Ia menghadapi hari-hari dengan ketakutan dan kelaparan. Tubuhnya kurus dan gemetar, terlebih saat ia dengar suara jerit mesin kayu, disusul tumbangnya pohon-pohon. Bulu-bulunya serabut dan kusam. Setiap waktu selalu ada yang rontok melayang diembus angin sebelum akhirnya jatuh mendekap tanah dan ia menatapnya dengan mata penuh kesedihan—mengingatkanya pada rumah idamannya yang berupa ranting rindang dari pohon-pohon yang kini selalu ditebang. Sepasang kakinya rapuh menapak batu; tampak kotor oleh sisa lumatan debu dari tanah yang ia pijak saat mencari makan.
Sebenarnya ingin sekali ia hinggap di ranting agar kakinya bersih seperti nenek moyangnya di masa lalu, tapi baginya ranting adalah sebuah kemewahan yang dalam mimpinya pun kini tak pernah ada. Paruhnya yang tirus dan nyaris pecah, baru sekali mematuk sebutir biji kendung di impitan batu cadas sebelum ia tertatih-tatih atau kadang terbang rendah dan lunglai, menyeberangi bentang tanah gersang hingga tiba di sisi seorang pengemis yang berteduh di tenda darurat yang terbuat dari terpal. Ia melihat ujung roti yang penuh sisa gigitan semut menyembul dari saku pengemis itu.
“Oh, betapa enaknya,” ia menelan ludahnya sendiri. Mulai berusaha beranjak sedikit mendekat dengan sekali kepak sayapnya yang lemah. Menjulur-julurkan paruh sambil mengeluarkan suara yang sudah terdesak serak.
Si pengemis menoleh ke arahnya. Ia merasa antara aneh dan terhibur. Terbersit dalam hatinya untuk membawanya pulang dan memeliharanya, tapi kemudian ia berubah pikiran. Ia bangkit, memanggul karung, dan meninggalkan burung itu begitu saja setelah tangan kirinya menekan roti di sakunya itu hingga tak tampak.
Sebagaimana burung malang itu, si pengemis lantas melangkahkan kaki dengan sedikit tenaga yang tersisa karena sesiang itu ia hanya bisa mengunyah selembar kerupuk pemberian tukang becak yang tersisa dalam kemasan plastik sobek.
Burung kecil itu berbunyi dan melompat ke arah si pengemis sampai nyaris menyentuh tumitnya. Si pengemis menoleh ke bawah. Sepasang matanya beradu tatap dengan sepasang mata burung itu. Nganga paruhnya—yang sesekali melantunkan bunyi—sama keringnya dengan mulut si pengemis itu.