Selawat Bocah Tunanetra

92 views

Saat anak-anak seusianya bisa menulis, membaca, dan menghafal nama-nama nabi dan malaikat beserta tugas-tugasnya, Ipang hanya tahu dari hasil menguping bahwa huruf yang lurus itu bernama Alif dan yang seperti sampan bertitik satu di bawahnya itu adalah Ba’.

Itulah sebabnya setiap kali hendak pergi mengemis, ia tak lupa menyambangi jendela surau Kiai Amir untuk sekadar mendengar apa yang diajarkan Kiai Amir kepada santri-santrinya. Bentuk huruf yang ia dengar itu sesekali ia coba tulis dengan jari telunjuknya pada kaca jendela surau yang sedikit berdebu. Lantas ia tersenyum meski tak melihat huruf yang ia tulis itu.

Advertisements

Lahir sebagai tunanetra, membuat Ipang belajar mencari jalan terang di balik kegelapan yang abadi dengan bantuan sebatang tongkat. Pagi hari, saat anak-anak seusianya pergi ke sekolah dengan cakap-canda-tawa yang ceria, ia hanya bisa berpapasan, menghirup tubuh mereka yang wangi, mendengar obrolan mereka yang bahagia, seraya mencoba menerka beberapa kata yang diperbincangkan mereka seperti pizza, game, sepeda baru, tamasya, dan beberapa hal lain yang bagi Ipang tidak pernah ia temui dalam hidupnya. Dan selebihnya, tak jarang ia menerima ejekan dari anak-anak itu dengan sebutan yang menyakitkan, membuat kedua matanya yang tertutup rapat mengalirkan butiran bening.

Mulki, seorang bos anak jalanan mengambil Ipang dari orangtuanya secara paksa ketika ia berumur tujuh tahun lantaran kedua orang tuanya tak bisa membayar utang kepada Mulki. Sejak saat itu, ia disuruh mengemis atau kadang memulung sampah. Jika sudah menyetor hasil mengemis atau hasil memulung sampah, barulah Mulki memberinya nasi. Tapi jika ia pulang dengan tangan hampa atau dengan perolehan yang sedikit, Mulki akan memarahi bahkan kadang memukulnya hingga menangis, dan upahnya cuma sebungkus kerupuk yang harus dimakan dengan tiga buah cabai pedas tanpa sisa.

Peristiwa demi peristiwa yang mencambuk dirinya nyaris membuat Ipang putus asa. Beberapa kali ia berpikir untuk mengakhiri hidupnya dengan cara yang lembut, tapi ia teringat Kiai Amir dan seseorang bernama Nabi Muhammad yang sering ia ceritakan kepada santrinya sebagai orang mulia, rendah hati, sabar, dan tegar menghadapi cobaan.

Halaman: First 1 2 3 ... Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan