RUDIRA MENGALIR SIA-SIA
Para peramal masa depan telah dikultuskan
Oleh awam-awam desa arkais nan usang
Wejangannya selalu sakti
Bak wahyu ilahi yang bahaya untuk diingkari
Datanglah jiwa-jiwa yang tak pernah sumarah
Padahal sudah rimpuh
Mengejar harsa-harsa yang tak kekal
Bersama kesedihan seluas tanjung enim
Diambilnya anala yang panasnya membakar relung jiwa
Ditiupkannya oleh peramal masa depan
Dibacakannya mantra-mantra mandraguna
Terkabullah permohonan awam-awam
Rudira awam-awam itu selalu merah menyala
Kali ini telah redup ditiup bisikan kekolotan dan setan-setan
Sayangnya harus mati di jalan yang tak benar
Ditangisi pun tak mampu menghapus dosa yang lampau
RUMAH DI JIWAMU
Di kesunyian malam dan gemerlap cahaya
Berlari menuju lorong hampa
Setelah mendengar bisikan dada yang menggema
Bersamaan dengan langit yang sedang bersedu sedan
Menciptakan petrikor yang menostalgia manusia
Sepasang kakinya berlari
Menyapu lorong hati yang hampa
Yang telah kosong sejak dilahirkan
Bersama rundung peluru penjajah yang menembus jiwanya
Tak ada apapun
Bahkan buhul dengan ibunya telah terputus
Hanya serupa rasa anggara
Hanya halai balai perasaan
hanya setumpuk debu tanda kematian
namun sedikit berkampana.
Di suatu saat, di atas tanah yang pekat
Menghadap ke Nabastala
Memerangi seluruh kemasygulan jiwa
Hingga sadar bahwa dirinya sendiri adalah rumah
Lantas berpulang tanpa ada penolakan
BUNUH DEMENSIA PENGUASA!
Janjimu yang mahal telah sirna!
Dibawa nafsu keserakahan tuan
Tak terlihat
Bersembunyi di balik senyuman dan kata-kata
Bunuh demensiamu tuan!
Kekuasaan tuan hanya dinikmati hewan-hewan tuan
Lupa sudah akan hari ketika tuan dijunjung rakyat
Yang harapannya telah pupus
Di bawah bayang-bayang tubuh tuan yang berapi
TULANG YANG PATAH