Barokah merupakah istilah yang tidak asing di telinga umat Islam, terlebih di kalangan santri dan dunia pesantren. Bahkan, perihal barokah bisa menjadi spirit perjuangan dan pengabdian tersendiri bagi kalangan santri untuk berkhidmah kepada sang panutan, kiai.
Sebagai bagian dari tradisi yang masih hidup di pesantren, barokah bukanlah hal yang rasional, sebab ranahnya berada dalam “zona spiritual”. Orang yang bisa merasakan adanya barokah adalah orang yang sudah mencapai babakan spiritual yang tidak diragukan lagi, sehingga ia akan penuh keyakinan dan keteguhan hati yang kokoh saat menjalankan misi khidmah kepada siapa pun, bahkan apa pun, termasuk khidmah kepada agama dan negara.
Barokah dapat diraih melalui berbagai media, baik benda maupun sosok orang. Yang pertama, yakni barokah melalui benda, tidak jauh dari barokah dari sosok tertentu. Misalnya, barokah tongkat yang pernah dipakai Rasul, habaib, auliya, sampai kiai. Bukan bendanya yang sakti, tapi karena pantulan nilai spiritual yang terpancar dari sosok manusia yang memiliki religiusitas tingkat tinggi, sehingga nur dari spiritual sosok tersebut membekas pada setiap benda atau apa pun yang pernah dipakai, disentuh, atau pun yang lainnya.
Karena itu, bagi para pencari barokah atau berkah, jika tidak disertai dengan pemahaman ilmu syariat yang lurus bisa terjerumus pada pengkultusan pada sesuatu atau benda yang dianggap mengandung barokah. Dan, khawatirnya, akan terjerumus dalam budaya jahiliyah, berupa perilaku syirik. Sebab, barokah itu bukan cahaya, tapi pantulan cahaya. Dan yang benar-benar mampu “menyinari” cahaya hanya Allah.
Banyak sekali praktek ngalap barokah di zaman Rasulullah oleh para Sahabat, terutama ngalap terhadap sosok Nabi dan sesuatu yang berkaitan dengan Nabi. Banyak sekali riwayat yang menceritakan adanya beberapa sahabat Nabi ngalap barokah dengan rambut Nabi, tongkat Nabi, baju Nabi, air bekas wudlu Nabi, bahkan sampai air ludah Nabi sebagaimana terekam dalam kitab Subulul Huda war Rosyad fi Siroti Khoiril Ibad pada juz 10, halaman 38, sebagai berikut:
وروى البخاري عن المسور بن مخرمة رضي الله عنهما قال: فو الله ما تنخم رسول الله صلى الله عليه وسلم نخامة إلا وقعت في كف رجل منهم، فدلك بها وجهه وجلده، وإذا توضأ كادوا يقتتلون على وضوئه.
Artinya: Bahwasannya berdasarkan rekaman riwayat yang disampaikan Imam al-Bukhari bersumber pada Miswar bin Markhamah, bahwasannya ia bercerita: Demi Allah, Rasulullah tidak pernah berdahak (meludah) melainkan jatuh di telapak tangan seseorang dari kalangan sahabat Nabi (karena berebut air ludah rasulullah) kemudian meratakannya ke wajah dan kulit mereka danapabila Rasulullah berwudlu mereka saling berebut sisa air wudlu Rasululah”.
Di antara barokah yang sangat kental di kalangan kita adalah meminum sisa air minum kiai. Biasanya, saat “sandi” penutup pengajian Wallohu a’lam bis-Showab terucap dari lisan kiai, para santri bergegas dan bersiaga berebut sisa minum kiai saat ngaji. Akan menjadi momen berharga saat berhasil mendapat sisa air minum tersebut, dan merupakan kebahagiaan tersendiri bagi santri jika dapat mendapat seteguk sisa minum tersebut. Fenomena demikian bukan hal yang baru apalagi hal tabu, tapi merupakan tradisi yang terus berlalu dari waktu ke waktu, bahkan dari generasi ke generasi. Bahkan fenomena tersebut merupakan warisan turun temurun dari generasi Sahabat Nabi.
Kejadian tersebut direkam oleh Imam al-Bukhari hadits nomor 82, juz 1 halaman 27, sebagai berikut:
حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ عُفَيْرٍ قَالَ: حَدَّثَنِي اللَّيْثُ، قَالَ: حَدَّثَنِي عُقَيْلٌ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ حَمْزَةَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، أَنَّ ابْنَ عُمَرَ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «بَيْنَا أَنَا نَائِمٌ، أُتِيتُ بِقَدَحِ لَبَنٍ، فَشَرِبْتُ حَتَّى إِنِّي لَأَرَى الرِّيَّ يَخْرُجُ فِي أَظْفَارِي، ثُمَّ أَعْطَيْتُ فَضْلِي عُمَرَ بْنَ الخَطَّابِ» قَالُوا: فَمَا أَوَّلْتَهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: «العِلْمَ»
Artinya: Bahwasannya Sahabat Ibnu Umar r.a. bercerita, bahwa Rasulullah bersabda: “Ketika saya tidur, saya diberi gelas cangkir berisikan air susu. Kemudian saya meminumnya sehingga saya melihat aliran yang mengalir di sela-sela jemari saya, kemudian saya berikan kelebihan air susu tersebut kepada Umar bin Khattab,” seketika Sahabat bertanya, “Lantas, apa takwilan Anda terhadap mimpi Anda tersebut wahai Rasulullah.” “Takwilan saya adalah ilmu,” jawab Rasulullah.
Dari riwayat tersebut, diketahui ternyata sudah bukan rahasia umum, bahwa banyak sekali reformasi, rekonstruksi, dan pembaharuan yang dilakukan oleh Sahabat Umar bin Khattab baik dalam sistem birokrasi pemerintahan maupun sendi-sendi ilmu agama. Bahkan, banyak sekali konsep pemikiran Umr bin Khattab yang menjadi referensi ijtihad oleh para imam Mujtahid. Hal ini mengingat bahwa warisan berupa ilmu nubuwwah yang terpancar dari Rasulullah berdasarkan mimpi tersebut kepada sahabat Umar.
Seperti mengambil Qiyas Khofi daripada Qiyas Jaly yang dikemukakan Imam Abu Hanifah dalam konsep Istihsan, saat sahabat Umar “menanggalkan” hukum potong tangan terhadap pencuri di masa paceklik. Meski konsep Istihsan ditentang oleh Imam as-Syafi’iy dalam maqolahnya:
من استحسن فقد شرَّع
Tidak hanya itu, dalam Ulumul Quran, terdapat konsep “Muwafaqot” atau “Muwafaqot Umar”, yaitu perkataan dan pemikiran Umar bin Khattab yang langsung disetujui dan dibenarkan oleh Allah dalam ayat suci al-Quran. Dan banyak sekali praktik keilmuan yang dicatat sejarah tentang Sahabat Umar bin Khattab.
Di bidang birokrasi negara, Umar berinisiatif membuat pos untuk pengiriman surat sehingga tidak membutuhkan waktu yang begitu lama. Umar juga membentuk departemen pengawasan terhadap pasar sehingga tidak ada kecurangan di pasar dalam timbangan dan takaran, termasuk pengawasan terhadap harga. Untuk persoalan pertanahan, didirikan pula departemen perwakafan dan pertanahan, dan Umar berhasil mencetak mata uang negara. Dan masih banyak pula beberapa kemajuan yang begitu signifikan yang merupakan buah dari ijtihad Umar.
Dari sinilah tradisi meminum sisa air minum guru menjadi begitu sangat gencar dan menjadi momen epik bagi santri guna ngalap barokah dari sang guru. Dalam kaitannya tentang barokah, sisa air minum merupakan bentuk tafa’ul serta pengambilan dan pentransferan barokah ilmu dari sang guru kepada murid.
Barokah semacam ini banyak sekali dipraktikkan di kalangan pesantren maupun yang lainnya, bahkan tidak hanya antara guru ke murid, terkadang juga antar-habaib dengan habaib, kiai dengan kiai, syaikh dengan syaikh. Selain untuk menunjukkan rasa tawadlu’ satu sama lain, tradisi seperti ini juga untuk mendapat barokah ilmu satu sama lain.
والله أعلم بالصواب