Tubuh perempuan selalu mengalami kontestasi bagi pihak-pihak di luar dirinya. Ada bagian tertentu yang dibidik dari perebutan wacana tubuh perempuan, yaitu soal kepatuhan dan kepasrahan. Pihak laki-laki merupakan tertuduh utama dalam bias eros patriarkalnya. Selalu merasa memiliki hak untuk menilai bentuk tubuh perempuan. Laki-laki seolah memiliki kekuasaan untuk mengintervensi standar nilai pada tubuh perempuan. Dalam budaya patriarki, posisi perempuan dan tubuhnya selalu ditempatkan dalam posisi subordinat.
Ada sejarah panjang yang menunjukkan bahwa tubuh perempuan selalu dilekatkan dalam hubungan tubuh sosial sebagai penjamin kesuburan dan semua bentuk kewajiban yang datang dari keluarga. Jadi tubuh perempuan tidak bisa lepas dari tanggung jawab keturunan (biologis) dan moral (psikologis) manusia.
Agama Islam memandang tubuh perempuan sebagai sesuatu yang memiliki rahim. Perempuan diidentifikasi sebagai pembawa atau pencipta kehidupan. Sedangkan dalam sifat rahim (kasih saying) akan diaktualisasikan dalam bentuk rahim di dalam tubuhnya. Demikian yang menjadikan dasar bentuk cinta ibu (perempuan) yang dianggap lebih besar daripada cinta bapak (laki-laki) kepada anaknya.
Islam mengajarkan untuk selalu menghormati perempuan sebagai manusia yang utuh seperti halnya laki-laki. Dalam agama, perbedaan laki-laki dan perempuan hanyalah pada tingkatan spiritualitas (ibadah). Namun seringkali terjadi ketimpangan gender dalam peran dan status sosial. Sedangkan dalam ranah seksualitas, Al-Quran menjelaskan urusan seksualitas hanya boleh dilakukan melalui lembaga pernikahan. Hubungan seksual yang dilakukan di luar pernikahan dianggap zina dan diancam dosa besar.
Dalam ranah budaya, perempuan diposisikan sebagai objek eksploitasi laki-laki. Menempatkan perempuan dalam posisi kelas bawah urusan dapur (penyedia makanan), kasur (pelayan seks), sumur (pencuci pakaian dan perabotan). Konsensus sosial budaya masih melekatkan stereotype (penjulukan) kepada perempuan atau istri sebagai ‘penumpang’ kemuliaan laki-laki atau suami.
Tubuh perempuan disorot dan diregulasikan dalam kancah paling esensial dari laku hidup manusia, melalui penertiban perilaku, pakaian, dan segmen-segmen hidup yang lain. Penjajahan terhadap pandangan seksualitas perempuan terus dinarasikan oleh media dan tokoh-tokoh rezim seksualitas. Agama dan budaya dijadikan aturan mengikat untuk membungkam konstruksi kultural perempuan.
keren