LALABAT
Tak ada yang bisa diberi
Selain puisi paling suci
Kepada rumah dan segala isi
Berduka memandangi sunyi
Mulai hari pertama setelah keranda dipikul
Ingatan menjadi makin mengubun
Namun, siapa sangka kenangan saling bersalaman
Pamit memilih tinggal bersama Tuhan
Orang-orang datang mengetuk pintu
Mereka membawa senyum, masuklah satu per satu
Duka tak lagi bersemayam betah
Sebab, pundak ditepuk dengan doa-doa
Hari kedua, ketiga, sampai ketujuh
Hadiah pelukan tak henti dituju
Sebagai pengantar kebahagiaan sederhana
Selepas ditinggal separo hatinya menuju bulan paling purnama
Tak ada yang lebih diharap setiap malamnya selain Fatihah
Patahan-patahan hurufnya bersimbah rangkul paling ramah
Nyeri di hati berbekas
Ranum oleh tahlilan, obat pamungkas
Sumenep, 11 Juli 2021.
SUMPAH MERAH DARAH
Demi tangis yang mendarahdaging pada tanah pusaka
Aku bersumpah semerah darah
Biar mati segala keangkuhan
Bersama kasta terkubur dalam-dalam
Teruntuk rakyat yang hampir punah sebab keserakahan
Duduklah dengan tenang
Rapalkan harapan meski ketidakadilan riuh
Aku, di bawah tirai juang akan membawamu ke satu tuju
Berhentilah menangis kalian
Sebentar lagi akan kujemput hujan
2021.
PAMEKASAN DALAM PUISI
Engkau beribu kata tersimpan
Bila dituang, maka tumpah jadi hujan
Hujan yang sesekali meniduri diri
Menjadikan dingin sebagai puisi
September 2021.
PAGI
:nv
Awan memerah, tersipu malu pada pagi
Burung bercuit menggoda matahari
Ayam-ayam menolak dingin
Dicarinya segala ingin
Tumbuhan melenggang tubuhnya
Pertanda bahwa bangun tidur pilihan paling nyata
Kokok ayam semakin jadi
Sementara di sawah samping rumah
Petani sedang mengetuk sunyi
Pagi semakin riuh
Nyala rindu makin gerutu
25 Agustus 21.
Ilustrasi: lukisan Edvar Munch.