Syahadat sebagai Ikrar Sosial

161 kali dibaca

Satu-satunya hal yang dapat menjadikan seorang muslim adalah membaca syahadat—dan cukup itu saja, tidak perlu yang lain. Salat masih dirubungi perbedaan pendapat apakah ia menjadi penentu status seorang muslim.

Kitab sekeras Sullam saja masih memberikan syarat tambahan dalam menyematkan status kafir kepada orang yang tidak salat; bahwa ia baru dikatakan keluar dari Islam jika sekaligus mengingkari kewajiban salat—tidak cukup dengan meninggalkannya karena malas kemudian ia disebut kafir.

Advertisements

Itulah kenapa status muslim bisa kita dapat hanya dengan mengucapkan syahadat. Ya, hanya dengan syahadat, sebab tidak peduli apakah hatinya beriman kepada Allah atau tidak status muslim tetap ia miliki.

Mengapa perlu syahadat, sementara semua manusia pada hakikatnya dilahirkan dalam keadaan suci ( كل مولود يولد على الفطرة). Dalam surah Al-A’raf ayat 172 juga ditegaskan bahwa manusia sudah bersaksi ihwal Ketuhanan Allah—hal ini selaras dengan tafsir Ibnul Qayyim dalam kitabnya, Ahkamu Ahli Dzimmah.

وإذ أخذ ربك من بني آدم من ظهورهم ذريتهم وأشهدهم على أنفسهم ألست بربكم ۖ قالوا بلى ۛ شهدنا

Artinya: (Ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan dari tulang punggung anak cucu Adam akan keturunan mereka dan Allah mengambil kesaksiannya terhadap diri mereka sendiri (seraya berfirman), “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab, “Betul (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi. (QS: Al-A’raf:172).

Dua alasan untuk itu. Pertama, banyak ketentuan hukum dalam Islam yang berkaitan dengan peran orang. Dan di samping itu ada syarat muslim. Sebut saja ketentuan terkait zakat, ia wajib kepada orang muslim saja.

Di satu sisi, zakat juga berkaitan dengan pihak lain sebagai pelaksana yang bertugas memungut harta zakat. Akan sulit baginya untuk memungut harta zakat jika ia tidak tahu terhadap status keagamaan seseorang. Sebagai konsekuensi, jika seorang miskin tidak diketahui status keislamannya maka ia tidak berhak mendapat harta zakat.

Contoh lain adalah salat; ia wajib untuk muslim saja; selain itu muslim yang lain punya kewajiban untuk memenggal leher muslim yang sengaja meninggalkan salat—itu kalau mau ikut fikih klasik. Nikah juga demikian; bahwa muslim adalah status yang harus dimiliki oleh suami, sebab akad nikah menjadi tidak sah jika seorang suami non-muslim. Satu lagi, seseorang dapat menjabat sebagai qadli jika ia muslim—begitu ketentuan dalam fikih.

Sederhananya, jika ada orang baru yang bergabung dengan kelompok muslim, kemudian ia tidak diketahui secara zahir mengucapkan syahadatain, meskipun dalam kenyataannya ia sudah Islam, maka konsekuensinya ia tidak mendapat hak-hak orang muslim, begitu ketentuan dalam fikih.

Sementara itu, sebagai alasan yang kedua, manusia menilai berdasarkan apa yang tampak (الإنسان يحكم بالظواهر والله يتولى السرائر). Syahadat perlu hadir sebagai bentuk kepastian bahwa seseorang sudah siap untuk bergabung dengan komunitas Islam dan siap menerima setiap kewajiban dan hak sosial sebagai anggota komunitas itu. Karenanya, akad nikah dikatakan sah di hadapan Allah dan tidak sah di hadapan manusia jika semisal seorang suami tidak diketahui berstatus muslim atau bahkan mereka menilai ia non-muslim.

Sebagai konsekuensi, jika semisal ia terbukti secara sah melakukan hubungan intim dengan wanita yang diakad sebelumnya maka muslim yang lain (dalam hal ini ada petugasnya) berhak untuk mencambuknya. Hak waris pun tidak ada di antara keduanya. Namun, dalam kaitannya dengan tanggung jawab kepada Allah hal ini dikenal dengan istilah yudayyan (dipasrahkan kepada Tuhan yang Maha Mengetahui)—jika semisal pada hakikatnya ia muslim (akad nikahnya sah) maka ia tidak berhak mendapat siksa dan sebaliknya.

Semua manusia memang dilahirkan dalam keadaan ia mengakui Allah sebagai Tuhan, namun ia perlu syahadat untuk bergabung ke komunitas orang-orang Islam, sebab dalam komunitas orang-orang Islam sendiri terdapat beberapa ketentuan hukum yang berkaitan dengan orang lain dan mengikat secara kolektif. Itulah kenapa syahadat, selain sebagai ikrar keimanan, ia juga ikrar sosial, dan muslim, darinya, juga merupakan status sosial. Status muslim dalam kaitannya dengan tanggung jawab manusia kepada Tuhan sebenarnya sudah cukup dengan keimanan hati saja, tanpa perlu syahadat—ini selaras dengan pendapat Al-Ghazali.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan