yang bisa diikuti oleh masyarakat sekitar.
Dengan tetap mempertahankan penyemaian ajaran Islam moderat, keberadaan Pesantren Kombos diterima baik oleh masyarakat Manado yang mayoritas beragama Kristen. Bahkan, berkat bantuan masyarakat, pesantren ini makin berkembang yang, salah satunya, ditandai dengan munculnya bangunan-bangunan baru seperti asrama berlantai tiga, gedung perpustakaan, laboratorium bahasa, kelas multimedia, serta sebuah mesjid yang cukup megah. Alhasil, Pesantren Kombos telah menghadirkan wajah Islam yang rahmah di tengah-tengah “Kota Seribu Gereja”.