DI HADAPAN AULIYA
Jika matamu barangkali tak melihat
babak kesahihan dalam taslim ini
maka sebuah mimpi datang memahami
lapang dada seseorang membelah diri
yang saleh kini,
membumi munajat dan dzikrus shalihin
Entah berkat diriku atau dirimu
yang menggapai limpahan kasih Tuhan
sebab silsilah pada penghulu Alaydrus
makrifat dalam diri sang alim
hingga tumpah ruah shahibul haul
menembus sinar hamparan tanah lapang
Ternyata, sayatan rayap kecil itu mencengkeram hati seseorang,
hingga isi kepalamu penuh dengan ukiran jimat seberang.
BIKAIKAJIN
Di halaqoh tercinta ia duduk tenang
bersama kitab pujaan bangsa-bangsa salaf
Menggerisik hingga tertiup bait-bait usang
meluap penuh sebelum Kausenyapkan larang
Mereka memandang takjub saat
malam bergemuruh berebut kitab-kitab pujaan
Sedang kau hanya ingin bertanya perihal
bulan yang menyigi di antara kaum jejaka
Sesaat mereka membisu,
kau menggondol waktu-waktu azimat
sembari menodong tembakan
mengarah kepala Abah Zuhdy
Sayang, di tempat ini, wajahmu membelah
bagai bulan yang disinari mentari gemerlapan
DOA AWAL KEMENANGAN
Ilahi Anta Maqshudi, wa Ridhoka Mathlubi
A’thini Mahabbataka wa Ma’rifatak
Sebelum puja-puji kemerlapan menghadiri ingatan, barangkali ia tak sadarkan, betapa “kemenangan” tak selalu tentang busana yang merapal perayaan akbar. Dosa-dosa tumpah di keruh jurang abu, melebur pada tahniah yang memugar segala cela, serta doa-doa menyisa kerelaan saat awan temaram.
Sepanjang takbir menggaung lekuk sesal, semacam waham jatuh dari langit meremas jantung, pedar hati—tak abaikan jika abdi telah bertekad mencabik-cabik kesilapan. Memohon ampunan pada tanah lapang ataukah sekadar memandang sendu ke sepasang mata belang?