Pernahkah berniat membuka ponsel “sebentar saja”, lalu tanpa sadar satu jam berlalu? Lalu mata lelah, kepala penuh, tapi hati terasa kosong. Itulah tanda bahwa kita sedang menjadi korban paling halus dari zaman digital: overdosis dopamin.
Dopamin adalah hormon kebahagiaan yang diproduksi otak setiap kali kita mendapat rangsangan menyenangkan—entah itu like di Instagram, video lucu di TikTok, atau pesan masuk ke WA dari seseorang yang kita tunggu. Tubuh kita merasa bahagia, tapi dalam dosis berlebihan, dopamin bisa menjadi racun yang mengikis kemampuan fokus, kesabaran, dan ketenangan batin.

Kita pun jadi makhluk yang tidak tahan sepi, tidak betah diam, dan selalu gelisah jika layar tidak bergerak. Dunia digital mengubah cara otak bekerja: dari berpikir mendalam menjadi sekadar bereaksi cepat.
Fokus Menjadi Barang Langka
Saking seringnya mendapat “hadiah kecil” dari layar, otak kita kehilangan kemampuan menikmati proses panjang. Lebih suka yang instan. Membaca buku sepuluh halaman terasa sangat berat. Mendengarkan ceramah lima belas menit mulai mengantuk. Menghafal ayat satu halaman terasa sulit tanpa diselingi membuka notifikasi.
Padahal, kemampuan fokus adalah fondasi dari semua bentuk ilmu dan ibadah. Tanpa fokus, kita hanya mengonsumsi potongan-potongan pengetahuan tanpa makna. Kita menjadi seperti orang yang makan terus-menerus, tapi tak pernah merasa kenyang.
Fenomena ini bahkan sudah tampak di dunia pendidikan. Guru mengeluh murid cepat bosan, dosen merasa mahasiswa sulit bertahan mendengarkan kuliah tanpa membuka HP, bahkan para orang tua bingung karena anaknya lebih hafal nada notifikasi daripada doa-doa pendek.
Bukan karena generasi ini bodoh, tapi karena otak mereka terlalu sering dibanjiri dopamin instan, sehingga kehilangan kemampuan menikmati belajar yang pelan tapi mendalam.
Dampak Nyata di Masyarakat
Mari kita coba lihat di ruang-ruang publik: di kafe, ruang tunggu, bahkan masjid sekalipun—jarang sekali orang benar-benar diam tanpa menatap layar. Setiap jeda dua menit, tangan otomatis merogoh ponsel, bukan karena penting, tapi karena tubuh menagih “hadiah” kecil dari notifikasi.
Fenomena ini tidak hanya soal kebiasaan, tapi juga kesehatan mental. Penelitian menarik oleh Chen et al., (2024) menunjukkan bahwa remaja yang menghabiskan waktu lebih dari tiga jam per hari bermain media sosial berisiko terhadap masalah kesehatan mental terutama masalah internalisasi diri. Bentuknya bisa bermacam-macam: cepat bosan, mudah gelisah tanpa sebab, sering marah tanpa alasan, dan kesulitan tidur meski tubuh lelah.
Ada fenomena menarik di pesantren di mana santri-santri yang baru mondok sering gelisah di minggu-minggu pertama karena tak boleh membawa HP. Tangannya refleks mencari HP yang biasa di sakunya. Tapi seiring berjalannya waktu, mereka mulai bisa terbiasa dan tenang. Bisa membaca kitab cukup lama, serta kelihatan lebih ceria.
Itu bukti sederhana bahwa otak manusia bisa sembuh—asal diberi kesempatan untuk istirahat dari dopamin instan.
Santri dan Tradisi Fokus Panjang
Pesantren, tanpa banyak teori, sebenarnya sudah lama memiliki resep alami untuk detoks dopamin. Tradisi sorogan, bandongan, bahtsul masail, dan riyadhah mengajarkan santri untuk fokus dalam waktu panjang.
Mereka membaca kitab dengan huruf kecil tanpa spasi, mendengarkan penjelasan kiai dengan penuh perhatian, lalu mendiskusikan maknanya hingga larut malam.
Tidak ada algoritma, tidak ada notifikasi. Yang ada hanyalah proses panjang yang melatih ketekunan, kesabaran, dan kemampuan berpikir mendalam. Setiap lembar kitab yang dibaca adalah latihan menunda kenikmatan, mengganti “cepat puas” dengan “pelan tapi paham”.
Di sinilah letak keindahan dunia pesantren: ia tidak hanya mengajarkan ilmu, tapi juga mengembalikan keseimbangan batin di tengah dunia yang serba cepat. Santri belajar menikmati diam, menata napas, dan menghayati arti waktu.
Puasa Medsos, Puasa Dopamin
Puasa dopamin bukan berarti menolak teknologi. Justru sebaliknya: ini tentang menata ulang hubungan kita dengannya. Teknologi bukan musuh; ia hanya butuh batas. Kita yang harus menentukan kapan berhenti, bukan algoritma yang memutuskan untuk kita.
Coba mulai dengan langkah kecil. Kita matikan notifikasi-notifikasi yang tidak penting. Kita batasi waktu layar dengan alarm pengingat. Kita sisihkan satu hari dalam seminggu -misalnya- tanpa media sosial. Dan yang paling penting, menggunakan waktu libur medsos tersebut untuk hal-hal yang menenangkan: membaca Al-Qur’an, membaca buku, menulis, atau sekadar berbicara dan ngobrol secara tatap muka dengan rekan kita.
Praktik sederhana seperti ini adalah bentuk riyadhah modern—latihan rohani agar otak dan hati tidak terus-menerus dikendalikan oleh dopamin instan.
Dan kalau mau versi yang lebih berdampak bisa ikut ngaji kitab. Kita duduk, bawa kitab, simak, catat, dan tanya jika ada yang perlu penjelasan lebih. Kita bersila dalam majelis ilmu, mendengarkan penjelasan guru, meresapi maknanya pelan-pelan. Itu bukan hanya ibadah intelektual, tapi juga terapi jiwa dari kebisingan digital.
Bahagia yang Tidak Bising
Kita hidup di zaman yang membuat bahagia terasa sulit, padahal yang sulit bukan bahagianya—melainkan tenangnya. Kita mencari ketenangan di layar, padahal ketenangan itu justru datang saat layar dimatikan.
Bahagia sejati bukan saat menerima banyak notifikasi, tapi saat hati tenang meski dunia sedang gaduh. Bahagia bukan saat konten viral, tapi saat bisa fokus membaca satu halaman kitab tanpa terganggu.
Mungkin sudah waktunya kita belajar lagi dari para santri—mereka yang tahu cara menikmati sunyi, mencintai proses panjang, dan menemukan bahagia di tengah kesederhanaan.
Sebab, pada akhirnya, kebahagiaan itu bukan hasil dari dopamin yang meledak sesaat, melainkan dari hati yang tenang dan pikiran yang tidak lagi galau karena ketinggalan berita.
