Senja telah tiba, tapi aku enggan beranjak dari tempat ini. Aku suka berlama-lama di sini, setelah sekian lama terlempar oleh jarak dan waktu sehingga membuatku merindu. Gubuk sederhana yang terletak di pinggir sawah ini membuatku bisa menikmati indahnya suasana senja, meski pikiranku terus saja ber-ostalgia. Udaranya sejuk, sesekali angin sepoi-sepoi menerpa wajah.
Aku melihat luasnya hamparan padi yang mulai menguning. Burung-burung mengudara dengan bebas di bawah bentangan langit yang ditemani oleh kilauan cahaya dari sinar-sinar terakhir mentari sore hari.
Sebenarnya dulu persawahan ini mengitari kompleks Pondok Pesantren al-Hikmah, tempatku menuntut ilmu dulu. Pemilik dari sawah ini Kiai Shabirin, pengasuh Pondok Pesantren al-Hikmah. Namun, setelah aku membalikkan badan, kini yang tampak adalah bangunan tinggi nan kokoh yang sesekali menguarkan suara bergemerisik. Bising. Ya, kini bukan lagi pesantren yang ada di situ, melainkan pabrik beras yang menjadi roda perputaran ekonomi. Masjid tempat kami dulu mengaji berubah menjadi lima kandang sapi, sedangkan dalem Kiai Shabirin berubah menjadi tempat penggilingan padi.
Aku masih ingat saat sawah ini masih dalam pangkuan pesantren. Semua santri bekerja secara suka rela. Biasanya aku menggarapnya saat senja tiba, serta diselingi permainan yang menyenangkan karena hanya waktu itulah kegiatan pesantren senggang.
Setelah musim panen tiba, Kiai tidak mengambil sepeser pun dari hasil penjualan. Sebagian dialokasikan ke dapur untuk keperluan makan santri dan sisanya disedekahkan pada yang membutuhkan.
Pesantren al-Hikmah adalah tempat menimba ilmu khusus untuk anak yang tidak mampu. Entah karena yatim, piatu, atau memang terlahir dengan finansial yang serba kekurangan. Oleh karena itu, santrinya tidak terlalu banyak. Sekitar seratus santri yang menetap, sedangkan yang lainnya datang, lalu pulang.
Mataku kembali menatap retina nostalgia pada masa lima tahun yang lalu, saat aku dan para santri lainnya berjalan di tengah pematang sawah saat senja tiba. Banyak hal yang kami lakukan, termasuk menggerakkan orang-orangan sawah agar burung terbang mengudara, saat sebagian hamparan telah menguning, mendekati masa panen.
Baru setelah matahari hampir terbenam, kami memutuskan untuk pulang, berjalan beriringan dengan hati-hati di tepi sawah karena takut terpeleset. Kami akan duduk dan tertawa terpingkal-pingkal saat salah satu dari kami jatuh terpeleset ke lumpur. Sungguh hari-hari yang menyenangkan.
Aku segera tersadar dari lamunanku dan mulai menyalahkan takdir tentang apa yang sudah terjadi pada pesantrenku. Aku sendiri tidak mengerti mengapa semua itu terjadi begitu tiba-tiba, saat aku mulai menyukai senja bersama bayangan teman-temanku yang memantul di genangan air persawahan.
Sorot mataku terus mengarah ke depan. Pikiranku mencoba mengais dan merangkai puing-puing kisah yang terjadi di masa lalu. Saat semuanya mengubur dalam-dalam hiruk-pikuk Pesantren al-Hikmah menjadi pabrik beras terbesar di kota ini.
***
Waktu itu…
Kiai Adnan kondisinya kian parah. Beliau tidur di pangkuan anak sulungnya, Gus Shabirin. Sedangkan putra pertamanya, Gus Abduh, sedang berada di Yogyakarta. Kedua putra putra beliau memiliki perbedaan yang mencolok. Gus Shabirin lebih memilih mengabdi untuk pesantren karena sedari lulus dari mondok sudah mulai membantu abahnya mengajar ilmu agama. Beda halnya dengan Gus Abduh yang memilih jalur formal dalam menempuh pendidikannya. Kini ia sedang mengejar magisternya di Universitas Gajah Mada, sambil terus mengembangkan organisasinya.
Perbedaan usianya tidak terpaut jauh. Gus Abduh kini menginjak usia 24 tahun, selisih tiga tahun di atas Gus Shabirin; mungkin kesamaan antara keduanya adalah mereka piatu. Ya, Ibu Nyai telah tiada sepuluh tahun silam karena terjangkit penyakit leukimia.
***
“Bagaimana dengan bagianku.” Suaranya cepat, nadanya agak meninggi.
“Kakak tidak menjenguk abah waktu sakit, pemakaman pun tidak sudi datang. Sekarang malah nanya warisan.”
“Jangan banyak omong. Bilang saja aku dapat berapa bagian.” Ketus. Terdengar ngotot di telinga.
“Kakak hanya dapat sawah bagian timur, selainnya masih kepunyaan pesantren.”
Klekk… telepon itu ditutup.
Percakapan berakhir. Rasa iri telah hadir dan mungkin segera berubah menjadi kebencian yang luar biasa!
Pertalian persaudaraan mereka berdua memburuk. Kiai Adnan yang meninggal beberapa hari sebelumnya menyebabkan keretakan hubungan antarsaudara semakin menjadi-jadi. Pasalnya, Gus Abduh tidak puas dengan hasil pembagian warisan. Sawah berhektare-hektare itu malah sebagian besar milik pesantren yang kini dipangku adik kandungnya itu. Padahal, dia butuh dana lebih untuk membesarkan organisasinya itu. Baginya organisasi adalah segalanya.
Nun jauh di sana, Gus Abduh mencoba mengingat masa kecilnya. Memang benar, dia-lah yang sering disalahkan saat adiknya terjatuh waktu bermain bersamanya. Selalu dia yang dituduh menjadi kambing hitam, sedangkan Shabirin selalu dibela abahnya. Dan sekarang, ia malah mendapat bagian sekidit dari warisan. Ia merasa dianatirikan.
***
Senja itu Kiai Shabirin berjalan bersama seluruh santrinya menuju sawah. Mereka berjalan dengan wajah berseri-seri karena acara yang ditunggu-tunggu akan segera mulai. Bukan memanen yang akan mereka lakukan, tapi permainan pukul jerami antar-santri. Biasanya permainan ini hanya dilaksanakan sepekan sekali, tepatnya pada setiap Senin sore.
Permainan akan mulai di kala senja mulai tiba, untuk menjadi penghibur di sela-sela padatnya kegiatan. Satu per satu dari santri berkesempatan untuk menunjukkan kebolehannya.
Batang padi ditumpuk menjadi gundukan, serta jerami diikat untuk dijadikan senjata pukulan. Siapa yang roboh dialah yang kalah. Sedangkan, di sekitarnya terdapat lumpur tanah.
Kiai Shabirin bersorak memberi semangat. Para santri tak kalah hebohnya. Semua saling meneriakkan nama yang mereka dukung. Itu adalah laga terlama di sore itu. Dengan bermandikan keringat, kedua santri itu layaknya seorang petarung, sesekali memukulkan jerami dengan tangan kanan dan menangkis dengan tangan kiri. Mereka berusaha menjatuhkan satu sama lain. Teman di asrama, tapi musuh di arena. Hingga salah seorang terpeleset dari gundukan batang padi dan terjerembab ke lumpur. Sontak semua tertawa terpingkal-pingkal melihat wajah yang hitam legam terkena lumpur. Kiai Shabirin sendiri tertawa sambil menutup wajahnya dengan surban yang selalu terpasang di lehernya.
Mereka bergegas pulang saat senja hampir tiada. Mereka merasa senang dan terus berharap dapat lebih lama menikmati suasana senja. Esok, lusa, dan seterusnya!
***
Waktu itu masih pukul 15:30. Semua santri larut dalam lantunan wirid salat ashar yang dipimpin oleh Kiai Shabirin sendiri di masjid pesantren. Semuanya khusyuk mengharap Tuhan memberikan takdir terbaiknya.
Aku tidak sabar menunggu lantunan wirid cepat selesai, sebab senja ini giliranku beradu ketangkasan di atas gundukan batang padi. Aku berharap lawanku tidak terlalu kuat, agar aku bisa dengan mudah menyingkirkannya.
Saat Beliau mengangkat kedua tangannya untuk berdoa, terdengar teriakan massa dari luar masjid. Sontak aku menoleh ke belakang. Terlihat olehku sekumpulan orang memegang beraneka ragam benda keras di tangan mereka.
“Bukankah itu Gus Abduh? Sebenarnya apa yang beliau lakukan?” batinku.
Gus Abduh tampak berdiri menghadap kerumunan orang di depan masjid.
“Saya telah mendapat ketidakadilan di dalam pembagian warisan. Sekarang ini memang banyak kaum feodal yang bersembunyi di balik topeng agama. Termasuk si Shabirin. Sebenarnya dia ingin menjadi tuan tanah yang kaya raya dengan memanfaatkan pesantrennya itu.” Gus Abduh teriak berapi-api.
Gerombolan itu ikut berteriak.
“Singkirkan kiai munafik! Singkirkan pengkhianat tali persaudaraan.” Gerombolan itu mulai mengepalkan tinju ke udara.
Aku, juga para santri lain, dibuat bingung dengan kejadian itu. Aku tidak mengerti apa yang Gus Abduh bicarakan. Bukankah lebih baik kalau beliau berpidato masalah agama, sebagaimana Kiai Shabirin. Sepertinya ujaran kebencian yang beliau ucapkan. Ada apa ini?
Kiai Shabirin yang mengetahui itu segera menghampiri kakaknya, tak sempat sampai, beliau langsung dibekuk kedua tangannya oleh dua orang yang tak kukenal. Mungkin teman dari Gus Abduh. Kami tidak bisa berbuat apa-apa karena gerombolan itu akan mengacungkan balok kayu, saat kami melangkah maju.
“Apa-apaan ini kak? “ beliau berusaha memberontak sekuat tenaga, tapi sia-sia.
“Itu hukuman karena kau telah menghasut Abah. Kau sengaja mengambil hati Abah, supaya dapat menguasai ladang.” Sahutnya dengan disambung gelak tawa.
Hatiku merasa terbakar saat melihat Kiai Shabirin digelandang ke ladang sawah, layaknya binatang. Massa Gus Abduh membawa beliau ke gudang penyimpanan padi. Beliau didorong hingga terjerembab masuk ke gudang, lalu pintu dikunci.
Mataku terbelalak saat melihat mereka melumuri gudang itu dengan bensin. Aku menerka tentang apa yang akan terjadi. Dan benar saja, tak lama kemudian api yang cukup besar membumbung tinggi. Banyak santri yang menjerit. Sedangkan diriku hanya bisa terdiam, melihat dengan tatapan nanar. Hingga tak sadar kalau pipiku sudah basah oleh air mata.
Tidak akan ada lagi kebahagiaan saat senja tiba. Yang ada hanya kesedihan dan kenangan karena kini senja telah sudi menjadi waktu eksekusi bagi orang yang kami hormati.