Tahun 2022 telah usai, digantikan tahun 2023 dengan harapan dan misi berperadaban. Meskipun begitu, kompleksitas masalah kerukunan dan persatuan bangsa sepanjang tahun 2022 masih menuai ujian panjang.
Persoalan paling kentara adalah pergantian ideologi Indonesia ke bentuk yang diadaptasikan dari negara tetangga. Konsep ideologi yang dianut oleh kelompok khilafah dapat dipandang sebagai representasi negara Indonesia yang mayoritas muslim. Hal itu terasa dominan bagi mayoritas masyarakat yang memeluk agama Islam, namun jika ditinjau dari konsep kebangsaan, ideologi tersebut dapat menyebabkan perpecahan yang panjang.
Mostafa Rejai (1994) dalam bukunya Political Ideologies: A Comparative Approach menggambarkan Pancasila dalam keadaan decline atau kemunduran. Digambarkan melalui eksploitasi berlebih dalam praktik koruptif dan represif. Pancasila dijadikan tumbal atas perilaku serampangan oleh oknum yang ingin meraih kekuasaan. Sehingga muncul kelompok tandingan (baca: khilafah), yang ingin memanfaatkan momen ini sebagai titik balik untuk menggusur ideologi Pancasila.
Pancasila dalam khazanah bangsa, ditempatkan sebagai hal dasar yang tidak bisa dipisahkan dari rakyat Indonesia. Secara historis, perumusan Pancasila sudah disetujui oleh para pahlawan yang turut serta memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Isi dari Pancasila sudah menemui titik final, yang dipercaya mampu mewakili seluruh rakyat Indonesia dari berbagai macam golongan.
Kesepakatan yang begitu panjang akan menjadi percuma saat dikorbankan oleh rasa egoisme suatu kelompok untuk mengganti ideologi nasional dengan ideologi mayoritas. Padahal jika melihat dari titik perjuangan, kontribusi dari kelompok minoritas juga tidak kalah hebatnya dalam pertempuran. Mereka turut serta mengawal kemerdekaan Indonesia dengan mencurahkan seluruh jiwa raganya dan mempertaruhkan nyawa.
Hal yang sering ditawarkan pengusung khilafah untuk mengganti Pancasila adalah iming-iming kemudahan mengelola negara, kemudahan untuk mempersatukan belahan sosial yang berbeda, dan kuatnya ikatan yang dibentuk dalam religiusitas. Semua hal tersebut jika ditelisik lebih dalam, hanyalah hal semu yang tidak mungkin terjadi dalam konsensus membangun negara. Faktor paling besar yang mempengaruhi kegagalan ideologi khilafah untuk menyusun kedaulatan negara adalah keegoisan mereka dalam mengutamakan pendapat mayoritas dibandingkan minoritas.