Sepintas Gegar Budaya dan Ihwal Kecanggungan Berbahasa

238 kali dibaca

Teringat kembali, sekitar pertengahan tahun 2013, untuk pertama kalinya saya mendarat di Bandara Soekarno-Hatta. Dengan sebuah tas cangklong dan koper berukuran sedang, saya berjalan menuju terminal Damri untuk jadwal keberangkatan menuju Terminal Lebak Bulus. Tak berselang lama—setelah beberapa sopir taksi berupaya menawarkan jasanya, tetapi dengan halus saya tolak—sebuah bus dengan kaca depan bertuliskan Bandara—Lebak Bulus tiba, saya bergegas mencari tempat duduk yang kosong.

Sepanjang perjalanan, saya tidak henti melihat ke luar kaca. Ada dunia lain yang bekerja di luar sana. Sebagai ‘seorang udik’ yang datang dari pulau seberang, saya dibuat heran dengan banyak hal; jalan-jalan mulus bertingkat, gedung-gedung besar penuh cahaya, kemacetan yang seolah tak berujung, juga orang- orang di sekitar saya yang bercakap dengan ‘elu-gue’. Saya seperti berada dalam dunia rekaan yang ganjil, sebab semua hal yang saya alami, sebelumnya hanya dapat saya saksikan di televisi dan media sosial.

Advertisements

Kecanggungan semacam ini merupakan hal yang lumrah, saya tentu tidak sendiri. Para pendatang lain pun, terutama yang berasal dari daerah, pasti akan mengalami pengalaman serupa. Keudikan tersebut lambat laun menghilang seiring waktu. Tidak sebentar, perlu banyak penyesuaian memang, hingga pada akhirnya kita dapat menjadi bagian dari ‘masyarakat baru’ yang hidup dan berbaur di perkotaan.

Upaya adaptasi pun dilakukan, salah satunya dalam hal komunikasi. Sejak kecil hingga lulus pesantren, saya tidak pernah sekalipun diajarkan oleh orang tua atau para guru—karena kami terbiasa menggunakan bahasa Melayu Banjar—untuk menggunakan kata ganti ‘elu-gue’ dalam percakapan sehari-hari. Namun, semasa kuliah, pada akhirnya saya turut menggunakan kata ganti tersebut agar dapat lebih luwes dalam berinteraksi kepada sesama sejawat sehari-hari.

Bisa dibayangkan, jika saya bersikeras menggunakan kata ganti ‘saya’ atau ‘aku’ dalam pergaulan sehari-hari ketika berinteraksi dengan karib dekat. Terkesan formalistik dan berjarak, bahkan cenderung kaku. Anasir persahabatan yang memiliki kesan cair dan santai, seketika dapat menciptakan tembok tinggi.

Halaman: First 1 2 3 ... Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan