Setiap tanggal 2 Mei, Indonesia memperingati Hari Pendidikan Nasional (HARDIKNAS). Hari yang bukan hari libur ini ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia untuk memperingati kelahiran Ki Hajar Dewantara sebagai tokoh pelopor pendidikan di Indonesia. Kiprahnya di dunia pendidikan memang tidak perlu diragukan lagi. Pahlawan Nasional ini merupakan orang pertama yang mendirikan sekolah Taman Siswa yang diberi nama “National Onderwijs Instituut Taman Siswa” pada tanggal 3 Juli 1922 di Yogyakarta.
Ia mendirikan lembaga pendidikan tersebut sebagai tempat belajar bagi penduduk pribumi biasa agar dapat menikmati pendidikan yang sama dengan orang-orang dari kasta yang lebih tinggi. Sekolah Taman Siswa ini didirikan oleh Ki Hajar Dewantara setelah ia kembali dari Belanda karena diasingkan oleh kolonial Belanda selama kurang lebih enam tahun.
Ia diasingkan ke Belanda disebabkan kritiknya yang menentang kebijakan pemerintah Hindia Belanda karena melakukan berbagai diskriminasi, termasuk diskriminasi pendidikan. Kritikan pedas Ki Hajar Dewantara—yang pada masa penjajahan Belanda tersebut berprofesi sebagai wartawan dan penulis surat kabar—yakni, melalui tulisannya yang berjudul “Seandainya Aku Seorang Belanda” pada tanggal 13 Juli 1913. Judul asli artikel tersebut adalah “Als Ik Een Nederlander Was.” Tulisannya tersebut dimuat di surat kabar De Express yang dipimpin Douwes Dekker (DD). Seperti diketahui bahwa pemerintah Hindia Belanda hanya memperbolehkan anak-anak kelahiran Belanda dan orang kaya atau terpandang (keluarga priyayi) yang bisa mengenyam pendidikan.
Perguruan Taman Siswa yang didirikan oleh Ki Hajar Dewantara ini mempunyai jenjang pendidikan bernama Taman Indria yang setara dengan Taman-Kanak-Kanak (TK). Lalu ada Taman Muda setingkat dengan Sekolah Dasar (SD). Taman Dewasa sama dengan Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Taman Madya untuk Sekolah Menengah Atas (SMA). Selain itu ia juga mempunyai Universitas, yakni Taman Guru atau Sarjana Wiyata.
Sebelumnya, Ki Hajar Dewantara yang asalnya bernama Raden Mas Soewardi ini bergabung dengan kakaknya, Soerjopranoto, menjadi pengajar di sekolah “Adi Dharmo.” Sekolah ini mempunyai visi untuk memajukan pendidikan bagi kalangan Inlander. Menyadari belum memiliki banyak pengalaman di dunia pendidikan, ia kemudian bergabung dalam Paguyuban Seloso Kliwon. Kelak kemudian bersama teman-teman paguyubannya itu ia mendirikan sekolah Taman Siswa.
Demi mewujudkan cita-cita terbesarnya dalam dunia pendidikan di Indonesia, maka Ki Hadjar Dewantara pun menambah ilmunya dengan belajar ilmu pendidikan hingga memperoleh Europeesche Akta, sebuah ijazah pendidikan bergengsi bagi dunia pendidikan.
Filosofi pendidikan Ki Hajar Dewantra yang terkenal yaitu “Ing ngarsa sung tulada, Ing madya mangun karsa, Tut wuri handayani.” Semboyan itu berarti; di depan, seorang pendidik harus bisa menjadi teladan, di tengah murid, pendidik harus bisa memberikan ide, dan di belakang, seorang pendidik harus bisa memberikan dorongan. Semboyan ini digunakan dalam dunia pendidikan di Indonesia hingga sekarang. Ini kemudian dikenal sebagai Patrap Triloka.
Salah satu penggalan dari semboyan tersebut yakni “tut wuri handayani,” digunakan dalam logo Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Republik Indonesia, sebagai penghargaan bagi Ki Hajar Dewantara. Mengutip dari laman Kemendikbud, semboyan tersebut mengandung pesan agar pendidik tidak memaksakan kehendak kepada anak didiknya.
Ki Hajar Dewantara juga mempunyai tiga fatwa pendidikan yaitu, Tetep, Antep, Mantep. Artinya, dalam menjalankan sistem pendidikan, maka pertama-tama yang harus dibentuk-baik untuk guru dan murid adalah dengan membentuk ketetapan pikiran dan jiwa, memberikan jaminan pada keyakinan diri sendiri, dan membentuk kemantapan dalam memegang prinsip hidup yang diyakini.
Ki Hajar Dewantara yang dikenal sebagai Bapak Pendidikan Nasional karena jasa-jasanya dalam bidang pendidikan ini lahir di Yogyakarta, pada 2 Mei 1889 dan meninggal di Yogyakarta, pada 26 April 1959. Nama lahirnya adalah Raden Mas Soewardi Soerjaningrat. Ia mengganti namanya menjadi Ki Hajar Dewantara pada usia 40 tahun. Ia merupakan keturunan langsung dari Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Harjo Surjo Soesroningrat atau Sri Paduka Paku Alam III.
Namun, seperti diceritakan dalam buku Sang Guru karya Haidar Musyafa (2015), mereka tidak diperbolehkan tinggal di dalam istana Puro Pakualam. Hal tersebut dikarenakan ayahnya menentang pemerintah Belanda, sehingga Gubernur Jenderal Belanda menyingkirkan keluarganya dari istana tersebut, dan ditempatkan di salah satu puri yang terletak persis di timur istana. Dengan begitu, Raden Mas Soewardi memiliki kesempatan untuk bergaul dengan teman-temannya dari berbagai kalangan.
Keluarga Ki Hajar Dewantara adalah keluarga muslim yang taat menjalankan ajaran agamanya. Oleh karena itu, ayahnya memasukkannya ke sebuah pondok pesantren. Saat giat-giatnya belajar agama, ayahnya kemudian menjemput pulang dan memasukkannya ke sekolah formal bernama Europeesche Lagere School (ELS). Disana, Raden Mas Soewardi merasa hidupnya semakin tambah bermakna dan berwarna.
Berkat ilmu yang ia dapatkan dari pesantren dan sekolah formal tersebut, maka Raden Mas Soewardi mulai memikirkan nasib teman-temannya yang berasal dari kalangan jelata. Oleh karena itu, ia yang senang bergaul dengan rakyat biasa tersebut mulai menceritakan pelajaran-pelajaran yang ia peroleh dari ELS. Ini secara tidak langsung Raden Mas Soewardi telah menularkan ilmu dan menanamkan nilai-nilai pendidikan kepada mereka.
Setelah menyelesaikan pendidikannya di ELS selama tujuh tahun, Raden Mas Soewardi muda melanjutkan sekolahnya di Kweekschool, yang mana sekolah tersebut menyiapkan murid-muridnya untuk menjadi guru. Tak berselang lama, ia pun pindah ke sekolah STOVIA, yakni sekolah kedokteran satu-satunya milik Govermen Hindia Belanda. Di sana, Raden Mas Soewardi dengan Tjipto Mangoenkoesoemo, Soetomo dan, Goenawan Mangoenkoesoemo, yang kemudian menjadi sahabatnya itu sama-sama membenci tindakan Pemerintah Hindia Belanda yang sewenang-wenang tersebut.
Setelah belajar di STOVIA, mereka berempat belajar kepada seorang Indo bernama Ernest Francois Eugene Douwes Dekker atau biasa disingkat dengan DD, yang juga sangat peduli kepada nasib rakyat jelata.
Berkat perjuangan dan sumbangsihnya pada masa-masa permulaan pendidikan di Indonesia, maka pada masa Pemerintahan Soekarno, Ki Hajar Dewantara diangkat sebagai Menteri Pengajaran Indonesia, atau sekarang disebut Menteri Pendidikan. Selain itu, ia dinyatakan sebagai Bapak Pendidikan Nasional Indonesia. Hal itu dikukuhkan melalui Surat Keputusan Presiden RI No.305 tahun 1959. Ia juga tercatat mendapat gelar Doktor Kehormatan atau doktor honoris causa dari Universitas Gadjah Mada (UGM).
Dedikasi dan semangat Ki Hajar Dewantara di dunia pendidikan selayaknya menjadi contoh bagi generasi muda saat ini. Sikapnya yang berani, bertanggung jawab, rela berkorban, cinta tanah air, displin, religius, jujur, dan pantang menyerah seharusnya menjadi pembelajaran yang sangat berharga bagi kita semua demi memajukan pendidikan bangsa Indonesia kedepan. Semangat nasionalisme dan patriotismenya juga dapat kita terapkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara serta dalam kehidupan sehari-hari.
Selamat Memperingati Hari Pendidikan Nasional (2 Mei 2022).