Sejarah Panjang Pesantren Al-Arfiyyah Mojoduwur

10,870 views

Di Desa Mojoduwur, Kecamatan Ngetos, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur, berdiri Pondok Pesantren Al-Arfiyyah yang saat ini dipimpin oleh Kiai Ahmad Ibnu Su’ud Faishol. Lokasinya kurang lebih 3 km sebelah selatan Pasar Berbek atau kurang lebih 10 km dari kota Nganjuk.

Nama Al-Arfiyyah sendiri diambil dari nama pendirinya, yaitu Kiai Arfiyyah, yang berasal dari Lasem, Rembang, Jawa Tengah. Nasab Mbah Arfiyah sampai ke Joko Tingkir hingga Syekh Maulana Ishak. Tepaynya, Mbah Arfiyah bin Kiai Djumalim bin Kiai Abdurrahman (Kiai Sambu)-Pangeran Benawa-Djoko Tingkir-Ki Ageng Pengging-Maulana Iskak. Mbah Arfiyah dulunya mondok di Sewulan, Madiun, lalu diambil menantu oleh Kiai Santri. Kiai Santri sendiri adalah menantu dari Kiai Basyariyah Sewulan.

Advertisements

Setelah menikah, Kiai Arfiyyah kurang disukai oleh ipar-iparnya karena wujud fisiknya yang dianggap kurang rupawan dibandingkan dengan ipar dan menantu Kiai Basyariyah yang lain. Bahkan, istrinya sendiri malu untuk mengakui Kiai Arfiyyah sebagai suaminya. Karena itu, selama menjadi menantu Kiai Basyriyah, Mbah Arfiyah tidak tidur di rumah mertuanya, tetapi membuat tempat sendiri di tengah pekarangan (membuat gubuk), dan hal itu berlangsung sampai empat tahun.

Karena merasa ditolak oleh istri dan selalu diancam akan dibunuh oleh ipar-iparnya, maka Kiai Arfiyyah meninggalkan Sewulan, pergi menuju ke arah timur. Perjalanan itu baru berhenti setelah sampai di Kuncir. Setelah tinggal beberapa saat di Kuncir, kemudian menuju Mojoduwur. Di sanalah Mbah Arfiyyah melakukan babat alas, tempat yang kini dikenal sebagai Desa Mojoduwur. Di tengah hutan itu, Mbah Arfiyyah membuka lahan untuk mendirikan masjid. Dinamakan Mojoduwur karena pada saat Kiai Arfiyyah melakukan babat alas, di sana ada tumbuhan (pohon) Mojo yang tinggi (duwur dalam bahasa Jawa)

Setelah lama tidak kembali ke Sewulan, Kiai Basyariyah menyuruh 60 santrinya untuk mencari tempat tinggal Kiai Arfiyyah serta sekaligus mengajaknya pulang ke Sewulan. Ternyata, mereka menemukan Mbah Arfiyyah di Mojoduwur, namun mereka tidak berhasil membawanya pulang ke Sewulan. Tak tinggal diam, berikutnya Kiai Basyariyah kembali memerintah 100 santrinya untuk membujuk Mbah Arfiyyah agar mau ikut pulang ke Sewulan. Sama saja, usaha kedua ini ternyata juga tidak membuahkan hasil.

Malahan, ke-160 santri Kiai Basyariyah justru ikut mondok dan nyantri (menjadi santri) di Mojoduwur. Mendengar berita itu, istri Mbah Arfiyyah pun ikut menyusul ke Desa Mojoduwur dan menetap. Mereka kemudian memiliki 5 orang putri dan 1 orang putra yang dikenal sebagai Kiai Arfiyyah Tsani. Karena nama putri beliau tidak diketahui, maka hanya nama suami mereka saja yang tertulis di sini sebagai berikut.

  1. Nyai Mansyur Sani (Tulungagung)
  2. Nyai Tasmin (Mberu-Nganjuk)
  3. Nyai Salimin (Bendungrejo-Berbek)
  4. Nyai Fakturrohman (Poleng-Mojoduwur)
  5. Nyai Abdulloh (Jombang)
  6. Kyai Arfiyah Tsani (Mojoduwur)

dalam cerita selanjutnya, Kiai Salimin yang merupakan menantu ketiga dari Mbah Arfiyyah mempunyai menantu Kiai Ali Imron. Cucu dari Mbah Arfiyyah itu kelak mendirikan Pondok Mojosari. Sementara, pendiri dari Pondok Mangunsari, yaitu Kiai Imam Bakhri, adalah santri dari Pondok Mojosari. Dinamakan Mangunsari karena beliau dilahirkan di Mangunan dan pernah mondok di Mojosari. Jadi, sebenarnya, pondok-pondok besar yang ada di Nganjuk itu masih ada hubungan dengan Pondok Pesantren Al-Arfiyyah Mojoduwur.

Masjid Mojoduwur Al-Arfiyyah

Masjid Al Arfiyyah di Mojoduwur dibangun pada 1726 oleh Mbah Arfiyyah. Mula-mula terdiri dari bangunan induk dan serambi seluas 220 meter persegi, beratap sirap dengan pola atap tumpang. Namun, masjid ini sekarang mengalami perubahan dan perbaikan. Masjid direnovasi tahun 1924, dengan menambahkan serambi selebar 5 meter. Pada 1926, cagak atau tiang ditinggikan, dan pada 1983 membuat gandok untuk jamaah putri. Pada 1984, lantai masjid diganti yang masih berfungsi sampai sekarang. Tak lama kemudian, ditambahkan serambi seluas 3 meter dengan lantai keramik. Pada 1985, masjid diikutkan lomba masjid tingkat kabupaten Nganjuk dan mendapatkan juara 1.

Tahun 1987 Pondok Pesantren Al-Arfiyyah diresmikan oleh Bupati Ibnu Salam. Lalu pada tahun 1999 dibangun pondok 4 lantai. Waktu pengerjaannya hanya memakan kurang lebih 8 bulan. Pada tahun 2000, masjid direnovasi, yaitu dibuat bangunan dua lantai (ditingkat) serta cagak (tiang) ditinggikan lagi.

Pesantren Al-Arfiyyah

Dikisahkan, Kiai Ahmad Zaini saat itu masih mondok di Pesantren Tasiagung, Rembang saat berusia 15 tahun. Sebelmunya, ia juga sudah nyantri di Kediri selama lima tahun. Saat sedang sambang rumah di Mojoduwur pada 1969, Kiai Ahmad Zaini diperintah untuk bermukim oleh Mbah Kiai Mundzir yang kebetulan sedang ziarah ke makam Kiai Arfiyyah. Mbah Mundzir memerintahkan kepada Kiai Ahmad Zaini untuk menetap di Mojoduwur dan menyampaikan ilmunya di Mojoduwur. Sejak saat itu, Kiai Ahmad tidak kembali lagi ke Rembang dan menetap di Mojoduwur, padahal semua barang-barangnya masih berada di Rembang.

Kiai Ahmad Zaini diberi wasiat oleh kedua orang tuanya untuk membuat sumur dan meneruskan menembok bagian barat kamar mandi sampai makam Mbah Kiai Arfiyyah. Pada saat itu, banyak masyarakat yang tidak suka dengan prestasi Kiai Ahmad Zaini. Ada sebuah kejadian, waktu itu semua material bangunan yang akan digunakan untuk membangun kamar mandi pondok dibersihkan oleh masyarakat yang alasannya akan ada bupati yang datang ke Mojoduwur, padahal Bupati itu tidak datang. Banyak masyarakat yang tidak suka, seperti kiai desa setempat, pamong desa, dan masyarakat setempat karena khawatir kedudukannya akan tergeser.

Karena tidak kuat dengan perlakuan masyarakat terhadapnya, pada awal1972 Kiai Ahmad Zaini memutuskan untuk meninggalkan Mojoduwur. Ia berkenalan untuk berziarah dari makam ke makam. Bersilaturahmi dari satu kiai ke kiai yang lain untuk meminta petunjuk. Ia juga banyak menghabiskan waktunya di Sewulan, Madiun.

Dari sekian banyak kiai yang didatangi Kiai Ahmad Zaini, mereka banyak yang mengatakan bahwa Kiai Ahmad Zaini lebih bermanfaat di Mojoduwur. Setelah 3-6 bulan meninggalkan Mojoduwur, beliau akhirnya memutuskan untuk kembali ke Mojoduwur. Kemudian mulai ada satu-dua anak yang mendekat ke pesantren dan akhirnya dengan telaten Kiai Ahmad Zaini menularkan ilmunya kepada mereka.

Pada 1986 mulai ada santri mondok dari luar daerah (santri putra). Lalu, pada 1994, ada santri puti yang mondok dari luar daerah. Puncak keemasan Pondok Al-Arfiyyah adalah pada tahun 1999, ada 200 santri yang mondok di sana. Pada 13 November 2001, Kiai Ahmad Zaini wafat. Dan santri di Pondok Pesantren Al-Arfiyyah muali berkurang sedikit demi sedikit. Sampai sekarang, hanya tersisa sekitar 40-50 orang santri. Sampai meninggalnya pun, Kiai Ahmad Zaini tidak pernah menjadi imam salat, tidak pernah berkhutbah, tidak pernah mengisi pengajian. Beliau juga tidak menikah sampai tutup usia, sehingga beliau tidak mempunyai keturunan.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan