Belum lama ini, beredar di media sosial potongan dari video Ferry Irwandi yang mengatakan, jurusan filsafat harusnya dihapus. Di satu sisi, alasannya karena dunia hari ini, tidak lagi membutuhkan cara kerja filsafat yang hanya mendaras pada asumsi. Sedang di lain sisi, karena cara kerja sains khususnya teknologi sudah cukup memberikan bukti yang empiris dan meyakinkan.
Memang, ini bukan pernyataan dari menteri pendidikan. Namun, perlu kiranya kita refleksikan, agar filsafat yang kerap dianggap sebagai disiplin ilmu yang bisa dijalankan tanpa eksperimen atau observasi langsung, dan lebih fokus pada pemikiran spekulatif dan argumentasi rasional masih relevan untuk terus dipelajari. Karena hal ini tidak berarti bahwa filsafat bisa mengajukan pernyataan tanpa dasar. Setiap tesis filosofis harus dibangun di atas argumen yang masuk akal dan premis yang bisa diuji. Inti dari filsafat sebenarnya terletak pada kemampuan untuk menyusun—mempertahankan argumen rasional yang sistematis, koheren, dan universal.

Ironisnya, seruan untuk menghapus jurusan filsafat justru datang di tengah zaman yang—secara paradoks—semakin memerlukan daya berpikir reflektif. Dalam dunia yang dibanjiri informasi, logika dan kemampuan bernalar adalah semacam perahu penyelamat. Di sinilah letak kegunaan mendalam dari filsafat: bukan sebagai pengganti data atau teknologi, tetapi sebagai landasan untuk memahami, menafsirkan, bahkan mempertanyakan arah dari penggunaan teknologi itu sendiri.
Pernyataan Ferry Irwandi, jika ditarik lebih jauh, mengasumsikan bahwa dunia hanya memerlukan bukti-bukti empiris—apa yang terlihat, terdengar, dan bisa diukur. Tetapi bukankah krisis-krisis terbesar manusia hari ini justru lahir bukan karena kekurangan data, melainkan karena kebingungan dalam menafsirkan data? Kita punya algoritma yang bisa memprediksi keinginan manusia, tetapi tidak ada kesepakatan etis tentang bagaimana algoritma itu digunakan. Filsafat justru menjadi penting ketika dunia terlalu percaya pada efisiensi, tetapi kehilangan orientasi tentang nilai.
Perlu kita sadari, bahwa krisis terbesar bangsa ini adalah krisis penalaran. Karena kemampuan bernalar bukanlah kemewahan intelektual, melainkan kebutuhan dasar dalam masyarakat demokratis. Ia mengkritik keras budaya yang mengagungkan hafalan di atas pemahaman, dogma di atas dialog. Dan justru di sinilah filsafat memainkan peran vital: ia melatih orang untuk tidak mudah percaya, untuk mempertanyakan, dan untuk membangun keyakinan melalui proses rasional, bukan hanya warisan budaya atau otoritas semata.