Sepotong Surga untuk Ibu

Aku tidak pernah menduga akan berada di tempat yang sunyi dari hiruk pikuk dunia,  sebagaimana pernah aku alami semenjak dulu bersama ayah dan ibuku di luar negeri. Entah karena faktor apa, tiba-tiba ibu menitipkanku kepada seorang lelaki ringkih di tempat ini. Tetapi, ketika kuperhatikan secara seksama, lelaki itu sangat kekar dengan prinsip ajaran-ajarannya. Lelaki itu seumpama akar  yang ingin menumbuhkan pohon, ranting, bunga, hingga buah yang berguna bagi masyarakat sekitarnya.

Di tempat ini, hiruk pikuk kusaksikan dari beberapa orang yang seringkali melantunkan suara itu. Tetapi, di tempat ini aku sangat dihargai sebagai manusia pada umumnya, karena aku terlahir sebagai manusia yang tidak sempurna. Kakiku buntung. Berjalan pun butuh pada bantuan orang lain. Untung, teman-temanku di sini sangat peduli. Berbeda ketika aku berada di luar negeri. Kurasakan di sini memang tidak pernah ada perbedaan antara yang kaya dan yang miskin. Aku merasakan sesuatu yang berbeda di sini. Aku sangat  berterimakasih kepada mereka yang  telah menerimaku di sini.

https://www.instagram.com/jejaringduniasantri/

Di tempat ini pula, semua orang sama-sama ingin memperoleh kebahagiaanya dengan cara yang berbeda-beda. Aku semakin percaya jika kebahagiaan itu relatif. Tuhan, semoga kelak tempat ini membawaku ke surga.

***

Aku juga merasa heran, mengapa semenjak aku menginjak tanah leluhurku, Indonesia, suara itu selalu kudengar dalam gendang telingaku, seakan memanggilku ke dalam kedamaian batin yang tak terhingga. Hatiku terketuk untuk selalu mendengarnya dengan seksama. Tak bisa kubahasakan peristiwa ini ke dalam ucapan kata-kata. Begitu indah. Hanya dada yang bisa merasakan kesyahduannya.

Aku tercengang melihat pemandangan ini. Pemandangan yang tidak pernah aku lihat sebelumnya, kecuali baru pertama kali di tempat ini. Aku mengikuti mereka yang berdiri memegang Al-Qur’an sembari memasang wajah kebingungan.

Lelaki ringkih itu berlalu dari hadapanku. Teman-teman yang ada di sampingku hanya diam, membelah, lalu membentuk barisan untuk jalan kepada lelaki itu. Sebagian yang lain merendahkan tubuh ketika lelaki itu lewat. Bagiku tempat ini begitu aneh. Orang-orangnya juga aneh.  Tetapi karena keanehan itulah aku selalu penasaran untuk terus tinggal di tempat ini. Aku berusaha betah di tempat ini dengan segala keanehannya.

Pengajian Al-Qur’an telah dimulai di langgar dhalem Kiai Ilyas. Santri-santri menghampirinya untuk setoran bacaan Al-Quran yang biasa dilaksanakan setelah berjamaah shubuh. Sementara, aku hanya mengikuti langkah mereka dari belakang, sembari menyimpan berbagai kecamuk yang bergemuruh dalam jantung.

Ya, langkahku seakan begitu gamang. Kulihat Daud, teman sekamarku, maju untuk membacakan Al-Qur’an di hadapan Kiai Ilyas. Suara Daud begitu merdu. Ia sangat lancar melafalkan ayat-ayat Al-Qur’an seumpama seekor burung kenari yang berkidung di pagi hari.

“Sekarang giliranmu, Ilham! Silakan dibaca!” dauh Kiai Ilyas kepadaku. Gemetar jantungku mendengar perintah Kiai Ilyas demikian.

“Saya tidak tahu membaca Al-Qur’an, Kiai,” jawabku terbata-bata. Aku menjawabnya dengan polos sembari menunduk. Raut wajah Kiai Ilyas sepertinya terkejut dengan jawabanku. Raut mukanya seakan menyimpan kecewa.

“Kamu sudah dewasa begini, masih tidak bisa membaca Al-Qur’an dengan baik, Ilham?” sindir Kiai Ilyas.

“Memang apa yang kamu lakukan di waktu muda, sampai-sampai kamu tak sempat sama sekali untuk belajar Al-Quran?” tanya Kiai Ilyas. Detak jantungku terus berdebar mendengarnya. Di lubuk sanubari paling dalam ada perasaan malu yang tiba-tiba mencuat ke permukaan.

“Sebelumnya, mohon maaf, Kiai. Sejak kecil, saya berada di luar negeri bersama ayah dan ibu, tetapi setelah ayah saya wafat, saya ikut ibu kembali ke negara Indonesia.” Aku mengadu seperti bayi yang masih tidak tahu apa-apa tentang agama.

“Dulu, nama saya bukan Ilham, Kiai. Tapi, William. Tetapi, ketika saya masuk Islam, nama William diubah menjadi Ilham oleh ibu saya,” aku mengadu terus terang kepada Kiai Ilyas. Kiai Ilyas adalah sosok yang disegani santrinya dengan kharisma yang ditebar dari segala sikap bijaksananya.

“Ya, terus kenapa kamu masuk pesantren ini?” tanya Kiai Ilyas.

“Saya ingin belajar lebih mendalam tentang agama Islam di Indonesia. Kata ibu saya, harus mondok dan masuk pesantren, Kiai.” lanjutku dengan jujur.

“Oh, ya. Kamu Daud, silakan kamu bimbing Ilham ini mengaji, kalau bisa sekalian bimbing agar dia bisa tahu baca kitab kuning atau kitab gundul itu,” perintah Kiai Ilyas kepada Daud yang berada di sampingku.

“Ya, Kiai,” jawab Daud dengan takzim.

“Silakan, kalian bisa bubar. Jangan lupa Daud, kamu ajari teman sekamarmu ini baca Al-Qur’an yang baik, sebab sebaik-baik kalian adalah orang yang belajar Al-Qur’an dan mengajarkannya,” Kiai Ilyas mewanti-wanti Daud untuk mengajariku belajar baca Al-Qur’an yang baik.

Pengajian Al-Qur’an baru saja selesai. Santri-santri berhamburan kembali ke bilik masing-masing. Di depan bilik, aku merenung tentang peristiwa yang kualami sedari tadi. Tiba-tiba Daud, teman sekamarku, menepuk pundakku dari belakang.

“Hei, kamu kenapa, Ilham?” tanya Daud padaku seraya merangkul badanku. Ia mengagetkanku.

Daud adalah salah satu tetanggaku di rumah yang dimondokkan oleh bapaknya lima tahun yang lalu ke pondok pesantren ini. Dia satu kamar denganku, dan dialah satu-satunya orang yang paling senior di kamarku. Lebih tepatnya, ia adalah ketua kamar. Aku dititipkan ibuku padanya, karena aku adalah santri baru di pesantren ini dan butuh banyak bimbingan dan adaptasi dengan lingkungan.

“Kamu tidak kerasan, Ilham?” tanya Daud melanjutkan.

“Tidak kok, Kak,” jawabku kikuk.

“Tapi, kenapa wajahmu seperti orang yang kebingungan bagitu tadi?” Daud memeriksa dengan sorot matanya.

“Anu, Kak. Aku tadi hanya heran saja, kenapa semua santri berdiri ketika Kiai Ilyas bubar dari pengajian tadi,” aku mengadu pada Daud dengan nada polos.

“Kamu tahu, takzim di hadapan kiai adalah tradisi pesantren. Di pesantren itu tidak hanya kepandaian dan kepintaran yang bisa diandalkan, tapi juga akhlak yang terpuji, karena nilai seseorang adalah akhlaknya,” jelas Daud padaku di depan bilik.

Suara azan magrib yang menggema menghentikan percakapanku dengan Daud. Senja merambat ke arah barat. Hari telah menjadi gelap. Sudah saatnya aku merangkai kebaikan dalam salat berjamaah magrib bersama Kiai Ilyas dan santri lainnya. Selalu saban waktu.

Aku percaya jika orang tua pasti menginginkan setiap anaknya menjadi orang yang sukses. Bagiku surga ada di mana-mana. Hanya, cara seseorang dalam memperoleh surga itulah yang kerapkali berbeda-beda. Aku sangat yakin jika semua orang berbeda-beda dalam memperoleh kebahagiaanya di dunia.

***

Sudah sembilan tahun aku berada di pesantren ini. Berbagai keanehan itu lenyap dalam pikiranku. Kini, aku tidak lagi menyimpan khawatir dan perasaan takut untuk mengaji kepada Kiai Ilyas. Berkat bimbingan Daud, aku sudah terbiasa mengaji kepada Kiai Ilyas seusai salat subuh.

Senang rasanya aku bisa melantunkan bacaan Al-Quran, seakan memberikan kedamaian yang tak terhingga. Aku berjanji pada diriku sendiri, saat liburan nanti aku akan mengaji di hadapan ibuku. Pasti dia akan senang mendengar anaknya bisa mengaji dengan baik. Senyum yang kurindukan dari bibir ranumnya.

Matahari mengumbar sinarnya ke hadapan dunia yang mulai fana. Aku hanya duduk di depan bilik sembari berdiskusi panjang lebar tentang kitab gundul. Sebab, targetku tidak muluk-muluk berada di pesantren ini; aku hanya ingin membahagiakan ibuku dengan pengetahuanku dalam mengaji Al-Quran, menulis tulisan Arab yang baik, dan bisa memahami makna kitab gundul.

“Hanya itu ciri khas pesantren yang bisa dipertahankan hingga zaman modern ini. Tradisi tentang dunia literasi, memuliakan kiai, dan berbagai kebiasaan seperti salat berjamaah yang senantiasa dilaksanakan saban waktu,” kata Daud pagi itu.

Suara Daud terhenti ketika terdengar suara lain yang mengagetkan. “Panggilan, saudara Ilham di blok F/11, dikunjungi keluarganya.” Suara itu begitu nyaring terdengar dari posko kunjungan.

Aku terkejut. Sebab, semenjak ayah meninggal, ibu sudah bekerja sebagai pelacur ke luar negeri untuk mencukupi kebutuhanku di pesantren. Ibu tidak mungkin mengunjungi di pesantren yang jauh berada di pelosok desa ini. Paling-paling, ibuku hanya bisa mentransfer uangnya lewat ATM atau sesekali menelpon setiap satu bulan sekali. Aku menduga barangkali paman yang berkunjung. Aku bergegas ke posko kunjungan untuk menemuinya.

“Ilham, kamu harus pulang dulu! Ibumu datang dari luar negeri,” ucap paman menatapku. Aku hanya heran saja. Tidak biasanya ibu pulang tanpa memberitahuku terlebih dahulu. Hatiku senang bercampur rasa penasaran yang menggelora. Aku pamit kepada pengurus pondok bersama paman ke kantor pesantren.

***

Aku kembali merasakan aneh dengan suasana ini. Orang-orang berlalu lalang di depan rumahku. Air mataku kini mulai menggenang dalam kelopak mata. Aku menganggap suasana ini lebih aneh lagi ketimbang di pesantren. Mereka hanya bisa menatapku dengan tatapan sendu. Tiba-tiba bibiku menghambur memelukku dengan suara tangis yang histeris.

“Ibumu, Ilham…! Ibumu…! ia telah terbujur kaku meninggalkan kita!” seru bibi seraya memelukku.

Aku hanya bisa bungkam, seakan hidup sudah tidak bisa dikendalikan. Aku terus berjalan mendekati jenazah ibuku yang berbaring di atas keranda. Air mataku terus mengucur dari kelopaknya. Kusaksikan orang-orang membacakan tahlil untuk ibuku. Dengan terengah-engah, aku terus melangkah mendekati jenazah ibu.

***

“Tabahkan hatimu, Ilham. Jangan hanya bisa menangis, bacalah Al-Qur’an agar jiwamu tenang dan hatimu tentram,” Kiai Ilyas datang dalam mimpiku malam itu.

“Sebab ketika orang meninggal dunia, maka akan terputus segala amalnya kecuali tiga perkara: amal jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang senantiasa mendoakan kedua orang tuanya,“ terngiang dauh Kiai Ilyas saat dulu mengisi pengajian di pesantren.

Semenjak peristiwa itu, selalu kulantunkan bacaan Al-Quran setiap Jumat pagi di depan makam ibu. Dan pada hari itu pula, kulihat raut wajah ibu seakan-akan tersenyum mengembang di angkasa.

Sumber ilustrasi: pngtree.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan