Hidup di pesantren itu selalu penuh cerita. Ada kisah lucu, absurd, kadang bikin geleng-geleng, tapi justru itu yang bikin kangen. Salah satu tempat lahirnya cerita, selama pengalaman saya mondok, ada di kamar mandi. Lebih tepatnya, kamar mandi umum.
Di pondok saya, Pondok Pesantren Hubulo Gorontalo, asrama putra punya dua kamar mandi umum yang besar. Di dalamnya, ada bak air panjang bentuk huruf L. Fungsinya jelas: opsi darurat kalau nggak mau antre di kamar mandi privat.

Apalagi kalau bel sudah bunyi dua kali—tanda sebentar lagi bel panjang berbunyi. Di momen ini, antre di kamar mandi privat bukan opsi yang tepat. Ini sama saja seperti mengerjakan tugas di menit-menit akhir. Risiko, antara kelar atau tidak. Giliran kelar, hasilnya patut dipertanyakan.
Buat santri yang jadwalnya padat tapi tak mau terlambat, kamar mandi umum adalah penyelamat. Sekali masuk, tinggal pilih spot, siram air, beres. Karena kalau sampai terlambat sedikit aja, nama bisa nongol di daftar “mahkamah”—sidang internal pondok yang katanya lebih menegangkan daripada sidang skripsi.
Nah, di antara penghuni kamar mandi umum, ada kelompok unik yang kami sebut SMS. Bukan Short Message Service, tapi Santri Modal Sikat.
Sesuai namanya, modal mereka cuma satu: sikat gigi. Tak ada sabun. Sampo pun tak. Tapi entah bagaimana, tiap keluar dari kamar mandi mereka selalu kelihatan segar, wangi, dan percaya diri. Rahasianya? Cuma satu kalimat sakti: “Qolil yah” (sedikit yah).
Begitu masuk, SMS langsung memindai target—siapa yang bawa sabun dan sampo cair. Kalau sudah ketemu, mereka mulai mendekat pelan-pelan, senyum tipis, terus ngobrol basa-basi dulu. Semua dilakukan santai, seolah itu bagian dari budaya luhur pondok.
Kalau saya perhatikan, biasanya pelaku SMS adalah santri senior. Pas masih baru, orang tua pasti ingin anaknya betah, jadi peralatan mandi selalu lengkap, stok dan kiriman dari rumah intens. Tapi begitu masuk tahun kedua atau ketiga, kiriman mulai jarang, uang saku makin tipis.