“Zen, jadi kamu sudah kenal sama Lely sejak zaman di SMA dulu?” tanyaku menguak penasaran. Entah mengapa, aku ingin tahu semua tentang Lely. Melihat ternyata dia adalah teman dari teman dekatku, napasku terasa lebih ringan. Aku punya wasilah untuk menyentuh kehidupannya. Mungkin Zeni melihat ada binar-binar di mataku.
“Ya. Aku kenal dengannya semenjak Aliyah,” tutur Zeni datar.
“Kalian satu kelas?” tanyaku penuh antusias.
“Nggak kok, Rul,” jawabnya pendek, datar, dan terkesan angkuh. Itulah Zeni. Mahasiswa teknik sipil, alumnus pesantren yang cerdas dan pendiam. Aku dekat dengannya karena punya latar belakang yang sama, sama-sama alumni pesantren. Namun, bedanya, aku tidak bisa apa-apa dan dia pandai mengaji serta rajin pula. Keakraban itu semakin terpupuk karena kini kami berada dalam satu organisasi yang sama.
“Jadi proses kenalannya gimana dulu, Zen?” aku melanjutkan interogasi.
Zeni terdiam agak lama. Mengutak-atik laptopnya yang dipenuhi desain bangunan rumit yang tak kumengerti.
“Aku lupa tepatnya gimana, Rul. Seingatku kami kenal begitu saja. Karena kami berada di sekolah yang sama, cukup waktu saja yang mengenalkan kami.”
“Cukup waktu saja? Tapi aku tak bisa meniru caramu itu Zen. Terlalu lama kalau mengandalkan waktu. Keburu diambil orang.”
“Apa nama IG-nya?”
Zeni tak menggubrisku.
“Zen!” panggilku lagi. Sial, dia mengacuhkanku lagi dan lagi.
“Zen. Kamu lebih menghargai laptopmu daripada aku?” aku mulai jengkel.
“Apa Rul? IG-nya Lely? Ya, aku punya,” Zeni langsung menyahut jika kutantang dengan harga diriku. Dan sekarang gantian aku yang diam, mengembalikan harga diri yang baru saja diinjak-injaknya.
“Namanya Laili Zakiyah.”
Aku tetap diam, pura-pura tak mengacuhkannya. Tapi diam-diam aku telah mengeja nama itu dalam memori kepalaku.
“Kalau masalah harga tentu saja laptopku lebih mahal, karena aku tak pernah membelimu sedangkan aku harus mencari pinjaman uang segala macam untuk membeli laptop ini. Bahkan mungkin kau tak laku dijual. Sedangkan bekas pun laptopku akan tetap laku di pasaran,” lanjutnya lagi. walaupun diam, ternyata dia mengikuti omonganku.
“Nggak lucu. Guyonan basi,” jawabku.
“Kau kira aku guyon?”
“Iya, guyon yang tak lucu.”
“Sudah. Segera di-follow Si Lely itu. Keburu lupa nanti kamu, aku tak mau siaran ulang.”
“Perintahmu telat. Ini aku sedang menunggu accept-nya,” ucapku sambil memandangi foto profil Lely. “Lihat Zen. Di IG ternyata kecantikannya semakin berlipat. Semakin menjadi-jadi. Hmmm… terima kasih kawan. Silakan dilanjut kerjaannya,” aku lantas pergi ke teras kos-kosannya.
Benar saja, tidak berapa lama kemudian aku sudah berteman di IG dengan Lely. Dia adalah seorang mahasiswi ekonomi jurusan manajemen. Kecantikannya di atas rata-rata. Follower-nya ribuan. Dia juga punya banyak prestasi di kampus. Pendek kata, Lely bak bintang yang gemerlapan di langit. Sedangkan aku? Aku tak ubahnya lumpur becek yang acapkali diinjak-injak kerbau dan menjadi sarang cacing tanah. Utangku di kantin berjibun. Motorku sering macet ketika kena air hujan. Dan lagi, beberapa mata kuliahku harus mengulang. Lalu bagaimana ceritanya Si Lely bisa takluk padaku? Masalah itu tak perlu aku ceritakan. Yang jelas, kehendak Tuhan tidak bisa dibantah dan diganggu gugat. Segala keputusan-Nya dalam mengatur pernak-pernik kehidupan manusia adalah final. Manusia tak boleh demo jika ada nasib yang kurang menguntungkan. Atau kalau masih memaksakan kehendak pada-Nya, Dia mempersilakan manusia-manusia tak tahu diri itu untuk keluar dari kolong langit-Nya dan dipersilakan pula mencari Tuhan yang lain. Kalau ada.
“Kalau kau tak terima Lely jadi kekasihku, silakan protes sama Tuhan Zen! Dan kemudian keluarlah dari kolong langit-Nya yang indah ini!” tegasku suatu hari pas Zeni terheran-heran mendengar keberhasilanku mendapatkan hatinya Si Lely.
“Bukannya tak terima Rul. Maksudku mungkin kesediaan Si Lely itu bisa dicek lagi. Apakah kemauannya tidak karena terpaksa, terintimidasi, sedang tak sadar, atau jangan-jangan kau salah dengar? Kau mengigau?” sarkas Zeni, masih sambil berkutat dengan laptopnya. Kami sedang duduk-duduk di gazebo kampus.
“Anjing menggonggong kafilah tetap berlalu. Manusia bisa omong apa saja, tapi keputusan Tuhan menjadikan ruang hati Si Lely jadi dermaga hidupku sudah final. Hmmm… Kadang menjadi lelaki dengan sejuta pesona memang riskan. Banyak yang hasud,” tukasku sambil terkekeh.
“Kalau begitu kau harus banyak syukurnya Rul. Dan semoga Lely bisa bersabar,” sahut Zeni Si Kepala Dingin.
“Sabarlah Zen. Suatu saat kau juga akan laku,” ucapku menahan tawa.
Ketika aku pulang, ucapan Zeni di kampus tadi masih terngiang-ngiang di antara bayangan wajah Si Lely yang terus berkelibat. Kenyataan betapa sempurnanya Si Lely, dan betapa tak ada apa-apanya aku membuatku merasa takut akan kehilangan dirinya. Sebenarnya aku merasa malu mengakui diri sendiri di hadapannya. Maka di hadapannya aku akan mengaku menjadi anak orang kaya. Perasaan cintanya tidak boleh retak dengan adanya kekurangan-kekuranganku. Aku tak sanggup melepas cintanya atas nama kasta yang berbeda begitu saja. Persembunyian identitasku harus bisa mempertahankan hubungan kami.
Di suatu siang yang lusuh, kami duduk berdua setelah selesai kuliah. Langit sedang muram. Mendung tebal bertingkah sebagai selimut langit, menciptakan kesan waktu siang seperti sudah senja. Hawa dingin pun mencuat. Sebentar kemudian mendung hitam yang menguasai langit itu menurunkan gerimis tipis. Para mahasiswa yang masih berkeliaran di luar gedung semburat mencari perlindungan karena tiba-tiba langit berdermawan menurunkan hujan deras.
“Orang-orang itu bodoh sekali,” celetukku.
“Kenapa memang?” tanya Lely.
“Hujan itu kan rahmat Tuhan. Mereka malah lari menghindar,” aku menjawab sambil tertawa.
“Daripada menginjak-injak rahmat Tuhan?” ternyata Lely tak kalah pintar. Kami lantas terkekeh-kekeh.
“Rul, kamu nggak kedinginan?” tanya Lely kemudian.
“Aku tidak kedinginan Lel. Mungkin karena sedang dekat denganmu,” jawabku sambil nyengir.
Dia tersenyum mendengar ucapanku. Senyum indah yang memporak-porandakan imanku.
“Cari bakso yuk? Pasti enak saat dingin gini makan yang anget-anget.”
“Aku lagi nggak lapar nih. Lain kali aja ya?”
“Kenapa sih selalu nolak kalau aku ajak makan bakso? Kamu nggak suka bakso ya?”
“I-iya. Nggak selera aja. Aku suka makanan yang asli Indonesia.”
“Mm. Bakso itu kan juga buatan Indonesia. Masak bakso aja ngimpor?” protesnya.
“Maksudku itu makanan niru negara asing.”
“Oh, ya wes kalau gitu. Aku juga nggak begitu lapar sih sebenarnya. Kita di sini aja deh.”
Aku langsung menghela napas panjang mendengar ucapan Lely barusan. Dan benar, kami tidak jadi ke mana-mana. Menanti hujan reda sampai sore di tempat itu berdua sambil melihat tingkah laku orang-orang yang kebingungan tidak punya mantel. Dan semakin lama semakin banyak orang yang berteduh di gazebo itu. Tapi tak mengapa, kami tetap bisa menikmati hujan walaupun di tengah keramaian. Suasana semakin syahdu tatkala derasnya hujan tinggal menyisakan gerimis saja. Nikmat mana yang lebih agung daripada duduk berdua dengan kekasih saat hujan turun? Ah, tak perlu dijawab.
* * *
Suatu hari ketika kami sedang berdua nafsu makan bakso Lely kambuh lagi.
“Kita makan bakso dulu yuk, tuh ada penjual bakso,” lagi-lagi Lely mengajakku makan bakso. Kami sedang berada di mobilnya sepulang kuliah di suatu siang yang terik. Dia bermaksud mengantarku pulang. Dia hanya kuizinkan mampir di gang rumahku, jadi tidak tahu rumahku seperti apa. Di pinggir jalan dekat dengan gang rumahku memang ada seorang penjual bakso pakai gerobak. Dia sudah tidak muda lagi. Baju yang dikenakannya pun sangat sederhana.
“Sayang, siang yang sebegini panas mana enak makan bakso? Sudahlah, kita makan di restauran di depan sana aja ya?” kataku pelan. Akhirnya dia menurut perkataanku walaupun wajahnya cemberut. Dia kembali menancap gas untuk kemudian melanjutkan perjalanan. Setelah sampai di sebuah kedai makan, kami berhenti. Rasa lapar yang meremas perut dan membuat cacing di perut kami melolong-lolong itu terpuaskan sudah. Akulah yang membayari uang makan itu. Padahal harganya membuat dompetku jebol tiada menyisakan isi. Namun senyumnya yang kelihatan bangga saat menatapku meruntuhkan kesedihanku karena kehabisan uang. Senyumnya itu adalah sumber energi pembangkit bahagiaku. Kerling matanya membuatku lupa dari mana uang itu aku dapat. Namun, setibanya di rumah, ketika segala kesederhanaan hidup tersaji di sana, aku segera ingat. Uang itu adalah hasil jerih payahku merayu Pakde Jun untuk menuangkan sebagian kasih sayangnya memberi aku pinjaman. Dan, ketika aku sadari itu, rasa sesal segera menggerogoti ketenanganku. Gelisah segera terhampar di depan mataku memikirkan aku akan membayar buku dengan uang yang mana esok hari jika ditagih bendahara kelas?
* * *
Pagi menjelang siang itu sedang cerah. Di atas sana, langit sedang mengumbar kebiruannya. Beberapa lembar awan yang mengapung di langit menambah pagi menjelang siang itu semakin berwajah ceria. Aku sedang duduk bersantai sambil membaca buku diktat kuliah bersama Zeni, teman nongkrongku. Kami larut dalam diam karena sedang serius membaca. Lalu-lalang mahasiswa yang lewat di dekat kami tak kami hiraukan. Kami sedang khusyuk.
Namun, tiba-tiba kekhusyukan itu tertukar dengan kegaduhan yang dibawa oleh Lely. Gadis cantik itu terlihat membawa amarah. Entah oleh sebab apa.
“Kenapa Lel?” tanyaku sambil menutup buku.
“Kamu memang benar. Aku yang keras kepala.”
“Kamu ngomong apa? Apa maksudmu?”
“Aku menyesal menjadi penggila bakso. Andaikan aku sepertimu yang tak berselera dengan makanan tak sehat itu pasti aku tak akan dibuat sebegini sial.”
“Apa maksudmu. Kamu kenapa?” tanyaku semakin bingung dengan kemarahannya.
“Beberapa hari yang lalu aku membeli bakso kepada penjual yang kita pernah bertemu itu. Aku beli seporsi tanpa sambal, eh dasar budek, dia ternyata tetap memberi sambal. Namun, aku memakluminya dan tetap memakannya walau kepedesan. Dan hari ini lebih sial lagi. Ketika aku pesan semangkuk bakso tanpa sambal dia malah memberi sambal yang entah berapa banyaknya sampai-sampai bakso itu hanya terasa cabai. Aku marah banget. Mangkok itu aku jatuhkan. Dia takut. Tangannya yang tua terlihat buyutan. Namun kemarahanku belum terpuaskan, karena kuah bakso itu ada yang menciprati mataku. Kutendanglah rombong bakso itu. Benar-benar anjing! Rombong yang berada di jalan miring itu menggelinding ke bawah tanjakan hingga akhirnya menabrak pohon. Tumpah ruahlah segala isinya. Lelaki bangsat itu tak terima. Dia minta ganti rugi padaku. Tentu saja aku menolak. Siapa suruh orang budek jual bakso. Aku hendak masuk mobil ketika beberapa warga yang melihat kejadian itu menghentikanku. Mereka menuntut ganti rugi jika tidak ingin dipolisikan. Akhirnya aku memberinya uang. Hari ini benar-benar bangsat keparat,” gadis itu meledak-ledak dikuasai amarah.
Dan ucapan gadis itu membuat darahku serasa mendidih. Bukannya aku membelanya, namun aku malah mengeluarkan sumpah serapah. Kulayangkan tanganku menampar pipinya. Dia kelihatan bingung dengan tindakanku barusan.
“Kamu, kenapa menamparku?” suaranya bergetar.
“Kita putus!” aku memekik keras.
“Gila! Kenapa? Apa maksudmu?”
Gadis itu kebingungan. Wajahnya memerah dikuasai amarah dan rasa bingung.
“Karena penjual bakso itu adalah Bapakku.”
Aku lantas tertunduk lesu. Lely telah berlalu meninggalkanku, pergi membawa rasa kecewanya. Kemudian Zeni datang mendekatiku. “Sabar Rul. Ini hanyalah cobaan belaka.”
GP38-DMC, Mei 2015-Mei 2020