Surat Keempat: Kepada Bang Hamsad

Bang Hamsad,

Saat ini (Sabtu, 14 Juni 2025), saya sedang dalam perjalanan ke Jakarta dengan menaiki bus Eksekutif Plus Rosalia Indah. Bus ini istimewa, Bang—dari pelayanan hingga desainnya yang serba modern. Mewah, nyaman, dan sejuk hingga memungkinkan saya nyaman ketika menulis surat ini kepada Abang.

https://www.instagram.com/jejaringduniasantri/
Hamsad Rangkuti

Sudahlah pasti, bus secanggih dan seartistik ini belum ada ketika Bang Hamsad menulis cerpen berjudul Lagu di Atas Bus. Hal ini mudah dideteksi. Tidak perlu tes forensik atau pengecekan keaslian ijazah asli atau palsu. Tapi cukup dengan mengetahui tokoh-tokoh di dalamnya, ketika masing-masing menunjukkan kaset pita kemudian meminta sang sopir mengganti lagu yang diputar di dalam bus. Zaman sekarang mana ada kaset pita. Cukup pakai bluetooth, fladisks, dan USB, beres. Tidak terkecuali lagu kebangsaan, lagu Indonesia Raya, dengan berbagai versi.

Terlepas dari peliknya persoalan ijazah, saya pikir—sebagai cerpenis, mungkin juga mewakili yang lain—kita perlu belajar dari orang-orang yang terlibat dalam drama itu. Belajar apa? Ya, itu, bagaimana mereka membangun narasi dan argumentasi. Tidak ada detail yang terlewat dari kedua belah pihak: penuduh ijazah palsu dan pembela keaslian ijazah, hingga berujung pada sidang pembuktian keaslian di kepolisian.

Menurut saya, ini sudah menyerupai struktur naratif dalam karya sastra: bagaimana pelapor memengaruhi pikiran publik—dan sebaliknya. Imajinasi kolektif digiring dengan sangat halus. Belum usai soal ijazah, muncul isu baru: pemakzulan Wakil Presiden. Bagi saya—dan mungkin publik lain yang lebih memikirkan apa yang bisa dimakan nanti dan besok—isu ini hanya jadi tontonan sambil termangu-mangu di sela konten gelak-tawa artis yang entah apa faedahnya.

Halaman: First 1 2 3 ... Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan