STASIUN SULUK
tak seorang turun di stasiun sunyi
tak penyair menaiki kereta mati
kau tak mampu mengubah takdir
suara getir
dari gemuruh pertanyaan tiada akhir
dari derit rel-rel kereta yang berpisahan
memantul-mantul kegelisahan hidupmu
dari besi-besi berkarat kenyataan
ribuan jerit masa lalu beterbangan
dengan telanjang mengunjam hatimu
menjelma burung-burung salik
yang ditembaki waktu
dalam perjalanan tak usai
menuju stasiun tuhan
LAPAR TUHAN
aku lapar tuhan
orang-orang di kota mendustakan
di jalan-jalan pasar
mereka dagang kemelaratan
di tengah kota, di ingar-bingar nasib
matanya yang lapar tertancap sebutir sunyi
yang tumbuh merindukan kesia-siaan
dan kepada siapa akan memasrahkan jantung
kepada topeng dengan beribu raut murung?
di kota tuhan tatapan lebih bersemi dari bunga
semua menyiram hati seperti embun
sebagai rasa asing kenikmatan
dan seolah kau bangkit dari kubur
tanah yang terlupakan
yang selama ini digarapi rasa ikhlas
sedang waktu masih menunggu
buah-buah tuhan lepas dari langit
aku lapar tuhan
perempuan-perempuan di dekat rel kereta
menunggu kereta fana memasuki perutnya
mengenyangkan mimpinya yang dirusak dunia
; sebutir cinta yang jatuh di atas sepi
ketika tanganmu tiba-tiba mengiba doa
dan waktu yang hitam
menyerbu laparmu yang membara
tuhan, tuhan
SUBUH
subuh, masih Kau melihat di mataku
embun menggeliat di ayat rimbun
mambangkitkan zikir daun-daun
dari kenangan cinta yang ranum
di pucuk ranting pepohonan
ketika matahari naik perlahan
seekor burung terbang di pusar jantung
membawa hatimu pada kicau doa
menyentuhkan waktu yang rapuh
dan fana
tapi subuh masih melenguh