Sunti sangat yakin nasib dan masa depannya akan lebih baik dari saudara kembarnya, Sinta. Keyakinan itu tumbuh dari keadaan dirinya yang secara fisik jauh lebih beruntung dari Sinta. Sunti berparas cantik, berkulit putih, dengan tubuh yang tinggi semampai. Sedang Sinta berkulit cokelat, wajahnya yang tak rupawan dijejali banyak jerawat, bertubuh pendek, masing-masing tangannya hanya punya tiga jari, dan kidal.
Sunti yakin, nasib baik akan seirama dengan keadaan tubuhnya yang nyaris sempurna, yang sejak kecil sudah disebut-sebut si cantik, banyak orang yang gemas, dan sering menjadi langganan sekolahnya untuk dipilih sebagai foto pemanis brosur saat menjelang penerimaan peserta didik baru.
Hari-hari Sunti lebih banyak dihabiskan di meja rias untuk semakin membuat wajah dan tubuhnya mirip artis di tivi. Ia ogah membantu Erni, ibunya di dapur. Khawatir kecantikan tubuhnya tercemar oleh perkakas dapur. Sebaliknya, Sinta sejak kecil memang sudah karib dengan perkakas dapur, asap, dan bau bumbu.
“Mumpung masih sekarang, ayolah, Nak! Biasakan kerja di dapur. Kelak kalau sudah menikah biar tidak grogi,” pinta Erni padanya, nyaris selalu diulang setiap hari.
“Tenang saja, Bu! Semua tergantunng nasib,” jawab Sunti yang juga nyaris diulang setiap kalil Erni memintanya bantu-bantu di dapur.
“Selalu kau bilang tergantung nasib, maksudmu apa?” kali ini Erni bertanya penasaran.
“Orang bernasib cantik seperti saya, nanti akan punya suami kaya, punya pembantu khusus urusan dapur. Jadi tak perlu khawatir soal itu, Bu!” Sunti terus mendaratkan ujung lipstik dengan gerakan-gerakan pelan ke bibirnya, hingga warnanya terus bertumpu dan menebal.
“Huh! Kamu jangan mendahului kehendak Allah. Jika Allah tak memberimu nasib begitu, lantas bagaimana?”
Sunti menaruh lipstik lalu menatap wajah ibunya di cermin.
“Bu! Saya tidak bermaksud mendahuli kehendak Allah, tapi biasanya, orang cantik itu gampang menaklukkan hati lelaki kaya. Itu saja.”
“Meski kau punya keyakinan begitu, setidaknya bantu-bantu akulah. Demi meringankan beban ibu!”
Sunti sudah terlalu kebal kepada perkataan ibu dan ayahnya. Ia tak menyahut. Tak menoleh sekali pun. Kata-kata Erni dianggapnya bagai desir angin di jendela yang datang tak diundang dan hilang tanpa diusir. Tangannya kembali meraih kemasan kosmetik lain, memoleskannya ke wajahnya, sambil nyanyi-nyanyi.
Sinta yang menguping dari balik pintu, tanpa disuruh segera bergegas ke dapur untuk membereskan apa saja yang belum sempat dilakukan ibunya.
“Mestinya kau berpikir cermat, ayahmu bekerja hanya sebagai penarik becak yang perolehannya tak seberapa. Dibuat biaya sehari-hari saja nyaris tidak cukup. Tapi kamu selalu minta uang banyak kepada ayahmu secara paksa hanya untuk beli perawatan tubuh. Celakanya, itu semua kau gunakan sendiri, tak pernah kau sudi dipakai bersama dengan Sinta.”
Erni lantas balik meninggalkannya, menduga kata-katanya tadi akan jadi cemeti yang bisa memecut kesadarannya. Tapi yang Sunti rasakan tidak demikian. Ia tetap menganggap kata-kata ibunya adalah angin.
#
Seperti hari-hari sebelumnya, Sunti baru datang ke ruang makan saat semua makanan sudah terhidang di atas meja. Kalaupun datang agak awal, yang ia lakukan hanya nyanyi-nyanyi di kursi—kadang—sambil menunggu semua makanan purna terhidang. Sudah mau copot mulut Erni yang selalu mengulang hal yang sama; menyuruhnya membantu menyiapkan makanan sebagaimana Sinta.
“Ini bukan surga, Sun. Sebelum makan, harus ada usaha dulu, setidaknya bantu ibu memasak, atau jika tidak begitu, bantu menyiapkan makanan. Jangan langsung hanya duduk di kursi dan selesai makan pergi begitu saja,” pagi itu Erni kembali menyarankannya meski ia sendiri sebenarnya hampir putus asa berurusan dengan Sunti.
“Coba lihat Sinta! Dia sampai keringatan bantu ibu sejak memnyiapkan bahan, memasak, menghidang makanan, bahkan sampai nanti bantu cuci piring. Sedang kamu…”
“Cukup, Bu! Jangan bandingkan Sunti denganku,” celetuk Sinta, menyeka peluh membutir di keningnya. Sementara Sunti masih menatap layar HP. Bibirnya bergerak dengan suara lirih, meniru lagu yang didengarkannya.
“Kalau Sinta memang harus seperti itu, Bu. Dia lebih jelek dariku, nanti pasti akan dapat suami orang yang agak sengsara juga,” gumam Sunti di sela diamnya yang tak peduli nasihat ibunya.
“Belajarlah untuk sedikit sulit dan sibuk, Sun. Biar nanti tak terkejut saat dalam kehidupanmu ada kesibukan atau kesulitan. Hidup ini tak mungkin lapang terus dengan hanya dihadapi bersantai ria di atas kasur dan kursi. Ingat itu, Sun!” Erni menuding ke wajah Sunti.
Saat sedang berkumpul bersama, ketika nonton TV atau ketika rileks di beranda sore-sore, tanpa ada yang meminta, Sunti akan bercerita banyak hal mengenai dirinya yang seolah-olah selalu hidup dalam garis keberuntungan.
Ia bercerita tentang dirinya yang selalu diajak foto bersama oleh teman-temannya demi nebeng kecantikan yang ia miliki, potret dirinya yang selalu terpilih sekolah sebagai gambar brosur, keramahan banyak lelaki yang kerap mengaguminya, hingga pada cerita tentang pekerjaan tersulitnya untuk memilih satu lelaki di antara banyak lelaki tampan yang mendekatinya.
Sinta dan ibunya tetap diam mendengar cerita itu. Ibunya masih duduk sedikit membungkuk dengan gerai helai rambut yang tersingkap ke samping kepalanya, sedang di belahan singkapan rambut itu, tangan Sinta masih setia menyusur pelan, memungut kutu-kutu yang kadang berusaha sembunyi ke pangkal rambut yang rimbun. Meski keduanya tak merespons cerita Sunti, tapi Sunti terus melanjutkan ceritanya dengan suara nyaring, diselingi tawa kecil, merasa cerita itu akan dikagumi oleh Sinta dan ibunya, padahal Sinta dan ibunya selalu membincangkan kutu-kutu dan hal lain demi—sengaja—abai pada cerita Sunti.
#
Ini sudah kali kedua Haji Ridwan—si juragan karapan sapi—datang malam-malam ke rumah Sunti. Hal itu juga membuat Sunti dua kali menempelkan tubuhnya ke jendela untuk menguping. Haji Ridwan duduk di teras ditemui Burhan, bapaknya. Merokok, minum kopi, berbincang dan terbahak-bahak. Saat tiba waktunya untuk berbincang penting, keduanya berusaha tak berisik dengan cara satu sama lain saling mendekatkan wajah dan berbicara lirih di samping meja. Namun upaya itu seperti sia-sia, Sunti tetap mendengar obrolan rahasia mereka dari balik jendela yang pojoknya pecah sebatas ditabiri juntaian gorden.
“Anakku ternyata sudah lama tahu pada kedua putri kembar Pak Burhan. Sejak empat bulan yang lalu, diam-diam ia sudah melakukan semacam survei pada mereka sekaligus istikharah untuk menentukan siapa di antara mereka yang akan dipilih,” kata-kata Haji Ridwan sebentar terpotong saat ia mengisap rokok. Burhan hanya mengangguk-angguk dalam riak sepi. Sementara di balik jendela, Sunti kian deg-degan, tak sabar Haji Ridwan ingin segera menyebut dirinya sebagai pilihan yang akan ia lamar.
“Dan dari istikharah itu, terpilihlah hjkkku,” saat Haji Ridwan menyebutkan nama, bersamaan dengan suara jatuhnya barang di dapur yang mungkin tersenggol kucing. Sontak Burhan dan Haji Ridwan kaget, sebagaimana juga Sunti. Tapi kemudian Burhan merespons dengan jawaban yang menandakan ia menangkap dengan jelas pada nama yang disebut Haji Ridwan tadi. Sunti kesal dan mengutuk dirinya karena gagal menguping nama pilihan Haji Ridwan. Tapi dirinya yakin, anak Haji Ridwan yang akan mencalonkan diri sebagai kepala desa itu akan memilih dirinya sebagai istri.
#
Setelah makan malam, Burhan meminta istri dan kedua anaknya duduk sebentar ke ruang tamu. Bersanding tiga jenis buah yang terhidang di meja, semua terlibat dalam kelakar-kelakar segar berseling tawa dengan kunyahan-kunyahan lahap yang kadang menimbulkan bunyi gleg di tenggorokan mereka saat menelan kunyahan, kecuali Sunti—sebagaimana biasa—hanya duduk diam menatap layar HP. Asyik dengan dunianya sendiri sambil menanam hadset di kedua telinganya. Kalaupun ia tersenyum, ia tersenyum pada apa yang ia dapatkan di HP itu. Ia baru menaruh HP setelah Burhan memintanya.
Saat keadaan terasa kondusif, Burhan mulai bercerita tentang kedatangan Haji Ridwan ke rumah itu malam-malam. Semua mendengar dengan fokus; bibir menganga, mata jarang berkedip, dan jantung setengah berdebar. Cerita Burhan maju mundur dan tak langsung masuk ke inti, diselingi diam sejenak dan kadang mengambil napas dalam, membuat semua yang mendengar kian penasaran. Tapi arahnya sudah terbaca; salah satu putrinya akan dilamar anak Haji Ridwan, dan Sunti sangat yakin dirinyalah yang diincar.
“Kata Haji Ridwan, anaknya mantap memilih Sunti sebagai calon istri,” tiba-tiba Burhan berhenti dan menunduk. Sedang Sunti tampak mengembangkan dada, diluap ragam kebahagiaan. Sesekali tersenyum kecil, seolah memproklamirkan diri di hadapan keluarganya—terutama ibunya—bahwa dirinyalah yang punya keberuntungan meski selama ini hanya berias di kamar.
“Tapi, entah kenapa pada akhirnya anak Haji Ridwan berubah pikiran. Ia ganti memilih Sinta sebagai calon istrinya. Jadi anak Haji Ridwan itu mau melamar Sinta. Untuk Sunti, kamu tak usah bersedih, ini hanya soal waktu, Nak!”
Sunti tak mengangguk dan tak menjawab sepatah kata pun. Ia bukan hanya kecewa, tapi lebih dari itu. Begitu sakit, bagai ada puluhan belati jatuh ke dadanya. Tapi sebagai orang yang keras kepala ia sadar; jika ada setetes air mata saja jatuh saat itu, ia akan bertambah malu.
Langkah terbaik ia ambil, segera pergi meninggalkan meja makan, masuk dan menutup kamar, menguncinya dengan rapat dan membiarkan tangisnya pecah. Hari-hari berikutnya, bulan-bulan berikutnya, tahun-tahun berikutnya, ia tetap begitu, banyak lelaki yang dekat tapi segera pergi. Hingga suatu waktu, pada dini hari yang senyap, ia berkeinginan untuk memperbaiki perbuatannya, sejenak ia melirik kalender dan menggeleng saat ingat umurnya sudah hampir empat puluh.
Rumah FilzaIbel, 2022.
ilustrasi: umar samarta.