Santri bersahaja adalah sebuah keniscayaan. Setidaknya pada masa saya nyantri di Pondok Pesantren Annuqayah dulu. Makan seadanya, beralaskan plastik, minum air sumur, dan tanpa lauk yang memadai adalah sebuah pemandangan yang biasa. Sekali lagi, ini pada masa saya sebagai santri. Entah kalau saat ini, eranya santri milenial. Tentu ada perubahan-perubahan ke arah yang lebih baik. Seperti menu masakan yang (mungkin) lebih diperhatikan dari aspek gizi.
Sebenarnya, santri bukan makan masakan yang tidak bergizi. Tetapi, tetap menikmati makanan sekalipun dengan menu seadanya. Mungkin karena menikmati (mensyukuri?) inilah kemudian lahir manusia-manusia cerdas dari pondok pesantren. Tidak sedikit produk pesantren yang berkiprah di dalam pemerintahan. Dari presiden, wakil presiden, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, hingga kepala desa pun ditempati oleh para santri. Hal ini menunjukkan bahwa dari pesantren yang bersahaja, lahir intelektual atau ilmuwan yang mumpuni di berbagai bidang.
Salah satu bentuk kesahajaan di pesantren adalah membuat sayur dari daun kelor. Hee, soal daun kelor, ada sebuah kisah yang cukup menggelitik. Sebut saja namanya Adi, teman sepondok saya. Pada suatu ketika ia membeli seikat daun kelor, yang pada saat itu harganya Rp 25 saja. Pada saat itu juga, uang seperak itu dapat dibelikan seikat daun kelor. Uang Rp 25 nyaris tak ada artinya saat ini. Sementara, di zaman saya nyantri, uang sebanyak itu cukup bernilai. Kalau sekarang sekitar Rp 1.000 sampai Rp 1.500 baru dapat seikat sayur kelor (Madura: maronggi).
“Beli dimana, Di?” Basa-basi saya bertanya. Biasanya kalau ada yang masak sayur, yang lain termasuk saya numpang nyicipi meski hanya sedikit.
“Di tempat biasanya, di depan kantor MA,” jawab Adi sambil celingak-celinguk.
“Oh, di tempat biasa,” gumam saya kepada entah.
Cari sana, cari sini, Adi tidak menemukan wadah untuk menaruh sayur kelor itu setelah dirontokkan dari tangkainya (dalam bahasa Madura, eporot). Akhirnya sajadah untuk salat pun dijadikan wadah. Setelah dirontokkan dan dimasukkan, sajadah tersebut dilipat. Sekilas seperti tidak ada sayur kelor di dalamnya. Kemudian, karena belum mau dimasak, sayur kelor di dalam sajadah itu diletakkan begitu saja di beranda pondok.
Setelah beberapa lama (sekitar satu atau satu setengah jam berikutnya), salat jamaah zuhur dilaksanakan. Bel penanda salat jamaah terdengar dari serambi masjid dekat pondok. Buru-buru kami bergegas menuju masjid. Tidak terkecuali Adi, teman sepondok saya itu. Dengan tergesa-gesa ia menyambar sajadah yang di dalamnya ada sayur kelor. Ia lupa, atau tidak sadar, bahwa ia menaruh sayur, yang dalam bahasa latin disebut moringa oleifera, itu di dalamnya. Sesampainya di masjid dihamparlah sajadah. Tentu Anda tahu apa yang terjadi?
Di antara sekian banyak santri itu, daun kelor itu bertebaran dari sajadah Adi. Tentu ia telihat pias. Malu setengah mati. Namun, Adi termasuk orang yang agak urakan juga. Sambil nyengir ia jumputi lagi sayur kelor yang berhamburan itu.
“Kalau tidak, bisa jadi tak makan sayur nanti,” ucapnya sambil memunguti serpihan sayur kelor. Teman-teman santri lainnya hanya bisa menahan gelak tawa melihat kejadian itu.
“Makanya, Di, kalau mau masak sayur jangan di masjid,” celetuk seorang santri yang entah siapa.
Terpaksa si Adi jadi makmum masbuk. Ia harus menyimpan dulu sayur kelor yang terbawa ke masjid. Meski demikian, Adi tetap semangat (khusyu) ikut salat. Dalam hati (mungkin), ia bergumam, “Setelah salat, aku akan masak sayur dan makan besar.”
Saya dengan Adi berasal dari desa berbeda meskipun masih bertetangga (jauh). Sesekali masih bisa berkomunikasi dengannya lewat WA. Ia akan tertawa geli (ngalekkek) kalau diingatkan tentang kejadian itu. Ya, begitulah sebagian kenangan waktu di pesantren. Tak lekang oleh panas dan tak lapuk oleh hujan. Selalu menari dan berdansa di ruang ingatan.