Santri, Songkok, dan Identitasnya*

Santrè Latee sè ta’ asongko’an, ta’ èakoa tang santrè” demikian yang al-maghfûr lahu KH Ahmad Basyir AS sampaikan di hadapan santri Pondok Pesantrem Annuqayah Latee, Sumenep, Jawa Timur. Artinya kurang lebih begini:  “Santri Latee yang tidak memakai songkok, tidak akan Saya akui sebagai santri.

KH Ahmad Basyir AS.

Tidak hanya sekali hal itu disampaikan di hadapan santri. Pada masa awal saya di pesantren, antara tahun 2013-2015, Kiai Basyir sering menyampaikan perkataan tersebut, tak terkecuali saat menjelang liburan pesantren. Hal tersebut membuat para santri, demikian pula saya yang masih duduk di jenjang madrasah tsanawiyah, “ketakutan”.

https://www.instagram.com/jejaringduniasantri/

Selayaknya hubungan santri dengan kiai, hal yang paling ditakuti seorang santri adalah tidak mendapat rida guru dan tidak dianggap sebagai santrinya. Ketakutan inilah yang menjadikan para santri Latee kala itu lebih awas dan berhati-hati. Salah satu sikap seorang santri adalah melaksanakan dawuh tersebut: memakai songkok di manapun ia berada.

Songkok dan Identitas: Pemahaman yang (masih) Polos

Selama kurun waktu lebih dari satu dekade, sejak menjejakkan kaki pertama kali di pesantren pada tahun 2013 sampai dengan meninggalkan pesantren pada pertengahan tahun 2024, saya hanya memaknai dâbu (perkataan) Kiai Basyir tersebut secara harfiah.

Artinya, saya pribadi masih mengartikan songkok sebagai salah satu atribut santri yang harus melekat kemana pun serta kapan pun saya berada. Apalagi di luar area pesantren. Alasannya sama. Saya takut tidak dianggap atau bahkan tidak diakui sebagai santri Latee.

Tentu masih banyak dawuhnya yang menandaskan tentang “kesantrian”, seperti menggunakan bahasa Madura halus/sopan kepada orang tua atau orang yang lebih sepuh, berusaha kerasan di pesantren, rajin membaca Al-Qur’an dan salat jamaah, rajin sekolah diniah, berperilaku selaras dengan syariat, dan lainnya.

Namun kenapa yang menjadi sorotan saya pribadi justru atribut? Mengapa bukan dawuh (perintah) krusial lainnya?!

Jawaban sederhana saya adalah, songkok sudah menjadi tradisi baik di pesantren, meskipun bukan termasuk dari ajaran agama. Namun kenapa sebuah atribut dapat “mengubah” suatu hubungan antara guru dengan murid? Karena ia mencerminkan suatu tatakrama (akhlak) dalam domain pesantren.

Saya tidak ingin berbicara soal, ketika ditanya, model songkok yang seperti apa yang mencerminkan tatakrama agar seseorang dianggap sudah mencapai kriteria berakhlak. Atau bahkan, bertanya, ukuran songkok yang sesuai dengan akhlak. Itu kembali kepada tolok ukur pantas/tidaknya.

Status atau Identitas

Santri bukan status, tapi identitas.” Demikian dâbu KH M Ainul Yaqin, salah seorang putra al-maghfûr lahu Kiai Basyir. Santri adalah identitas. Ia melekat pada pribadi dan karakter, bahkan jiwa. Menjadi santri adalah selamanya, pun ketika sudah tiada. Ia bukan siklus yang berlaku pada suatu masa, menurut situasi dan kondisinya, akan berubah.

Demikian pula dengan songkok. Ia telah menjadi suatu identitas yang melekat pada seorang santri Annuqayah Latee. Namun apakah songkok yang saya maksud adalah sebagai sebuah atribut? Barang tentu bukan. Ia sebagai “identitas”. Hal ini saya mulai sadari di saat melaksanakan salat tarawih pada Ramadan kemarin bersama dengan beberapa alumni Annuqayah yang berada di Yogyakarta.

Pada suatu rakaat, dâbu Kiai Basyir (Santre Latee se ta’ asongko’an, ta’ eakoa tang santre) terlintas di pikiran. Usai salat tarawih dan witir, saya terus termenung dan berusaha memaknai ulang atas perkataan tersebut. Sampai muncul konklusi di otak saya, bahwa songkok yang dimaksud adalah kepribadian dan karakter sosok santri sejati.

Dekonstruksi ini lahir tatkala saya mendapati beberapa teman alumni pada saat bermuamalah dan bahkan ketika melaksanakan ibadah salat tidak bersikap laiknya seorang santri, sementara mereka tengah mengenakan songkok. Dari sini saya menyadari bahwa songkok itu bukan atribut belaka. Ia sekaligus mencerminkan karakter santri.

Ternyata, selama lebih dari satu dekade saya sudah “salah” memahami dawuh itu. Jika saya tetap ngotot untuk memahaminya secara harfiah, maka pemahamannya akan sangat problematik. Dalam arti bahwa suatu atribut selamanya tidak akan menunjukkan sebuah jati diri; identitas.

Karenanya perlu pemaknaan yang lebih selaras dengan realitas. Dan “songkok” yang saya pahami dari maksud Kiai Basyir adalah sebuah identitas seorang santri Annuqayah Latee. Artinya, di manapun saya berada, dalam kondisi apapun, saya harus bersikap sebagaimana seorang santri yang diimpikan oleh sang Kiai.

Jika ditarik pada suatu keterangan hadis, kita dapat menarasikan makna tersebut dengan sabda Nabi Muhammad yang menyatakan bahwa Allah tidak melihat rupa dan harta kita, akan tetapi melihat (menilai) dari hati dan cara kita beramal. Atau dalam Al-Qur’an, kita kaitkan dengan firman Allah bahwa paling mulia ialah mereka yang paling bertakwa.

Dari narasi dua asas Islam ini, dapat dipahami dan disadari jikalau apa yang zahir belum tentu menunjukkan sisi batinnya. Persis dengan yang terjadi pada pengalaman pribadi di atas. Dalam konteks ini, songkok tidak selamanya mencerminkan sosok santri sejati. Ia bisa saja hanya atribut yang secara formalitas atau kebetulan dipakai dan menjadi tradisi.

Namun saya tidak mengatakan atau bahkan melegalkan bahwa santri, terlebih santri atau alumni Latee, tidak masalah kalau tidak mengenakan songkok. Hal ini kembali kepada tradisi baik kita dulu di pesantren dan bagaimana menyikapinya secara personal namun penuh sadar.

Maka adalah benar nasihat KH Abd. A’la, putra al-maghfûr lahu Kiai Basyir, tatkala saya nyabis untuk pamit melanjutkan pendidikan di Yogyakarta, “Sènga’ jé’ loppaè ba’an santrèna Kiai Ahmad Basyir (Jangan sampai lupa, kamu ini santri Kiai Ahmad Basyir).”

Dari sini, pemahaman saya akan “songkok” menjadi lebih luas. Songkok bukan hanya atribut yang dipakai di kepala, melainkan ia adalah identitas yang selalu melekat pada diri seorang santri. Dari sini pula saya menyadari bahwa seorang guru tidak akan pernah memutus hubungan dengan santrinya. Kecuali santrinya yang, secara sadar atau tidak sadar, memutus sendiri hubungannya dengan sang guru. Wa allâhu a’lam.

Semoga kita dapat meneladani para Masyayikh dan diakui sebagai santrinya. Amin.

*Judul ini adalah adaptasi dari catatan kecil saya di Instagram pribadi dengan tajuk “Songkok: Identitas”, yang kemudian diperluas dan diperdalam lagi.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan