1
PINTU kamar diketuk.
Sayup-sayup, terdengar sebuah suara memanggilku, lembut. “Ma? Mama masih tidur? Ayna boleh masuk?”
Dengan suara serak khas baru bangun, aku mempersilakan. “Jam berapa ini?”
”Sudah jam sepuluh,” jawab Ayna sambil membantuku bangkit. ”Ayo, Ma. Sarapan dulu. Mama belum makan apa pun sejak pagi.”
Aku mengangguk. Dengan sedikit tertatih-tatih, kakiku melangkah menuju ruang tengah dan duduk di sofa. Ayna mengekor di belakang. Sekilas, aku menatap cermin. Mataku tampak merah dan bengkak. Mungkin, aku terlalu lama menangis, sebelum akhirnya tertidur.
Di meja, sudah terhidang seporsi bubur ayam. Aroma lezatnya menguar. Entah dari mana Ayna mendapatkannya. Yang pasti, bukan masakannya sendiri. Mungkin, dia berinisiatif membelikan makanan favoritku itu karena khawatir melihatku sengaja mengurung diri di kamar selepas ritual itu selesai.
Ya, sebuah ritual yang tak bisa kuhindari. Ritual bertajuk perpisahan. Ritual yang mau tak mau kujalani sejak tujuh tahun lalu, sejak pertama kalinya aku melepas buah hatiku untuk hidup mandiri di sebuah pondok pesantren.
Dan hari ini, tanggal sepuluh Syawal, seperti biasa, aku baru saja merampungkannya. Lagi.
2
SUASANA begitu hening saat aku mulai menyantap sarapanku. Hanya bunyi kunyahan dan jarum jam yang terdengar. Bahkan, Ayna yang sibuk dengan gadgetnya sambil rebahan di sofa tak mengeluarkan suara sedikit pun. Telinganya disumpal dengan headset.
Aku menghela napas. Perlahan, tanpa bisa ditahan, air mataku kembali menetes. Ah, harus sesakit inikah rasanya perpisahan, Tuhan? Meski ini bukan pertama kalinya, tapi sepuluh Syawal kali ini terasa lebih berat, lebih menyakitkan, dan lebih mengiris-iris perasaan.
Bukan karena aku masih tak bisa menerima keputusan-sebelah-pihak suamiku yang ngotot memasukkan anak-anak ke pondok pesantren. Juga bukan karena aku akan kembali kesepian di rumah, padahal baru tiga minggu berkumpul dengan anak-anak. Bukan pula karena aku harus bersabar menabung rindu setahun ke depan untuk bisa bertemu lagi dengan mereka. Melainkan, karena pagi ini, aku harus kehilangan tiga anakku bersamaan. Jika tahun-tahun sebelumnya hanya Alysa dan Ayna yang berangkat, kali ini Alwi dan Alwan juga harus berangkat. Bayangkan, tiga sekaligus. Tinggal putri keduaku, Ayna, yang ada di rumah. Itu pun hanya sebentar. Masa liburannya tersisa dua hari.