Sains dan Agama sebagai Sarana Menuju Dunia Luar

48 views

Manusia dianugerahi Allah dengan akal sebagai sarana untuk memperoleh hal-hal yang sebelumnya tidak diketahuinya. Manusia dinalurikan sebagai subjek yang seharusnya berperan dalam pencarian informasi sepanjang hidupnya. Pernyataan ini tersurat pada sebuah kalimat yang berbunyi,

أطلبوا العلم من المهد إلى اللحد

Advertisements

Artinya: “Tuntutlah ilmu dari buaian (ibu) hingga liang lahat (kematian)

Terminologi yang sering dipakai manusia dalam melabeli informasi atau suatu wawasan tertentu pada umumnya adalah “ilmu” dan “pengetahuan”. Makna harfiahnya (KBBI), “ilmu” diartikan sebagai pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode tertentu, yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala tententu di bidang pengetahuan itu. Sedangkan, “pengetahuan” itu sendiri adalah gabungan berbagai pengetahuan yang disusun secara logis dan bersistem dengan memperhitungkan sebab dan akibat.

Apabila dirunut, kedua terminologi tersebut dari sudut pandang tekstualnya, akan memunculkan bias dan ambiguitas yang mengakar dalam benak kita. Bagaimana konsep tentang “ilmu” dan “pengetahuan” itu sendiri? Bagaimana respons analisa pada pernyataan yang menyandingkan “ilmu” dan “pengetahuan” menjadi “ilmu pengetahuan”? Apa yang bisa dikaitkan antara keilmuan dan agama? Dan masih banyak persoalan yang lain.

Budayawan Emha Ainun Nadjib, atau yang kita kenal dengan Cak Nun, pada sebuah kesempatan dengan putranya, Sabrang Noe, mencoba membedah realitas makna dari kedua term di atas. Menurutnya, pengetahuan adalah sebuah data yang diperoleh manusia dalam pengembaraannya selama hidup. Sedangkan, ilmu adalah alat atau medium yang digunakan manusia untuk melihat implementasi tujuan yang ada di depan.

Pada momentum yang lebih serius, kolaborasi antara pelbagai pengetahuan (data) yang telah diasumsikan oleh manusia sebagai suatu yang haq, akan menjadi sebuah peneguhan yang independen terhadap sesuatu hal. Apabila proses ini berhasil, maka lahirlah ilmu yang telah distrukturisasi secara tertib dan dapat digunakan lebih lanjut.

Namun, kita menyadari bahwa ada segmentasi yang membedakan makna haq dalam bahasa Arab, dengan “hak” dalam bahasa Indonesia. Haq dalam bahasa Arab cenderung memvalidasi suatu perkara bahwa di dalamnya mengandung kebenaran. Sedangkan, “hak” dalam bahasa Indonesia, maupun “rights” dalam bahasa Inggris, dimaknai sebagai suatu kepemilikan dan kewenangan yang dimiliki masing-masing orang.

Diferensiasi ini sebenarnya tidak begitu bermasalah, karena pengakuan terhadap kewenangan masing-masing orang dalam hidupnya, adalah upaya bijak dalam mengusung kemanusiaan yang utuh, utamanya dalam kebebasan mencari pengetahuan bahkan kebenaran.

Selanjutnya, pengetahuan (data dan fakta) tidak akan menjadi objek yang hidup, jika ia tidak di-ilmu-kan. Misalnya, premis-premis mengenai data tentang kesejarahan suatu fenomena tertentu, tidak akan masuk dalam kalender sejarah, apabila tidak ditemukan korelasi antara premis tersebut dengan rangkaian fakta sejarah yang ada. Akan tetapi, banyak juga premis-premis baru yang muncul, bahkan menggantikan premis lama (nasakh-mansukh) setelah dilakukannya observasi keilmuan yang teratur.

Jadi, hubungan antara pengetahuan dan ilmu sebenarnya sangat erat dan tidak bisa dipisahkan. Namun, pengetahuan tidak akan lestari apabila tidak ada mesin keilmuan yang dapat mengolahnya. Sebaliknya, ilmu tidak akan bergerak secara dinamis, jika tidak ada data-data baru yang menunjangnya.

Pada tahap yang lebih dalam lagi, seseorang akan beranjak pada dimensi yang lebih khusus, dimensi ini dinamakan ma’rifat. Ma’rifat akan ditempati oleh seseorang apabila telah berhasil mengenali, memahami, dan menguasai komponen-komponen data serta keilmuan yang ia tekuni.

Posisi ma’rifat seyogyanya kita maknai dengan sebuah ruang pemahaman terhadap sifat-sifat yang dimiliki suatu entitas/objek tertentu yang menunjukkan karakternya. Sederhananya, kita misalkan dengan batuk/flu. Seorang dokter yang sudah memahami betul karakter dan sifat dari flu tersebut, akan sangat hafal bagaimana mengobati atau mendiagnosa saat menyuguhkan apa dan berapa lama obat yang akan dikonsumsi oleh pasiennya.

Sebagaimana dalam kata خلق yang berarti menciptakan, mempunyai idiom lanjut berupa أخلاق. Rangkaian ini menerangkan bahwa setiap yang diciptakan (مخلوق) dari Sang Pencipta (خالق) pasti disertai dengan sifat yang bersanding dengannya. Ma’rifat di sini diartikan dimensi yang sudah adanya kontak kesepahaman antara sifat hierarki dari suatu objek dengan manusia sebagai anugerah yang diberikan oleh Allah AWT.

Sekarang, penulis mengajak untuk mengarungi makna yang terkandung dalam istilah ilmu dan pegetahuan melalui kacamata Emha Ainun Nadjib. Dari artikel tersebut, kita bisa mengambil poin pokok bahwa ilmu dan pengetahuan layaknya data dengan software pada gawai. Data akan menjadi usang apabila tidak dikelola dengan baik oleh software, demikian juga software akan tidak berguna bila tidak ada data yang diolahnya.

Ilmu dan pengetahuan tidak akan lepas dari apa yang dinamakan dengan akal. Manusia dianugerahkan akal oleh Allah sebagai medium untuk memperoleh suatu hal. Jadi bisa dikatakan, akal menjadi salah satu komponen sebelum memeroleh pengetahuan/informasi. Konsep dasar akal itu sendiri dapat membedakan serta memilah yang benar dan salah. Sebagaimana fungsi al-Quran adalah al-Furqan.

تَبٰرَكَ الَّذِيْ نَزَّلَ الْفُرْقَانَ عَلٰى عَبْدِهٖ لِيَكُوْنَ لِلْعٰلَمِيْنَ نَذِيْرًا ۙ

Artinya: “Mahasuci Allah yang telah menurunkan Furqan (Al-Qur’an) kepada hamba-Nya (Muhammad), agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam (jin dan manusia)” (Q.S. al Furqan 25:1).

Dimensi akal hadir untuk melangkah ke dalam dimensi lain, yakni di luar diri manusia. Perpindahan dimensi ini membutuhkan upaya yang lebih untuk dapat membuka gap yang memisahkan antara diri manusia dengan dunia luar. Sejatinya, peralihan tersebut bisa dijembatani dengan sarana yang kuat dan kompeten. Sarana inilah, secara sederhana, dapat ditarik dalam dua kategori umum, yakni murni dengan menggunakan sains (akal) atau agama (iman).

Modal yang dibutuhkan apabila seseorang memilih sains sebagai sarananya adalah kumpulan premis-premis yang sudah diketahui olehnya. Namun sebaliknya, modal yang digunakan bagi orang yang memilih jalan agama adalah dengan premis-premis yang belum diketahuinya.

Misalnya, pembahasan tentang permulaan awal terjadinya alam semesta. Para Saintis mengemukakan banyak hipotesis yang mewakili argumentasinya mengenai permulaan alam semesta. Mulai dari teori Big Bang oleh Kosmolog asal Belgia, Abbe Georges Lemaitre (1927); teori Keadaan Tetap oleh para ilmuwan Cambridge pada tahun 1948; teori Nebula oleh Emanuel Swedenborg (1734) yang disempurnakan oleh Immanuel Kant (1775); dan teori Bintang Kembar oleh R.A. Lyttleton pada tahun 1930-an. Mereka mendasarkan asumsinya pada premis-premis (pengetahuan/data) yang ia temui melalui observasi keilmuan seperti astronomi dan kosmologi.

Lain halnya dengan sarana agama (dalam hal ini adalah agama Islam). Orang-orang yang menjadikan modal agama sebagai bentuk untuk menyikapi penciptaan alam semesta, akan cenderung yakin (iman) terhadap narasi-narasi yang telah termaktub dalam otoritas teks, yakni al-Quran dan Hadis.

Hasil yang lahir dari observasi sains akan memunculkan prediksi-prediksi yang bersifat educated. Educated di sini kita maknai dengan yang terukur, berdasar, dan dapat dipertanggungjawabkan. Dalam agama, prediksi ini dilabeli dengan sebuah istilah yakni الظن. Akan tetapi, الظن yang mempunyai dalil untuk bisa dibenarkan. Pada sarana agama pun, terdapat istilah qath’iy dan dzanniy. Yaitu, suatu premis yang sudah jelas teksnya (dalam literatur keagamaan pokok) dan premis yang hanya didasarkan melalui asumsi dan hipotesis mendalam (ijtihad).

Akan tetapi, banyak dijumpai premis-premis yang tidak bisa didapatkan sains dalam menjangkau pembahasan teologis tertentu. Ini menandakan bahwa kehadiran akal dengan begitu besar kemungkinan yang dapat ia gemingkan, tidak selalu bisa survive terhadap pembahasan yang di dalam agama bahkan sudah final dijelaskan secara gamblang.

Dalam hal ini, banyak pihak yang menilai bahwa agama tidak selaras dengan konsep logis manusia. Maka dari itu, agama sering diremehkan apabila terjadi diskonjungsi antara akal dengan narasi-narasi yang dilontarkan agama. Namun, perlu kita sadari, fakta itulah yang malah membuat agama dinilai sangat transendental dengan ke-Maha-an dari Tuhan.

Sebagaimana konsep khaliq dan makhluq, wewenang Tuhan dalam menciptakan keterbatasan manusia tidak bisa diganggu gugat oleh siapa pun. Adanya kenyataan akal tidak bisa menjangkau agama, merupakan sebuah bukti kebesaran-Nya. Jadi, fakta tersebut bukan menjadikan agama (kebesaran Tuhan) semakin dikucilkan, namun malah menjadikan agama sangat dijunjung tinggi.

Misalnya adalah tentang kebijaksanaan (wisdom) dan ketenangan. Dalam takaran ilmu, manusia bisa menggunakan psikologi untuk mempelajari dan menganalisa pola ketenangan yang bisa dicapai manusia. Namun, psikologi secara pasti tidak bisa menjamin dan memberi harapan ketenangan tersebut. Agama di sini hadir dengan konsep taqwa dan iman, dengan menyuguhkan dzikr dan wirid agar manusia dinaungi dengan ketenangan tersebut.

Selain itu, terdapat berbagai informasi (pengetahuan/data) yang tidak dapat ditelusuri melalui observasi sains, kita sebut saja konsep tentang malaikat. Mungkin sebagia besar orang meyakini adanya malaikat (angels dalam bahasa Inggris). Namun, informasi mengenai nama dan tugas dari para malaikat tentu hanya bisa diperoleh lewat agama.

Dari narasi agama, kita mengetahui bahwa Malaikat Jibril adalah malaikat penyampai wahyu; Malaikat Izroil adalah malaikat pencabut nyawa, dan lain sebagainya. Informasi tersebut tidak kita peroleh dari analisa sains di laboratorium, akan tetapi agama sudah secara tegas menyampaikan informasi tersebut dalam kitab suci.

Jadi, korelasi antara agama dan akal adalah medium komplementer yang diniscayakan untuk selalu bersama. Apabila ada dominasi besar antara salah satu dari keduanya, maka dikhawatirkan akan terlalu fanatik terhadap suatu hal, yang dapat menjerumuskan manusia dalam kejumudan dalam memperoleh suatu informasi. Bijaknya, kita dapat menempatkan akal sebagai sarana untuk mendekatkan dan mengenal lebih dalam mengenai kebesaran Tuhan.

Wallahu A’lam bi as Showaab.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan