Retrospeksi Pesantren 

Kenapa di Indonesia ada pondok pesantren, lembaga pendidikan keagamaan yang nyaris tak ada padanannya bahkan di negara asal dari mana Islam menyebar? Mampukah lembaga tradisional yang sudah berumur ratusan tahun ini terus bertahan di tengah gempuran gelombang perubahan dari berbagai penjuru yang kian dahsyat?

Hari-hari ini, pertanyaan tersebut terasa penting diajukan karena dua hal. Pertama, banyak kalangan yang mempertanyakan relevansi model pendidikan tradisional pesantren di tengah zaman yang demikian canggih. Kedua, bagaimana pesantren akan bertransformasi sehingga kompatibel dengan zamannya. Melalui pendekatan retrospeksi, bisa dilihat kemungkinan-kemungkinan perubahan yang akan terjadi pada pesantren di masa depan.

https://www.instagram.com/jejaringduniasantri/

Islam dan Peradaban Nusantara

Pada abad ke-7 Masehi, ketika Islam mulai didakwahkan sebagai kepercayaan baru di tanah Arab, Nusantara bukanlah hutan perawan. Bukan pula rawa-rawa atau lautan luas tak berpenghuni. Nusantara telah menjadi peradaban maju, jauh melampaui Eropa, saat Amerika Serikat pun masih belum dikenal. Ketika itu Nusantara sudah menjadi persilangan peradaban dunia (Dennys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya. 1990-1996).

Pada abad yang paling dini, telah ada Kerajaan Kutai, Tarumanegara, lalu Sriwijaya, Mataram Kuno, Singosari, dan Majapahit. Kerajaan-kerajaan itu hanyalah sedikit contoh betapa Nusantara telah menjadi salah satu kekuatan dunia dengan peradaban yang sangat maju untuk ukuran saat itu.

Pada abad ke-7 itu, masyarakat Nusantara juga telah berkenalan dengan agama-agama dunia, seperti Buddha dan Hindu. Buddha diperkirakan sudah masuk ke Nusantara pada abad ke-2, disusul Hindu pada abad ke-5. Agama-agama dunia itu juga telah menjadi bagian dari peradaban Nusantara yang terus berkembang. Berselang-seling, agama-agama dunia itu juga dianut oleh kerajaan-kerajaan besar di Nusantara, menjadi agama resmi. Sebelum Buddha dan Hindu dikenal, masyarakat Nusantara sudah menganut sistem kepercayaan yang diwariskan leluhur sejak zaman permulaan yang hingga kini jejaknya masih ada, seperti Sunda Wiwitan, Kapitayan, Kaharingan, Hailaka, Aluk Todolo, dan sebagainya.

Sebagai wilayah yang menjadi persilangan dunia, tentu saja Nusantara banyak didatangi orang asing dari berbagai bangsa, terutama untuk kepentingan perdagangan. Melalui jalur itu pula Buddha dan Hindu masuk ke wilayah Nusantara. Tak ada jejak penolakan terhadap masuknya agama-agama baru itu di Nusantara. Buddha dan Hindu akhirnya hidup berkelindan dengan sistem kepercayaan lama masyarakat Nusantara. Masuknya Islam ke wilayah Nusantara sama belaka dengan masuknya Buddha dan Hindu tersebut.

Sejauh ini, sedikitnya ada empat teori yang menjelaskan bagaimana Islam masuk ke wilayah Nusantara. Teori pertama menyebut Islam masuk ke Nusantara dibawa oleh para pedagang dari Gujarat, India. Teori ini dibangun oleh G.W.J. Drewes. Ia menunjuk pelabuhan-pelabuhan di sepanjang pesisir barat Sumatera menjadi bukti titik awal penyebaran Islam. Jika mengikuti teori ini, maka kurun masuknya Islam diperkirakan terjadi pada abad ke-13.

Teori kedua menyebut Islam masuk ke Nusantara dari Persia. Teori ini dibangun oleh P.A Hoesein Djajadiningrat. Ia menyebut, para pedagang Persia yang berlayar melintasi jalur perdagangan maritim turut membawa ajaran Islam selain barang dagangan.Jika mengikuti teori Persia ini, maka kurun masuknya Islam diperkirakan juga terjadi pada abad ke-13.

Teori ketiga menyebut Islam masuk ke Nusantara langsung dari tanah Makkah. Teori ini dipercaya oleh sejumlah sejarawan seperti van Leur, T.W. Arnold, Crawfurd, Niemann, dan de Hollander. Berdasarkan teori ini, Islam masuk ke Indonesia melalui jemaah haji dan peziarah. Merekalah yang menularkan ajaran Islam ke masyarakat Nusantara.

Sementara itu, teori keempat menyebut Islam masuk ke Nusantara dibawa oleh para pedagang dan pelancong muslim dari China (Tiongkok). Teori ini didukung sejarawan Tionghoa Kong Yuanzhi dan Jean A. Berlie. Berlie dalam buku Islam in China menyebut, relasi pertama antara orang-orang Islam dari Arab dan bangsa Cina terjadi pada 713 M. Atas dasar itu, ia meyakini Islam masuk ke Indonesia bersamaan dengan migrasi orang-orang Cina ke Asia Tenggara. Mereka masuk lewat Sumatera bagian selatan Palembang pada 879 atau abad ke-9 M.

Jika mengikuti dua teori yang disebut terakhir, diperkirakan Islam sudah masuk ke Nusantara sejak abad ke-7 atau abad ke-8. Buya Hamka cenderung mendukung dua teori terakhir ini. Namun demikian, ada dua catatan yang perlu dibuat untuk keempat teori tersebut.

Pertama, keempat teori tersebut membuktikan satu hal: abad berapa pun kejadiannya, Islam masuk ke wilayah Nusantara secara damai, tidak dengan cara penaklukan, peperangan, atau kekerasan. Sejarah mencatat, yang diawali oleh Kekhalifahan Umar bin Khattab, Islam mulai meluaskan pengaruhnya di luar Makkah melalui penaklukan atau peperangan, seperti terjadi di Damaskus (635 M) dan Yerusalem (637 M), dan terus berlangsung hingga penaklukan Mesir (642 M), Andalusia di Spanyol (711 M), dan seterusnya. Cara-cara yang sama tidak terjadi pada kasus masuknya Islam ke wilayah Nusantara.

Kedua, memang sangat dimungkinkan Islam sudah masuk ke Nusantara sejak abad ke-7. Tapi, penyebarannya mulai masif baru terjadi pada abad ke-13, atau setidaknya setelah abad ke-10. Sampai sebelum abad ke-13, Islam masih dianut secara pribadi orang per orang, belum mewarnai tatanan sosial. Saat itu, Hindu dan Buddha masih menjadi agama yang dipeluk mayoritas masyarakat Nusantara. Situasinya mulai berbalik setelah abad ke-13, setelah penyebaran agama Islam terjadi secara masif.

Pecantrikan dan Pesantren

Pertanyaannya adalah, instrumen apa yang digunakan melakukan penyebaran Islam secara masif sehingga agama yang baru ini berkembang demikian pesat, menggantikan posisi Hindu-Buddha? Di sinilah, keberadaan pondok pesantren menjadi kunci. Sebab, jika tak ada pesantren, belum tentu situasinya akan terlihat seperti hari ini.

Namun, sejauh ini belum ada kesepakatan bulat soal kapan pertama kali pondok pesantren didirikan. Banyak sejarawan yang menyebut bermula sejak abad ke-14. Tapi, tak sedikit yang memperkirakan bahwa pesantren sudah ada sejak abad ke-9. Pesantren Ampel Denta di Surabaya, yang didirikan Sunan Ampel, sering disebut sebagai yang pertama. Namun, Dayah Cot Kala Perlak di Aceh yang berdiri tahun 899 M (abad ke-9) juga disebut sebagai pesantren pertama di wilayah Nusantara.

Tetapi, entitas seperti pesantren ini memiliki sulur sejarah jauh ke masa lalu, ke masa jauh sebelum Islam masuk ke Nusantara. Sejak zaman Sriwijaya, Mataram Kuno, Singosari, hingga Majapahit lembaga-lembaga pendidikan seperti pesantren ini sudah ada dengan sebutan yang berbeda-beda. Sekali waktu disebut mandala atau kadewaguruan. Di waktu yang lain disebut pertapaan, padepokan, atau pecantrikan. Yang menarik, apa pun sebutannya, lembaga-lembaga pendidikan tersebut berbasis keagamaan. Atau, secara khusus memang dimaksudkan sebagai lembaga pendidikan agama.

Sebagai contoh, di ibu kota Kerajaan Sriwijaya, terdapat sebuah “universitas” yang menjadi pusat belajar sarjana dan teolog Buddha dari berbagai bangsa. Perguruan tersebut menampung ratusan pelajar dan sarjana dari mancanegara. Pada masa Mataram Kuno, tak jauh dari Borobudur terdapat pusat pendidikan agama Buddha bernama Janabadra. Lembaga-lembaga pendidikan serupa terus tumbuh dan berkembang hingga masa Kerajaan Majapahit baik untuk mengajarkan ajaran Hindu maupun Buddha.

Karena berbasis keagamaan, maka guru atau pengasuhnya adalah seorang resi, pendeta, atau brahmana. Materi pendidikannya mencakup ajaran agama, teologi, sastra, bahasa, dan ilmu kemasyarakatan. Di lembaga-lembaga pendidikan tersebut juga disediakan asrama atau pemondokan tempat para pelajar bermukim bersama guru-guru mereka. Para pelajar mukim ini disebut catrik atau cantrik, dan tempat belajar mereka disebut padepokan atau pecantrikan. Semua guru tidak digaji, tapi semua murid memiliki kewajiban bekerja membantu guru memenuhi kebutuhan sehari-hari agar pendidikan tetap berjalan. Begitulah relasi guru-murid dalam sistem pecantrikan di masa itu.

Melalui pecantrikan itulah ajaran Buddha dan kemudian Hindu menyebar luas di wilayah Nusantara, menjadi agama yang dianut mayoritas masyarakat sampai senjakalanya Majapahit. Tak ada sistem dan model pendidikan lain yang tersedia ketika itu.

Situasi seperti itulah yang dihadapi para penyebar Islam di masa-masa awal. Mereka pasti melihat dan mempelajari bagaimana Buddha dan Hindu bisa berkembang di bumi Nusantara. Mereka pasti juga melihat dan mempelajari bagaimana ajaran-ajaran Buddha dan Hindu berkelindan dengan tradisi dan sistem kepercayaan lama. Maka, tak ada jalan lain kecuali mengikuti dan mengadopsi cara Buddha dan Hindu untuk  mengambil hati masyarakat setempat. Sebab, di Nusantara juga tidak ada preseden perang dan penaklukan atas nama agama. Sesekali terjadi perang lokal, itu semata soal perebutan kekuasaan dan pengaruh di antara para raja yang berkuasa.

Dus, pecantrikan itulah yang menjadi cikal bakal tumbuh kembangnya pondok pesantren. Bisa jadi, begitulah latar belakang berdirinya Dayah Cot Kala Perlak di Aceh pada abad ke-9 dan pesantren-pesantren yang tumbuh kemudian sampai menemukan bentuknya yang ideal, yang secara definitif disebut pondok pesantren dari istilah pecantrikan dan pelajarnya disebut santri dari istilah cantrik.

Tak semua tercatat dan terdokumentasi dengan baik, tapi kita mengenal ada Pesantren Tan Jampes II di Pamekasan, Madura, yang didirikan pada 1062. Lalu ada Pesantren Ampel Denta yang didirikan Sunan Ampel pada 1443 dan Pesantren Al-Kahfi di Kebumen yang berdiri tahun 1475. Pada abad ke-14 dan ke-15, di masa-masa akhir Kerajaan Majapahit, pesantren mulai mengalami perkembangan signifikan, bahkan menjadi tempat belajarnya para pangeran atau masyarakat elite di masa Kesultanan Demak. Di saat bersamaan, Islam telah menyebar secara luas, mulai menggantikan posisi Hindu dan Buddha, dan turut mewarnai tatanan sosial kemasyarakatan. Di masa itu, pondok pesantren telah berkembang menjadi pusat pendidikan masyarakat, terutama dalam pendidikan bidang keagamaan, selain sastra, ilmu kemasyarakatan, dan keterampilan. Belum ada sistem dan model pendidikan lain selain ini.

Pesantren: Pertahanan dan Perlawanannya 

Nurcholish Madjid dalam Bilik-bilik Pesantren (1977) membaca, fenomena berdirinya lembaga pendidikan seperti pondok pesantren ini mirip dengan apa yang terjadi di Eropa, kemudian Amerika Serikat, atau belahan dunia lainnya. Universitas-universitas ternama di dunia hari ini, awalnya justru merupakan lembaga pendidikan keagamaan. Misalnya, Universitas Bologna di Italia dan Universitas Oxford di Inggris yang didirikan pada abad ke-11. Keduanya didirikan oleh tokoh-tokoh gereja yang dimaksudkan sebagai lembaga pendidikan agama. Begitu pula dengan Universitas Harvard dan Universitas Yale di Amerika Serikat yang didirikan pada abad ke-17 dan ke-18. Awalnya, semuanya merupakan lembaga pendidikan tinggi keagamaan yang kemudian berkembang menjadi universitas umum ternama di dunia.

Berdasarkan fenomena tersebut, Nurcholish Madjid yakin seharusnya pondok pesantren terus berkembang seperti halnya Universitas Bologna, Universitas Oxford, Universitas Harvard, Universitas Yale, dan lain-lainnya. Pendeknya, pondok pesantren seharusnya berkembang menjadi pusat kajian ilmu seperti halnya universitas-universitas ternama tersebut. Namun, semua itu tak terjadi dan sejarah berbelok arah. Ketika pesantren masih dalam ketradisionalannya, universitas-universitas umum keburu bermunculan.

Yang membuat sejarah pesantren berbelok arah tak lain adalah datangnya kaum penjajah, terutama Belanda, mulai abad ke-17 dan seterusnya. Tesis Nurcholish Madjid ini memang perlu pengujian lebih lanjut. Tapi, sepanjang masa penjajahan itu, memang, pesantren terpaksa harus mengambil posisi baru: bertahan dan melawan. Ada dua hal penting yang memaksa pesantren mengambil posisi bertahan dan melawan.

Pertama, Belanda menegasikan eksistensi pesantren dengan cap sebagai lembaga pendidikan tradisional dan kolot. Karena itu, di pusat-pusat kota, Belanda mulai mendirikan sekolah-sekolah modern dengan sistem kelas. Salah satu tujuannya adalah untuk menyediakan tenaga kerja pemerintahan kolonial. Dus, inilah untuk pertama kalinya pesantren sebagai lembaga pendidikan memperoleh saingannya.

Kedua, dalam perkembangannya, Belanda mencurigai pesantren menjadi pusat penolakan dan perlawanan terhadap kehadiran kaum penjajah, yang kebetulan memang berbeda keyakinan dan agama. Konsekuensinya, pesantren selalu diintai dan ditekan agar tak bisa berkembang.

Menghadapi situasi seperti itu, mula-mula pesantren mencoba untuk tetap bertahan. Salah satunya dengan cara menyingkir dari pusat-pusat kekuasaan atau pusat-pusat kota. Akhirnya, selama dijajah Belanda, banyak pesantren didirikan di daerah-daerah pedalaman. Dengan memilih daerah pedalaman, pesantren akan terhindar dari jejaring pengawasan dan kontrol pemerintah kolonial. Selain itu, sekaligus, dengan berada di pedalaman, pesantren menjadi benteng pelestarian tradisi, budaya, dan agama masyarakatnya. Dengan cara seperti itu, pesantren akhirnya mampu bertahan, dan malah menjadi pengayom bagi masyarakat yang sedang terjajah, yang juga tak memiliki akses terhadap pendidikan.

Pada perkembangannya, setelah menyingkir ke pedalaman, pesantren tak hanya mampu bertahan sebagai lembaga pendidikan, tapi justru berkembang menjadi pusat perlawanan, perlawanan terhadap penjajahan. Bukan hanya menjadi obor ilmu, pesantren juga berkembang menjadi pengobar semangat juang, nasionalisme. Banyak tokoh pergerakan dan pejuang kemerdekaan yang bersumber dari pesantren. Itulah kenapa, baik di masa penjajahan Belanda maupun Jepang, banyak tokoh pesantren yang dibui atau ditembak mati. Banyak pesantren yang diserbu dan dibakar. Dibumihanguskan. Tapi pesantren tetap bertahan dan melakukan perlawanan, sampai akhirnya Negara Republik Indonesia mencapai kemerdekaannya. Dari situ terlihat keberadaan pesantren merupakan keniscayaan sejarah. Ia ada karena sejarah menuntutnya ada.

Lapis-lapis Transformasi Pesantren

Ternyata jejak kolonialisme tak sirna begitu saja setelah para penjajah angkat kaki dari Bumi Pertiwi. Di masa awal kemerdekaan, masa Orde Lama hingga Orde Baru, masih banyak kalangan yang memandang pesantren dari kacamata penjajah. Ia masih dipandang dengan sebelah mata, dengan sinisme. Ia dipandang sebagai yang kuno, tradisional, kolot. Sebutan “kaum sarungan”, yang dilekatkan pada orang-orang pesantren, adalah sebuah peyorasi untuk menuding pesantren sulit diajak maju, menjadi modern, karena masih berkukuh pada tradisiolitasnya. Sarung adalah simbolnya. Bahkan, gerakan pembasmian penyakit “TBC” (takhayul, bidah, c[k]hurafat) sejujurnya dialamatkan pada pesantren.

Puncaknya, hampir sepanjang masa Orde Baru, pesantren tetap menjadi komunitas yang terpinggirkan, dianaktirikan, bahkan tetap dicurigai sebagaimana pada masa penjajahan. Sementara, lembaga-lembaga pendidikan modern terus dimanja dengan berbagai anggaran dan program pengembangan, pesantren dibiarkan berjuang sendiri untuk menghidupi dirinya sendiri. Maka, sampai dengan masa itu, pesantren menjadi institusi yang sangat mandiri, independen, dan selalu menjaga jarak dengan pusat kekuasaan. Nyaris tak ada pesantren yang menerima bantuan dari pemerintah. Yang banyak justru menolaknya.

Sesungguhnya pesantren bukanlah entitas yang beku. Di samping harus tetap bertahan, pesantren juga telah membuka diri terhadap perkembangan zaman. Responsivitas pesantren akhirnya menjadi salah satu cara untuk bertahan. Maka jika ditelusur dari akhir abad ke-19 atau awal abad ke-20 hingga hari ini, sesungguhnya telah banyak pesantren yang melakukan transformasi. Misalnya, Pondok Pesantren Tebuireng Jombang pada 1919 sudah mengadopsi sistem klasikal seperti lembaga pendidikan modern. Bahkan, pada 1929, di Tebuireng sudah dimasukkan mata pelajaran umum. Hal yang sama juga dilakukan Pesantren Sidogiri Pasuruan dan Lirboyo Kediri pada awal abad ke-20. Tren serupa terus diikuti banyak pesantren besar lainnya.

Namun, harus dicatat bahwa transformasi yang terjadi di lingkungan pesantren sangat beragam, alih-alih seragam. Sebab, setiap pesantren memiliki keunikannya sendiri. Tidak ada pesantren yang persis sama dalam segala. Karena itu, transformasi yang terjadi di lingkungan pesantren berlapis-lapis, mulai dari yang masih sangat salaf dan tradisional seperti aslinya, hingga yang “ultra modern”.

Berdasarkan data resmi, saat ini ada sekitar 42.000 pesantren di seluruh Indonesia. Dan, seluruh pesantren tersebut diklasifikasikan ke dalam tiga kelompok, yaitu pesantren salafiyah (tradisional), pesantren khalafiyah (modern), dan kombinasi keduanya. Tapi sangat mungkin jumlah yang sebenarnya lebih dari data resminya, dan keberadaannya lebih kompleks dibandingkan dengan tiga klasifikasi resmi tersebut.

Hari ini, misalnya, masih ada pesantren yang masih seperti padepokan zaman dulu. Ia berada di pedalaman Cirebon, jauh dari pusat keramaian, dan tak ada akses jalan untuk menuju ke sana. Orang harus menyeberangi sungai, atas melompati batu-batu yang terserak di sungai, untuk menuju pesantren tersebut. Tak ada aliran listrik masuk ke sana, apalagi barang-barang elektronik. Termasuk sistem pendidikannya, benar-benar pesantren salafiyah seperti aslinya di zaman dulu. Ia seperti sedang bersembunyi dari hiruk pikuknya kehidupan modern.

Tentu, situasinya jauh berbeda dengan pesantren-pesantren yang sudah modern, bahkan ultra modern. Di Pesantren Tebuireng, misalnya, sudah ada pesantren khusus sains, yang mempersiapkan santrinya menguasai sains dan teknologi –di samping penguasaan ilmu keagamaan yang standar pesantren. Di Pesantren Amanatul Ummah Mojokerto, dibuka kelas-kelas internasional dengan pengantar bahasa Inggris. Karena itu, jebolannya banyak yang masuk di berbagai universitas ternama di Amerika Serikat atau Eropa. Dan semakin banyak pesantren yang mengembangkan model-model pendidikan seperti yang dilakukan Tebuireng dan Amanatul Ummah tersebut.

Di antara dua lapis kutub yang berseberangan tersebut, terdapat banyak lapisan lain dari transformasi pesantren. Ada pesantren-pesantren yang masih mempertahankan kesalafiyahannya, termasuk sistem pengajaran sorogan dan bandongan dengan kurikulum kitab klasik, namun di saat bersamaan sudah mengadopsi instrumen dan institusi modern. Ada pesantren-pesantren yang sekaligus menyelenggarakan sistem madrasi dan sekolah-sekolah umum mulai dari tingkat dasar sampai menengah, seperti SD hingga SMA. Ada pesantren-pesantren yang sudah memiliki universitas umum namun di saat yang sama mengelola ma’had aly dengan kekhususannya (takhasus). Ada pesantren-pesantren yang, di samping mengajarkan ilmu-ilmu keagamaan, juga mendidik santri-santrinya menguasai keterampilan khusus mulai dari teknologi terapan sampai teknologi digital. Ada pesantren-pesantren yang mengelola kegiatan usaha untuk menopang biaya operasional sendiri. Ada pesantren-pesantren yang mengembangkan perekonomian kerakyatan bersama masyarakat setempat. Ada pesantren yang jumlah santrinya hanya puluhan orang. Tapi tak sedikit pesantren yang menampung santri sampai ratusan, ribuan, bahkan puluhan ribu orang. Itu hanya beberapa contoh untuk menyebut keragamannya.

Dengan responsivitas yang dimiliki, dengan transformasi yang dilakukan, pesantren telah berkembang dengan sangat beragam, jauh melampaui apa yang dipikirkan orang (“Ini pesantren kok tidak mati-mati?”). Dari kacamata tertentu, mungkin akan terlihat ada pesantren yang ketinggalan zaman. Namun, dari sudut pandang lain, banyak pesantren yang telah menyesuaikan diri dengan tuntutan dan perkembangan zaman. Karena pesantren memiliki keunikan dan kekhasannya sendiri, transformasi dan perkembangannya dimungkinkan berbeda-beda. Karena itu, ketika mengunjungi banyak pesantren bisa dipastikan kita akan menemukan banyak perbedaan, sebanyak pesantren yang kita kunjungi.

Tapi, perlu dicatat, ada hal-hal yang membuat pesantren-pesantren tersebut tetaplah pesantren, yang berbeda dengan lembaga-lembaga pendidikan manapun. Bukan hanya karena ada elemen-elemen yang membuatnya disebut pesantren, seperti kehadiran seorang kiai, adanya santri, tersedianya tempat belajar dan pemondokan, tersedianya kurikulum perkitaban, dan adanya masjid atau musala. Selain ilmu, pesantren juga mengajarkan akhlak, menanamkan adab. Bahkan adab dipercaya lebih tinggi dari ilmu. Karena itu, relasi guru-murid dibangun sedemikian rupa dengan penuh penghormatan dan penghargaan, dan telah mentradisi sedemikian kuat. Dan, yang tak kalah penting, masih adanya keyakinan akan adanya barokah dari para kiai atau guru. Sejauh mana pesantren-pesantren bertransformasi dan berkembang, jika kehilangan hal-hal tersebut, akan hilang pula kadar kepesantrenannya. Itulah hal-hal yang membuatnya disebut pesantren, dan yang membedakannya dengan lembaga-lembaga pendidikan lain.

Quo Vadis Pesantren 

Memang, meskipun usianya sudah berabad-abad, tak ada pesantren yang sempurna, seperti tak sempurnanya universitas atau lembaga-lembaga pendidikan lainnya. Masih banyak hal yang harus dibenahi, diperbaiki, disempurnakan di lingkungan pesantren. Di sana-sini, misalnya, terjadi perundungan antarsantri, kekerasan antarsantri, atau pelecehan seksual di beberapa pesantren. Di sana-sini, banyak sarana dan prasarana pesantren yang kurang layak, yang terbilang membahayakan keselamatan santri. Di sana-sini, ada pesantren-pesantren yang kesulitan mengikuti perkembangan zaman.

Di tengah keterbatasan itu, di tengah kekurangsempurnaannya itu, sekali lagi, hari-hari ini orang ramai mempergunjingkan bahkan mengolok-olok pesantren –saya dejavu dengan jejak kolonialisme. Terasa ada gerakan yang hendak mendekonstruksi pesantren. Tak perlu lagi ada pesantren, pesantren yang seperti itu. Sebagai gantinya, mungkin akan ditawarkan model-model boarding school, sekolah agama berasrama, dengan istilah yang lebih mentereng: Islamic boarding school. Tapi ia tetaplah bukan pondok pesantren. Karena ruhnya berbeda, napasnya tak sama. Karena itu pesantren harus didekonstruksi. Karena itu, muncul lagi olok-olok seperti zaman dulu, bahwa pesantren itu kolot, ketinggalan zaman, penuh bidah, bahkan menyesatkan.

Lalu apakah pesantren akan terdekonstruksi? Jika melihat lintasan sejarahnya, sangat kecil kemungkinannya, bahkan rasanya mustahil, eksistensi pesantren akan terdekonstruksi. Dengan caranya sendiri, pesantren akan terus bertransformasi, menyesuaikan diri dengan perkembangan dan tuntutan zaman, sembari tetap kukuh berdiri di atas tradisinya. Akan bertransformasi dan berkembang seperti apa, akan sangat tergantung pada tantangan zamannya. Di masa-masa yang akan datang, kita akan melihat perkembangan pesantren yang semakin beragam dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan