Gelar “al-Mutamakkin” yang memiliki arti orang yang mempunyai keteguhan hati patut kita renungi hingga hari ini, agar kita bisa tegar dalam menghadapi berbagai problem, seperti halnya Syekh Ahmad.
Akhirnya, tulisan berseri tentang Syekh Ahmad Mutamakkin sampai di bagian intinya. Di seri pertama, saya telah menjelaskan bagaimana cucu Joko Tingkir itu berkelana dan berdakwah, hingga akhirnya menerima gelar “al-Mutamakkin”. Di artikel seri kedua, saya menceritakan tentang asal-usul beliau bisa sampai di Desa Kajen, disertai sebuah kepercayaan masyrakat bahwa beliau terdampar di pesisir -sebelum akhirnya di Kajen- karena dua jin yang bertengkar.
Di seri ketiga ini, saya akan memfokuskan pada apa yang terjadi setelah Syekh Ahmad tinggal di Kajen, setelah berguru kepada kiai desa sana, Kiai Syamsuddin dan diambil menantu olehnya. Mungkin lebih panjang dari sebelumnya, namun akan coba saya ringkas, tanpa mengurangi keutuhan cerita.
Badai Fitnah
Pada sekitar tahun 1726 M, Kasultanan Mataram Islam dibuat geger oleh satu kiai desa. Raja yang berkuasa saat itu adalah Raden Mas Suryaputra, bergelar Hamangkurat IV. Tidak hanya isi kerajaan, para ulama di berbagai daerah pun ikut ramai karena kiai desa itu.
Apa yang terjadi? Dan siapa kiai desa itu?
Ya, kiai desa yang dimaksud adalah Syekh Ahmad Mutamakkin. Ia diterpa badai fitnah dari berbagai pihak. Tinggal di Desa Kajen dan menjadi penerus Kiai Surya Alam (Kiai Syamsuddin) selama lebih dari sepuluh tahun, membuat dirinya melakukan banyak hal; mendirikan masjid, membuat peninggalan-peninggalan, dan tentunya hal-hal yang menjadi perbincangan saat itu.
Ia memelihara dua ekor anjing. Dinamai selayaknya manusia pula; Kaharuddin dan Abdul Qomar. Belum lagi kebiasannya yang suka membabar serat kisah Dewa Ruci, kisah seorang Bimasena yang sedang mencari air kesempurnaan di tengah konflik antara Pandawa dan Kurawa. Ditambah lagi beberapa dakwaan lain, seperti Syekh Ahmad yang mengaku sebagai Muhammad Hakiki.