Pepatah kuno nan klise, “roda itu berputar”, terjadi pula pada dunia Islam. Dunia Islam pernah mencapai kemajuan yang spektakuler dan memimpin peradaban dunia pada abad pertengahan. Lalu perlahan mengalami kemunduran , dan kemudian sekarang tertinggal jauh dari kemajuan dunia Barat. Apa sebab?
Selama ini ada dua teori domiman yang digunakan untuk menjelaskan kenapa dunia Islam mengalami kemunduran. Yang pertama adalah teori esensialis. Teori ini ingin menjelaskan bahwa inti ajaran yang dibawa Islam memang tidak cocok dengan perkembangan zaman. Karena itu dunia Islam selalu terbelakang.
Yang kedua adalah teori pascakolonial atau antikolonial. Teori ini ingin menjelaskan bahwa ketertinggalan atau keterbelakangan yang dialami dunia Islam disebabkan oleh kolonisasi dan eksploitasi dunia Barat.
Ahmet T Kuru, melalui buku Islam, Otoritarianisme, dan Ketertinggalan ini membantah dua teori tersebut. Melalui riset yang mendalam dengan menggunakan studi komparasi historis, Kuru sampai pada kesimpulan bahwa menyebut inti ajaran yang dibawa Islam tidak cocok dengan perkembangan zaman adalah tidak seluruhnya benar.
Sebab, sejarah mencatat dunia Islam pernah mengalami kemajuan tak tertandingi di bidang ilmu pengetahuan, ekonomi, dan kemiliteran selama berabad-abad pada masa pertengahan, sekitar tahun 800 hingga 1099 Masehi. Menurut tesis Kuru, ini membuktikan bahwa ajaran yang dibawa Islam justru mendorong kemajuan.
Di sisi lain, Kuru juga sampai pada kesimpulan bahwa menyebut kemunduran dan kehancuran dunia Islam disebabkan oleh kolonialisme dan eksploitasi dunia Barat juga tak seluruhnya benar. Sebab, ketika negara-negara Barat mulai menjamah negara-negara Muslim sekitar abad ke-19, atau paling dini abad ke-17 atau ke-18, sejatinya dunia Islam memang sudah mengalami kemunduran. Dunia Islam telah lama mengalami krisis politik dan sosioekonomi, dan kehadiran kolonialisme Barat hanya memanfaatkan keadaan.
Melalui riset dan studi komparasi historis akhirnya Kuru menemukan jawabannya sendiri. Persekutuan kaum agamawan dengan penguasa dan peminggiran kaum intelektual dan kaum pedagang (pelaku ekonomi) dianggap sebagai biang kerok kemunduran dunia Islam.
Dalam riset yang meneropong sejarah Islam di wilayah yang sekarang disebut kawasan Timur Tengah, Afrika Utara, Asia Tengah, Iberia Muslim, dan anak benua India, Kuru menemukan bukti bahwa kemajuan dunia Islam pada abad pertengahan didorong oleh relasi antara kaum intelektual dengan para pedagang yang disebutnya sebagai borjuis independen.
Kedua kelas inilah, dengan independensinya, memainkan peran penting sebagai penggerak kemajuan dunia Islam di bidang ilmu pengetahuan dan ekonomi. Kedua kelas ini, menurut temuan Kuru, saling bahu-membahu. Di zaman itu, sudah menjadi tradisi, para saudagar Muslim membiayai kegiatan para intelektual Muslim atau kaum ulama. Dari sana, lahirlah sarjana-sarjana Muslim terkemuka di berbagai disiplin keilmuan.
Pada awal sejarah Islam ini, Kuru mencatat, para sarjana memperoleh kemerdekaan berpikir yang sebenar-benarnya dan memperoleh dukungan dari para saudagar kaya, tanpa adanya intervensi dari para penguasa. Kebebasan berpikir dinikmati tidak saja oleh sarjana Muslin Sunni, tapi juga kaum Syiah, bahkan orang-orang berlainan agama seperti Kristen, Yahudi, bahkan kaum agnostik.
Bidang | Supremasi Muslim | Perkembangan Setara | Supremasi Barat |
Filsafat dan Ilmu Alam. | Sekitar 800 hingga 1198 (dari ilmuwan Baghdad sampai meninggalnya Ibnu Rusyd). | 1198 hingga sekitar 1610 (sampai Galileo dan Kepler). | Sekitar 1610 hingga sekarang. |
Ekonomi. | Sekitar 697 hingga 1252 (dari koin emas Umayyah sampai koin emas pertama di Eropa Barat). | 1252 hingga akitar 1820 (sampai Revolusi Industri [sekitar 1750 untuk supremasi ekonomi Belanda dan Inggris]). | Sekitar 1820 hingga sekarang. |
Militer. | 711 hingga 1085/1099 (dari penaklukan Toledo oleh Muslim hingga Reconquista Toledo/Penaklukan Yerussalem oleh Tentara Salib. | 1085/1099 hingga 1764/1774 (sampai pertempuran Buxar [Inggris mengalahkan Mughal dan sekutu-sekutunya/Perjanjian Kyutsukaynardzhi [antara Osmani dan Rusia]). | 1764/1774 hingga sekarang. |
Tapi sayangnya itu tak berlangsung lama. Mulai abad ke-11, relasi kelas dan struktur dunia Islam perlahan berubah. Pada masa akhir kekhalifahan Abbasiyah di Baghdad, yang dilemahkan oleh kebangkitan dan ancaman dari negara-negara Syiah di Afrika Utara, Mesir, Suriah, dan bahkan di Irak sendiri, otoritas politik mulai mengonsolidasikan kekuatan dan kekuasaan dengan “mengkooptasi” kaum ulama (agamawan).
Dari sinilah bibit lahirnya persekutuan ulama dengan penguasa dan menyingkirkan peran kelas intelektual (pemikir independen) dan para saudagar. Persekutuan atau persekongkolan ulama dengan penguasa, atau dalam konteks kelembagaan disebut agama dengan negara, ini akhirnya menyudahi kebebasan berpikir para sarjana Muslim. Pintu ijtihad telah ditutup.
Model persekutuan ulama dengan penguasa, peleburan agama dengan negara, seperti ini terus berlanjut hingga abad-abad berikutnya, hingga sampai abad ke-14 muncul di Seljuk, Andalusia, Mesir, Suriah, dan Mamluk. Model ini ternyata justru memperlemah dunia Islam hingga muncul invasi Tentara Salib dan Mongol. Sampai abad ke-16, dunia Islam terus melakukan konsolidasi kekuatan dan kekuasaan dengan membentuk tiga imperium militer: Osmani Sunni, Shafawi Syiah, Mughal (nonsectarian).
Tapi konsolidasi itu tak mampu mengangkat kembali elan vital dan dinamisme intelektual dunia Islam. Sementara, di saat yang sama, negara-negara Eropa Barat mulai mengalami kemajuan intelektual dan ilmu pengetahuan yang signifikan. Dengan keunggulannya itulah, Barat kemudian menguasai dunia Islam.
Berdasarkan temuannya tersebut, Kuru akhirnya memberikan rekomendasi, jika ingin bangkit kembali, mengejar ketertinggalan, dunia Islam harus membangun sistem yang kompetitif dan meritokratis. Mereformasi struktur sosioekonomi dan politiknya, untuk membuka pintu kembali bagi hadirnya kaum intelektual yang kreatif dan para pelaku ekonomi yang independen. Harus dibangun sistem kelembagaan yang menjamin kebebasan berpikir bagi kaum intelektual atau sarjana Muslim.
Sayangnya, buku setebal 486 halaman ini tidak atau belum memasukkan Indonesia ke dalam studinya. Namun, dalam pengantarnya untuk edisi Indonesia, Kuru yang merupakan guru besar ilmu politik di San Diego University ini memberi catatan khusus untuk kasus Inddonesia. Lantaran rentang waktu antara Islamisasi di Nusantara dan kehadiran kolonialisme sangat pendek, maka belum sempat terbangun model relasi ulama-penguasa/agama-negara seperti halnya di kawasaan Timur Tengah atau Afrika.
Ia juga memberi catatan, sebelum kolonialisme masuk, Islamisasi di Nusantara berjalan seiring dengan praktik kearifan lokal. Sementara, pascakolonialisme, referensi yang masuk adalah model Islam dari Timur Tengah. Karena itu, Kuru tertarik untuk membuat studi lanjutan untuk kasus-kasus Islamisasi di Indonesia dan negara-negara Asia Tengara.
Data Buku:
Judul : Islam, Otoritarianisme, dan Ketertinggalan
Penulis : Ahmet T Kuru
Penerbit : kepustakaan Populer Gramedia (KPG).
Cetakan : Desember 2020.
Isi : 486 Halaman.