SURGA BURUNG-BURUNG JIWA
Selayaknya rerumputan subur sarat air
Tanah kering nan tandus terberkati ini
Adalah wahah bagi burung-burung jiwa
Yang amat berdahaga
Selama perjalanan panjang
Mencari Simurgh
Padang bergunung batu
Sungai atas halaman telaga itu
Ialah Taman Raja di atas raja-raja
Kursi persinggahan tamu-tamu dari
Segala penjuru dan yang terjauh
Mereka bukan adipati bermahkota dunia
Bukan saudagar berjubah keangkuhan
Apalagi pengemis bercawan dusta
Dan bukan pendaras kitab suci
Yang sekadar melenakan;
Mereka ialah hamba
Budak Sang Tuan
Pemilik jiwa-jiwa
Burung-burung jiwa yang menghamba
Kian mengsahayakan diri mereka
Kepada Tuannya
Ketika menuruni lembah berbatu itu
Dan gigirnya yang memadamkan panas
Ia kecup dengan mesra tanahnya
Dengan kepala dan paruhnya yang luka
Serta hati yang patah
“Tapi bagaimana caranya para fakir seperti kami bisa mendekat ke Rumahmu jika penjaga-penjaga itu terus saja mengusir? Bagaimana kami bisa menghamba padamu, Tuan?”
Pada malam hari burung-burung jiwa
Tertidur di bawah atap langit
Mereka bermimpi rembulan turun
Mendatangi dan bersuara:
Ikutilah jalan yang tiada angin
Berembus atau air mengalir
Tidak pula api yang menjilat langit
Ataupun bumi yang bergejolak
Perbincangan mereka menjadi amat panjang
Sepanjang rahmat yang tak pernah terputus
Menembus jarak yang jauh
Sejauh jarak langit dan bumi
Namun mereka amat mesra
Tak ubahnya urat nadi dan kematian
Di tiap-tiap gang
Di ujung-ujung negeri
Tempat nubuat terselipkan
Tiada angin yang mengantarkan
Burung-burung jiwa pengelana itu
Mereka hanya bisa terbang dengan sayapnya
Namun apakah angin adalah kekuatan?
Di lembah yang terjal
Di gunung yang panas
Tempat salam terucapkan
Tiada air yang teralirkan kepada
Burung-burung jiwa berdahaga itu
Mereka hanya bisa melesat dengan kepakannya
Namun apakah air adalah kemampuan?
Di tanah ini
Burung-burung jiwa berterbangan
Begitu riangnya sembari
Membaca tanda-tanda keberadaan Tuannya
Melukis megamega dengan sayapnya
Selayaknya merpati yang terlatih
Yang bisa kembali dengan akalnya
Agar mereka terbang tidak melampaui batas
Ketika terbang kian mendekati Matahari
Bulu-bulu sayap mereka berguguran
Daging tubuh terbakar dan berjatuhan
Jantung laksana bola api yang akan meledak
Zarah dari deru jantung
Telah mencapai ujung kepala
Tubuh-tubuh fana itu mengabu
Tapi mereka saksikan bayangan jiwa seutuhnya
Yang dipendarkan Matahari
Pada akhirnya mereka saksikan
Keindahan adalah puing-puing luka
Jiwa yang disembuhkan
Yang dibebaskan dari suatu yang tak baka
Sekarang pandanglah wajah
Burung-burung jiwa itu
Wajah berdebu dengan senyum pecinta
Yang bertemu dengan Kekasih
Yang dirindukan
Yang didambakan
Untuk berjumpa setelah sekian lama
Berpisah layaknya Adam dan Hawa
Dan kini
Semuanya telah tersingkap
Jalan yang semula kering sekarang
Basah oleh hujan yang meluruhkan
Raga untuk kembali menjadi tanah
Burung-burung jiwa kembali terbang
Menuju Gunung Cahaya
Dengan kepakan sayap kenihilan
Mekkah-Arafah-Jedah, 2023.
TAPAK BATU
Aku datang padamu
Yang memalingkan seluruh semesta
Segala bintang-gemintang
Dan planet-planet mengitarimu
Kau
Leluhur para rasul, para nabi, para rahib
Lilin terbakar di tengah padang
Yang mengalungkan parasu
Pada kerangkeng kepalsuan berpahat batu
Peluklah jiwa rentaku
Selayaknya kau mendekap anakmu
Sebelum merelakannya
“Akankah kau memalingkan wajahmu?”
Di seberang Eufrat
Yang tak pernah kering
Tanah moyangmu
Tempat menyalanya tungku api orang-orang Kasdim
Kau tumbuh dan Ada
Lantas engkau menziarahi bangsa-bangsa
Di lembah Sungai Kehidupan itu:
Negeri gerbang dewa-dewa
Kota-kota yang agung–perantara timur dan barat
Berdialog di kuil para penyembah malam
Pun ke sebuah negeri di mana malaikat membentangkan sayapnya
“Pergilah, aku takkan ditelantarkan”
Inilah tanah
Di mana malaikat bersayap mega
Menghentakkan kakinya
Perut bumi seketika mengalirkan
Air rahmat untuk memberi makan Nabi Bakkah
Inilah titah yang takkan pernah patah
Tak ada yang bisa menuntunmu
Tidak matahari, tidak pula rembulan
Bukan juga bintang-bintang
Dan ketika mereka sadar akan itu
Mereka tahu bahwa itu tiada
Maka pasrahmu adalah keniscayaan
Kita tak lagi merasakan dahaga
Setelah Langit menggerakkan angin
Menunjukkan jalan bagi Anak Azhar
Untuk membangun sebuah kutub dunia
Dengan meteor dari firdaus di sudut timurnya
Karang kebahagiaan di sebelah kirinya
Berhadapan dengan fajar bintang paling terang
Tapak kakimu menyatu dengannya
Satu titah lainnya, lantas segenap kosmos
Seluruh isi semesta
Segala bintang-gemintang
Dan planet-planet yang berputar
Matahari juga rembulan
Tembikar-tembikar yang berpikir
Angin timur serta angin barat
Gunung-gunung yang berdiri angkuh
Dua samudera tak berbatas
Tunduk dengan khidmatnya
“Sungguhpun ini Rumahku yang mula-mula”
Sekarang aku akan memasuki pekaranganmu
Jangan matikan lampumu barang sejenak
Agar jalanku menuju rumahmu tidak tersesat
Kubawa Cinta yang manusia tak akan pernah bisa ciptakan, begitupun Kerinduannya
Mekkah, 2023.
PADA SEBUAH PADANG
Pada sebuah padang, terik matahari menghunus ubun-ubunku. Cahaya lantas merasuk ke dalam aliran darah, menjelma zarah, mengalir ke jantung, terbawa ke berbagai penjuru tubuh hingga ke ujung-ujung kuku.
Dan membuka mataku melihat jutaan malaikat duduk di tebing-tebing langit untuk menyaksikan matamata yang memejam tapi terbuka. Matamata yang terjaga demi menanti Cahaya yang dipancarkan matahari; demi menyesap Cahaya yang disemburatkan senja; demi menikmati Cahaya yang dipancarkan rembulan. Kemudian aku potong siang dan malam itu lantas kupahatkan dalam prasasti sukma.
Di sini aku baru saja mengenalmu. Kita baru saja bertemu dalam sebuah diam. Aku tak pernah mengenalmu, namun kau begitu mencintaiku dengan mengirimkan berbagai makanan untuk jiwaku yang renta. Kau kirimkan pesan padaku, melalui hudhud yang selalu setia kepada Solomon, bahwa jiwa ini akan lepas setelah melewati gurun yang ganas, puncak-puncak yang beku, serta tujuh lembah yang membentang sepanjang timur dan barat.
Aku tertunduk malu. Bagaimana aku harus mencari yang sebenarnya Tiada; Bagaimana aku dapat mencintaimu dengan tubuh buruk rupa ini; Bagaimana caraku bisa memahamimu dengan wasangkaku yang selalu berubah; Bagaimana aku mampu melepaskan semua milikku; Bagaimana kita bisa bersatu; Bagaimana aku bisa mengagumi wujud yang Tiada itu; Bagaimana kita bisa mencintai sementara aku adalah fana.
Pada sebuah padang ini aku saksikan jutaan makhluk berakal tak berdaya. Mereka telanjang di bawah tugu penebusan: pengampunan yang takkan diberikan hari-hari lain. Biarlah dalam kenistaan mereka mengemis sembari mencambuk diri dengan cemeti yang bernama masa lalu.
Aku mencintai kalian yang sanggup menahan sakit amukan pecut itu. Aku mencintai kalian yang mampu melepas belenggu kebesaran. Aku mencintai kalian yang menanti matahari dan rembulan dalam sunyi. Tak ada bangsa timur maupun barat. Kita berasal dari tanah yang sama dan mekar dalam musim semi yang sama.
Di padang berbatu ini aku mencari hati yang hilang ditenggelamkan khayali. Aku berdiri memandangmu yang tak pernah berpaling. Lihatlah aku, Kekasih. Lihat betapa tubuh ini menunggu belai jiwamu. Peluhku menetes menghapus aku dengan raga terluka.
Di sini aku terlena aroma kerinduanmu, sekalipun sebelumnya aku tak pernah merindumu. Aku lepaskan pakaian kesangsian di depanmu, agar aroma Cinta itu bisa menyerap ke dalam jasadku.
Kini tinggal sudah matahari yang sejengkal. Dan Cahaya melebur ke dalam aku. Duhai, Kekasih, renggutlah hatiku sepenuhnya.
Arafah, 2023.