Istilah ghasab sudah tidak asing lagi di kalangan santri. Bahkan, perkara ghasab-mengghasab ini bisa dibilang telah menjadi pemandangan sehari-hari. Mirip dengan mencuri, istilah ghasab berarti menggunakan atau memakai barang orang lain tanpa seizing empunya. Berbeda dengan mencuri, pada ghasab tak ada niatan untuk memiliki atau menguasai barang orang lain. Jika sudah selesai mengambil atau menggunakannya, barang tersebut akan dikembalikan lagi.
Beragang barang yang biasa di-ghasab di lingkungan pesantren, seperti perkakas makanan, properti santri semisal sandal, sajadah, atau lainnya, dan lain-lain.
Apakah para santri yang tinggal di lingkungan pesantren tidak tahu hukumnya ghasab? Biasanya tahu, tapi ghasab mungkin sulit dihindari. Sekadar mengingatkan, berikut gambaran hukum ghasab.
Istulah ghasab berasal dari Bahasa Arab, yang artinya mengambil sesuatu secara zalim dan terang-terangan, akan tetapi tidak diketahui oleh pemiliknya. Ini berbeda dengan mencuri (sariqoh), mengambil barang orang dengan cara diam-diam. Atau, juga berbeda dengan merampok yang mengambil barang dengan jalan permusuhan dan kekerasan (muharobah).
Perkara ghasab ini pun sudah dijelaskan di beberapa ayat al-Quran maupun hadits, dan sudah di-ijma oleh beberapa ulama ahli fikih. Ijma ulama menegaskan bahwa ghasab hukumnya haram, seperti halnya mencuri dan merampok.
Allah berfirman dalam surat An-Nisa ayat 29, yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil.”
Dari ayat tersebut, Allah dengan jelas memberi peringatan kepada kita dengan kata “janganlah” yang bersifat larangan, dan kata larangan yang berada di dalam al-Quran merujuk pada kata haram. Adapun, syaratnya untuk bisa menjadi haram yaitu, mengambil dengan jalan yang batil. Dengan kata lain, mengambil suatu benda tanpa seizin pemiliknya, sehinga pemiliknya merasa dirugikan dan terzalimi
Rasulullah juga pernah menyinggung perihal ghasab dalam sabdanya: “Harta seorang muslim tidak halal bagi siapa pun kecuali seizin pemiliknya.” (HR Ahmad). Hadits lain menyebutkan, “Sungguh daging yang tumbuh dari barang haram tidak akan masuk surga, neraka lebih pantas untuknya.” ( HR Ahmad, at-Tirmidzi dan selainnya)
Dari dua hadits tersebut sudah sangat jelas bahwa barang ataupun makanan yang berasal dari hasil ghasab akan menjadi haram, dan barang siapa yang tumbuh dari hasil barang tersebut tidak pernah masuk surga, bahkan neraka lebih cocok untuknya.
Ada sebuah kisah yang diceritakan oleh KH Helmy Abdul Mubin LC, pimpinan Pondok Pesantren Ummul Quro Al-Islami, bahwa dahulu kala ada seorang pengembara yang mengambil sedikit serpihan kayu milik orang lain tanpa izin dari pemiliknya untuk dijadikan sebagai tusukan gigi. Setelah ia selesai memakai serpihan kayu tersebut, dikembalikanlah serpihan kayu itu ke tempat asalnya. Namun, setelah pengembara tersebut meninggal, dia pun tidak bisa memasuki surga dikarenakan sang pemilik kayu tersebut tidak meridainya.
Dari kisah tersebut kita tahu bahwa sang pengembara hanya meminjam sebentar serpihan kayu seseorang dalam waktu yang sebentar, lalu dia mengembalikannya ke tempat semula. Akan tetapi, karena pemiliknya tidak meridai hal tersebut, akhirnya sang pengembara tersebut tidak bisa memasuki surga.
Lalu, bagaimana jika baru tersadar bahwa ada beberapa barang milik kita yang berupa hasil ghasab? Jika itu berupa barang, maka hendaknya mengembalikan barang tersebut kepada pemiliknya dan meminta maaf kepadanya. Namun, jika barang yang di-ghasab sudah usang atau bahkan rusak, maka wajib mengganti barang tersebut dengan yang baru dan meminta maaf kepada pemiliknya. Apabila barang yang di-ghasab berupa makanan, maka wajib meminta rida kepada pemiliknya dan mengganti makanan yang telah dimakan tanpa izin tersebut.
Maka dari itu, kita jangan pernah menyepelekan masalah ghasab karena akibatnya sangatlah fatal.